Minggu, 20 Juni 2010

TINDAKAN KEKERASAN AKIBAT KONFLIK ANTAR ETNIS

PENDAHULUAN

 

 

Etnis Merupakan suatu ketentuan untuk  menghadapi golongan satu terhadap yang lain. Setiap golongan itu cenderung fanatik kepada golongannya sendiri dan menganggap rendah golongan lain, karena terbawa oleh kebudayaan, adat dan letak geografis. Oleh karena itu, hubungan antar warga dari berbagai golongan suku bangsa yang berlainan cenderung tegang, saling curiga dan mendasarkan pada stereotip etnis. Seperti dikatakan oleh Suwarsih warnaen dalam bukunya Stereotip bahwa pengelompokan suku bangsa sangat tajam dan warga setiap suku bangsa cenderung bersatu.

Ketegangan antara suku bangsa di Indonesia terjadi karena latar belakang lingkungan alm dan sosial budaya yang berbeda. Begitu juga perbedaan dalam berbagai karakteristik yang penting, tidaklah mengherankan jika kontak di antara mereka tidak akan mencapai sukses interpersonal dan kurang saling menghargai. Dari ketegangan ini dapat menimbulkan permusuhan dan tindak pidana pembunuhan yang seharusnya tidak terjadi.

Hal di atas dapat dicontohkan seperti yang terjadi berikut ini. Ada satu tindak pidana pembunan akibat konflik antar etnis. Pada mulanya Dekir (Madura) dibunuh oleh Indra Cs. (Jawa). Melihat adiknya terbunuh Nawakip dan Busri mencari Sholeh, karena tidak dapat menemukannya, Nurisman (ayah Indra) dibunuh. Seusai pemakaman Nurisman, masa 1000 orang secara spontanitas mencari kedua tersangka tersebut. Karena tidak menemukan mereka, maka massa merusak dan membakar rumah serta mobil milik orang-orang Madura di daerah tersebut. Singkat cerita akhirnya pembalasan dari orang-orang Madura pun  terjadi yang akhirnya berbuntut panjang.

Hal-hal yang berkaitan tentang etnis dan kebudayaan akan penulis sajikan dalam bab selanjutnya.


PEMBAHASAN

 

 

1. Pengertian

Etnis adalah sebuah kata dari dunia pakar sosiologi dan antropologi di beberapa negara etnis merupakan kata  yang ”bersih untuk suka” dalam situasi lain. Etnis menunjuk kepada agama, bahasa, warna kulit, asal-ousul daerah atau tempat tinggal sekarang.[1]

Etnis adalah dikenal dengan suku bangsa (Suwarsih Warnean). Kelompok atnis dalam konsep dasarnya sama dengan istilah suku bangsa Indonesia dari sudut pandang kebangsaan yang melatar belakangi perkembangan kebudayaan . yang menyebabkan adanya paroh (suku) bangsa dan istilah kelompok etnis lebih cenderung dipakai di lingkungan akademik, terutama untuk membiasakan pemakaiannya dengan konsep tentang kelompok-kelompok sosial yang berkembang di lingkungan ilmu0-ilmu sosial kebudayaan.[2]

Adapun ciri-ciri suatu populaasi tentang kelompok etnis yaitu (Tundjung W. Sutirto):

1.      Secara biologis mampu berkembang dan bertahan

2.      Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya

3.      Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri

4.      Menentukan diri kelompok sendiri yang diterima olehg kelompok lain

 

2. Indonesia Sebagai Bangsa Multi Etnis

Indonesia adalah salah satu negara dengan berbagai macam masyarakat, karena kita sudah terbiasa dengan gambaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbentuk dari berbagai suku, ras, bahasa, budaya dan agama dan mendiami ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar luas di suatu kawasan nusantara ciri utama masyarakat majemuk adalah kehidupan masyarakat kelompok berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh perbedaan sosial dan tergabung dalam kesatuan politik.

Kondisi masyarakat majemuk seperti ini suatu kota dapat diklasifikasikan atas dua kategori bentuknya:[3]

a. Horizontal

1.  Etnik dan ras atau asal usul keturunan

2.  Bahasa daerah

3.  Adat istiadat atau perilaku

4.  Agama

5.  Pakaian atau makanan atau budaya material

b. Vertikal

1.  Penghasilan ekonomi

2.  Pendidikan

3.  Pemukiman

4.  Pekerjaan

5.  Kedudukan sosio politik

Keadaan tersebut di atas pada akhirnya berakibat memunculkan ketidakkeserasian dalam masyarakat yang bersumber dari 3 faktor yaitu:[4]

1.  Perbedaan sumber data, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi

2.  Perluasan batas kelompok sosial budaya

3.  Benturan kepentinfgan politik, idiologi, dan agama

Peristiwa-peristiwa yang terjadi gara-gara etnis yaitu bernuansa kekerasan terjadi sejak zaman kolonial Belanda atau sejak abad 18 yaitu kekuasaan orang Madura yang tercermin dari tindak pembunuhan yang dilakukan oleh Raden Sagaro terhadap musuh-musuh kerajaan Medang Kumulan seperti yang diungkapkan dalam legenda tantang ditemukannya Pulau Madura. Tidak luput dari sejarah tersebut kasus yang pernah muncul di Poso juga peristiwa yang sejenis.

Adapun  sikap yang dapat menimbulkan masalah dan dapat mempengaruhi interaksi antar kelompok dan masyarakat majemuk adalah:

1.      Sikap solidaritas buta yaitu sikap yang muncul karena keakraban dalam kelompok cukup kuat dan senantiasa berusaha membela kelompoknya atau anggota kelompoknya dengan cara dengan cara apapun.

2.      Sikap Etnosentrisme yaitu sikap yang selalu mengutamakan kelompok sendiri dan selalu memandang kelompoknya lebih baik sari kelompok lain sehingga memancing reaksi negatif dari kelompok lainnya. Akibat dari sikap ini timbul sikap-sikap selanjutnya yaitu seperti: kecurigaan, merendahkan orang dari kelompok lain, kurang bergaul dengan kelompok lainnya.

3.      Sikap Partikularis yaitu sikap yang lebih mengutamakan orang yang mempunyai hubungan khusus dengannya. Pergaulannya terbatas pada orang yang mempunyai hubungan khusus yaitu baik itu agama, suku, dan daerah.

4.      Sikap Eklusif yaitu sikap yang hanya mau melibatkan diri dengan kelompok saja.

Masalah yang juga sering terjadi dalam suatu masyarakat pluralistik lain adalah ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat terhadap kelompok minoritas.[5]

 

3. Konflik Etnis dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Sebelum kita membicarakan tentang konflik etnis, terlebih dahulu kita harus memahami apa itu konflik, konflik adalah suatu konsekuensi dari komunikasi yang buruk, salah pengertian, salah perhitungan, dan proses-proses lain yang tidak kita sadari. Dan konflik sebenarnya dibangun atas dasar persepsi salah paham.[6]

Menurut Peter Davies dalam bukunya Hak-Hak Asasi Manusia mengutarakan bahwa untuk bahasa hubungan internasional istilah ”konflik etnis”  itu dapat digunakan dalam pengertian “konflik kelompok” yang loebih umum. Karena dalam kenyataan bahwa pertikaian antar kelompok lebih luas dari sekedar konflik etnis.[7] Dan sejauh ini, kekerasan atas nama agama dan etnis menempati angka yang cukup tinggi.

Di Indonesia terutama pada masa-masa terakhir ini nyaris menunjukkan fenomena yang serupa, kelompok tertentu melakukan tindak kekerasan. Langsung atau struktural terhadap penganut agama lain. Konflik kekerasan Sambas di Kalimantan Barat pada tahun 1996 dan 1997-1999, yang kemudian meluas sampai Sampit, serta sempat merambah ke Palangkaraya, Kuala Kapuas dan Bangkalan. Untuk kesekian kalinya, Kalimantan diguncang Konflik warga suku Dayak dengan suku Madura. Pertikaian yang bermula di Sampit, akhirnya meluas ke seluruh Propinsi Kalimantan Tengah. Konflik yang terjadi pada saat pemerintah presiden Abdurahman Wahid ini, menurut catatan KOMNAS HAM, telah menamakan korban 325 jiwa, puluhan terbakar, dan tidak kuarang dari 25.000 (per Maret 2001) orang Madura mengungsi keluar daerah. Tragedi di Kalimantan tahun 2001 ini merupakan realitas yang cukup menggelitik rasa kemanusiaan kita.[8]

Selanjutnya menurut Prof. Dr. Tubagus Ronny Rohman Nitibaskara bahwa penyebab konflik kakarasan antar etnis secara umum, yaitu:

1)      Faktor struktural

Faktor  yang bersifatjangka panjang, yang membentuk kondisi yang kondusif bagi meletusnya konflik kekerasan antar etnis yaitu kesenjangan ekonomi budaya.

 

 

2)      Faktor pemercepat

Adalah tindakan para aktor di lapangan yang memiliki pengeruh yang dapat memicsu meluasnya konflik secara teoritis, kendatipun faktor struktural sudah sedemekian matang untuk terjadinya konflik kekerasan, tetapi jika tidak dipicu oleh tindakan para aktor ini konflik tidak akan meledak.

Menurut Sellm (1938) konflik etnis yang berdampak kekerasan disebabkan antara lain:

a.       Adanya suatu kelompok kebudayaan bermigrasi ke daerah kelompok kebudayaan uang lain atau norma dari suatu kelompok diperluas atau diberlakukan pada kelompok kiebudayaan lain.

b.      Adanya suatu aturan yang tidak tertulis yang dimiliki oleh kelompok budaya  tertentu berbenturan pada batas kebudayaan kelompok lain.


PENUTUP

 

 

Apabila kita membahas masalah keanekaragaman budaya dan masalah-masalahnya memang tidak akan habis, tapi dapat kita analisis dari beberapa paparan di atas bahwa konflik antar etnis itu bisa timbul akibat sikap solidaritas yang masih buta, etnosentris, partikularis dan sikap eklusif. Tidak hanya itu saja salah pengertian dalam penerimaan komunikasi atau miss understanding dapatt juga memicu terjadinya konflik antar etnis.

Konflik yang begitu menjamur di negeri ini sangat membuat hati cemas dan risau. Mengapa kekayaan suku, ras, adat, agama dan lain-lain dapat membuat suatu permasalahan yang begitu serius. Padahal pluralistik kebudayaan adalah mutlak terjadi, tidak ada suatupun di negeri ini yang sama. Masing-masing kebudayaan mempunyai karakteristik sendiri, yang hal itulah yang justru membuat mereka dalam lubang fanatisme  berlebihan.

Konflik tersebut juga tidak terlepas dari faktor structural dan juga konstitusional  yang dimiliki masing-masing etnis. Tidak ada ukuran batasan untuk menyamakan suatu norma. Sehinggga suatu kelompok tidak mau tahu kalau mereka telah memasuki suatu batasan kelompok lain.

Konflik yang begitu mewabah di negeri ini semoga saja dapat menjadi bahan kontemplasi kita untuk melakukan perenungan diri bahwa sikap yang demikian itu tidak mengonstruk kebudayaan kita malah sebaliknya, kekayaan kebudayaan dapat menjadi bomerang bagi kita sendiri dan membuat kita terpecah belah.



[1] Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia, hal. 172

[2] Suwarsih Warnean, Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Etnis, hal. 10

[3] Tanjung W. Sutirto, Perwujudan Kesukubangsaan Etnik Pendatang, hal 39

[4] Ibid., hal. 19

[5] MAurits Simatupang, Budaya Indonesia yang Supra Etnis, hal. 15 & 19

[6] Op. Cit., Suwarsih, hal. 5

[7] Op. Cit., Davies

[8] Ibid., hal. 180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar