Rabu, 12 Mei 2010

Amplop Siluman

 

Wartawan mempunyai mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu system pers dimanapun pers itu berada. Hal ini dikarenakan wartawan merupakan salah satu pelaku utama dalam dunia pers.[1] Kualitas pers dapat kita lihat salah satunya dengan cara  bagaimana cara wartawan itu dalam menulis sebuah berita, baik itu berupa keakuratan, kefaktualan, dan dengan tulisan yang dapat mengontrol (melakukan kontrol social) dengan tidak memandang bulu. Sehingga dengan begini fungsi pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi suatu negara dapat terwujud.

Jadi untuk membentuk system pers yang ideal diperlukan wartawan yang mampu untuk menjalankan tugasnya seperti yang terdapat dalam paragraph pertama agar pers dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Apakah kondisi di Indonesia sudah dapat dikatakan wartawan sudah menjalankan tugas sebagaimana mestinya sehingga fungsi pers sebagai kekuatan keempat dapat terlaksana.

Bila kita melihat keadaan pers di Indonesia secara relistis, harus kita akui peran pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi kita masih fluktuatif. Banyak hal yang menyebabkan kondisi pers di Indonesia masih seperti ini, salah satunya yaitu wartawan belum berperan sebagaimana mestinya dalam menjalankan tugasnya. Dan salah satunya adalah wartawan yang  dapat “dikompromi” dalam menyampaikan berita yang akan penulis bahas lebih dalam.

Seperti yang kita ketahui bahwa setiap tulisan dari wartawan yang akan dimuat dalam media dapat mempengaruhi khalayak.[2] Oleh karena itu untuk mereduksi salah satu kekuatan pers ini, obyek yang akan dimuat dalam berita memanfaatkan wartawan sebagai celah untuk meredam kekuatan pers. Di Indonesia wartawan merupakan salah satu kelemahan dalam system pers yang ada. Hal ini dikarenakan dalam melkukan pekerjaan sebagai wartawan di Indonesia tidaklah cukup untuk menghidupi keluarga, sedangkan wartawan juga merupakan manusia yang harus memberi nafkah pada keluarga. Kebanyakan wartawan yang ada di Indonesia bila hanya mengandalkan pendapatan bersih, rata-rata masih berada dibawah standart dan belum mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini dikarenakan karena banyaknya jumlah wartawan di Indonesia.

Sehingga dengan celah ini pihak obyek berita memberikan suatu solusi kepada wartawan. Dengan cara mereka memberikan materi biasanya berupa amplop atau yang bisa kita sebut amplop siluman  dengan mengisikan materi, konsekuensinnya wartawan harus bersedia mengurangi nilai keaktualan dan kefaktualan berita yang akan ditulis yang sebenarnya bisa merugikan obyek berita sendiri.

 Jadi ada huibungan timbal balik atau biasa kita namakan simbiosis mutualisme. Dimana dari kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, dari pihak obyek berita, keuntungan bisa berupa berita yang semulanya akan diberitakan kepada media yang notabenenya bisa menjatuhkan atau merugikan pihak obyek berita dapat digagalkan atau tidak akan dimuat dalam media karena sudah melakukan “perdamaian” dengan wartawan itu sendiri, sementara pihak wartawan juga diuntungkan dengan imbalan yang biasanya berupa “amplop siluman” dari pihak berita sebagai konsekuensi atas upaya jaga rahasia dari obyek berita.

Masalah amplop ini memang sangat tidak transparan. Banyak kalangan yang seganuntuk membicarakannya secara terbuka, namun pada kenyataannya tidak sulit kita temukan penyimpngan seperti ini. Sehinngga sangat tidak tepat jika pernyataan Napoleon Bonaparte tentang ketakutannya menghadapi sepuluh wartawan daripada seratus tentara bila melihat kondisi di Indonesia karena dengan menghadappi seratus wartawan kita hanya butuh seratus amplop sebagai senjata untuk menghadapi seratus wartawan. 


 Analisis

 

Melanggar Kode Etik Jurnalistik

“Penerimaan imbalan atau sesuatu janji untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu berita, gambar atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang, golongan atau suatu pihak, dilarang sama sekali”[3]

Kutipan tersebut merupakan penggalan dari kode etik jurnalistik, pasal lima ayat empat. Bila kita melihat dari pasal lima ayat empat dari kode etik jurnalistik ini, kita dpat mengambil kesimpulan bahwasannya system pers yang ada di Indonesia jelas-jelas melarang tindakan amplop siluman ini. jadi dari pasal empat kode etik jurnalistik ini mempunyi tujuan agar wartawan itu menulis dengan apa adannya sesuai dengan realita yang ada. Dan ini merupakan suatu tanngaung jawab yang diberikan oleh system pers yang ada di Indonesia kepada wartawan agar proses penulisan berita menjadi actual, factual, dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Oleh karena itu bisa dikatakan bahwasannya masalah amplop siluman merupakan tindakan yang melanggar kode etik jurnalistik dan sebenarnya juga ada sanksi tegas kepada siapapun yang melanggar baik itu berupa sanksi ataupun berupa skorsing kepada wartawan yang terlibat. Namun mengapa masalah amplop siluman masih sering kita jumpai dalam realitannya?

Walaupun sudah ada peraturan yang melarang dengan tegas namun tidak dapat kita pungkiri masih banyak celah yang mengakibatkan proses pelanggaran itu terus berulang. Dan salah satu factornya  adalah rendahnya penghasilan bersih yang diterima oleh wartawan sehingga mereka mencari solusi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara menerima “amplop siluman” tersebut. Namun secara garis besar amplop yang diberikan kepada wartawan ada dua jenis, yaitu[4]:

 

Amplop sebagai suap “amplop siluman”

Jenis amplop ini bertujuanagar wartawan tidak menulis berita yang dikonfirmasikannya, karena biasanya orang atau lembaga yang didatangi wartawan tadi memiliki masalah yang jika diberitakan oleh sang wartawan biasa berakibat buruk bagi obyek berita tadi. Pendek kata wartawan jangan menulis apapun, sebagai imbalannya wartawan memperoleh amplop jenis ini.

Seperti yang tertera dalam pasal empat dalamkode etik jurnalistik, semua penerbitan pers, baik cetak maupun elektronik sangat mengharamkan surat jenis ini. sanksi yang diterima bila terbuti kasus suappun cukup keras.

 

Amplop Sebagai Uang Trasportasi

            Amplop yang satu ini bukan sebagai suap, kkarena pemberiannya tidak ada hubungannya dengan suatu kasus yang dihadapi oleh seseorang atu sebuah lembaga. Uang transportasi ini biasannya diberikan hanya sebagai pengganti uang transportasi kepada wartawan karena telah meliput suatu berita. dan pemberiannyapun secara sukarela ataupun sudah dianggarkan dalam kepanitiaan ssebagai pengganti bensin atau onkos plang pergi dari kantor wartawan menuju tempat berita.

            Tetapi dalam kenyataannya banyak pihak yang mencampur adukkan antara amplop sebagai transport dan amplop sebagai suap, sehingga mereka memberikan suap dengan dalih sebagai onkos transport, namun jumlahnya ratusan kali dari jumlah transportasi. Selain itu amplop ini juga menimbulkan perasaan hutang budi dari wartawan kepada obyek yang mau ditulis, sehingga dapat mempengaruhi dalam penulisan berita walaupun kadarnya hanya sedikit.


 Solusi

 

Dari uraian penjabaran pada bab sebelumnya yang menjelaskan tentang permasalahan amplop sebagai bentuk suapan kepada wartawan pemakalah mempunyai beberapa solusi yang sekiranya dapat mereduksi penyakit amplop suap kepada wartawan, antara lain:

v Meningkatkan taraf hidup wartawan

Akar permasalahan dari kebersediaan wartawan untuk menerima suap pada dasarnya dipengaruhi oleh factor ekonomi. Bila factor ekonomi wartawan sudah dapat dikatakan tercukupi maka wartawan akan dapat lebih idealis.

 

v Kesadaran wartawan

Untuk mengatasi permasalahan ini, wartawan juga dituntut untuk merevitalisasi kepada fungsinya, dimana pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi. Jadi wartawan dituntut untuk menjalankan perannya sebagaimana mestinya, untuk mewujudkan pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi negara.

 

v Tindakan lebih tegas pada pemberi amplop

Dalam kode etik jurnalistik mungkin sudah melarang kasus suap ini, namun penekanannya kepada pihak wartawan. Pada hakikatnya yang perlu untuk dipertegas lagi adalah proses sanksi kepada penyuap yang sama saja melakukan kesalahan atau dosa dua kali, yang pertama jika ia melakukan suap berarti ia telah melakukan kesalahan karena takut terpublikasikan ia melakukan dosa yang kedua yaitu menyuap wartawan.


Daftar Pustaka

 

Kovach Bill & Tom Rossentiel, Elemen-Elemen Jurnalisme, Isai, Jakarta, 2003

 

Saiful Drs. Asep, MA, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktek, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999

 

Seno Prof Oemar Adji, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1990

 

Abdullah Drs Acing, Press Relations, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000

 

 

 

 



[1] Bill kovach & Tom Rossentiel, Elemen-Elemen Jurnalisme, Isai, Jakarta, 2003, hal 59

[2] Drs. Asep Saiful, MA, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktek, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal   53

[3] Prof Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1990 

[4] Drs. Acing Abdullah, Press Relations, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hal 46 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar