Rabu, 12 Mei 2010

PROPAGANDA

PENDAHULUAN

  Media memang sangat berperan dalam dinamika politik, para birokrat ingin mempengaruhi para masyarakat dan membentuk suatu persamaan pendapat. Teori parasosial menyebutkan bahwa  komunikasi massa berfungsi memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi sosial dan hal ini tercapai jika media massa memberi peluang bagi hubungan parasosial, yaitu melibatkan orang-orang ke dalam apa yang tampaknya merupakan keakraban hubungan tatap muka tanpa terjadinya hubungan secara langsung. Di sini secara khas dijelaskan bahwa para anggota khalayak radio, televisi, atau film berhubungan secara langsung dan seakan-akan nyata. [1]

Berarti, penyiaran berita eksekusi oleh televisi CNN sangat membuat psikologis rakyat Korea Utara terkejut dan seakan-akan kekejaman yang dipertontonkan adalah nyata. Hal ini akan menimbulkan suatu persamaan pendapat bahwa pemerintah Korea Utara sangatlah kejam.

Tapi bagaimana dengan protes yang dilakukan Korea Utara, mereka menyangkal bahwa mereka menyiarkan berita eksekusi secara kejam. Kantor berita di Korea Utara menyatakan bahwa tayangan CNN tersebut penuh kebohongan dan cenderung menghasut. Dalam Devices of Propaganda (Muslihat Propaganda) di kenal istilah card stacking yaitu upaya menutupi hal-hal yang faktual atau sebenarnya seraya mengemukakan bukti-bukti palsu sehingga khalayak dibuat terkecoh[2].

Cara yang digunakan untuk mengonstruksi kampanye psikologis AS untuk menjatuhkan rezim Korea Utara merupakan drama yang dimainkan secara terencana. Efek yang diharapkan Amerika Serikat dari sasarannya adalah agar khalayak tidak mengakui demokratisasi Korea Utara. Bagaimana kita menanggapi hal tersebut? Bahwa media digunakan sebagai saluran yang penting dalam berpolitik.

 

 

PEMBAHASAN

 

Karakteristik saluran komunikasi massa termasuk kegiatan media massa dalam melakukan beberapa hal antara lain, membantu menyusun agenda pokok masalah untuk perdebatan public, menetapkan konteks untuk penilaian  rakyat tentang kejadian, mengubah kejadian menjadi peristiwa, mempengaruhi pengharapan rakyat tentang bagaimana akhirnya peristiwa itu, dan dengan berbagai cara untuk melukiskan citra tentang pemimpin politik.[3]

Amerika Serikat sangat pintar menjadikan media massa sebagai salah satu cara untuk menjatuhkan rezim Korut. Media massa mempunyai banyak manfaat, dalam hubungannya dengan ini disebutkan dalam teori persuasi dan informasi yang menyebutkan mengapa orang mem[perhatikan media massa? Satu kemungkinan jaswabannya adalah karena mereka berusaha menambah khazanah pengetahuan atau memperoleh bimbingan (opini). Dipandang dari manfaat ini , media massa mendifusikan informasi dan mempersuasi. Amerika mencoba menggunakan dampak difusi atau persuasi yang sangat berbeda dan pada umumnya lebih kentara dalam menyajikan pesan dan menarik perhatian ketimbang dalam memperoleh pemahaman dan penerimaan imbauan, lebih berhasil dalam menghasilkan pemahaman dan penerimaan daripada menghasilkan retensi pesan atau kegiatan yang tampak sesuai dengan pesan informatif atau persuatif.[4]

Dari berita yang disajikan CNN itu dapat ditelaah pikiran khalayak berupa informasi, pendapat, gagasan, atau saran; juga perasaan khalayak berupa kekecewaan, kesedihan, kebingungan, harapan, keinginan, bahkan kemarahan. Kesemuanya itu meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, yang sewajarnya diperhatikan dan ditanggapi oleh pemerintahan Korut.

Masyarakat cenderung berpikir seperti apa yang diberitakan karena khalayak sangat mudah sekali dimasuki pikiran-pikiran dari kekuatan media massa (jarum hippodermik). Floyd G. Arpan mengatakan, bahwa kecenderungan tersebut bergantung kapada empat faktor, yakni[5]:

1.              Stabilitaas pemerintah serta toleransinya dan ketangguhannya terhadap kritik;

2.              Derajat determinasi-diri pada masyarakat dan hasratnya akan informasi yang benar;

3.              Tingkat pendidikan penduduk;

4.              Stabilitas finansial yang dicapai pers.

Amerika Serikat dalm menjalankan operasi ini juga tidak lepas dari sejarahnya dulu ketika pada tahun 1939 menjelang perang Dunia II, penerbit Harcourt, Brace and Company di Amerika Serikat menyebarkan publikasi berjudul  The Fine Art of Propaganda yang mencantumkan apa yang dikenal sampai sekarang The Dvices of Propaganda (Muslihat Propaganda) yang terdiri dari tujuh jenis sebagai berikut:[6]

a.                   Name calling (penggunaan nama ejekan)

Ini merupakan suatu cara dengan jalan memberikan nama-nama ejekan kepada suatu ide, kepercayaan, jabatan, kelompok bangsa, ras, dan lain-lain agar khalayak menolak atau mencercanya tanpa mengkaji kenbenarannya.

b.                  Glittering generality (penggunaan kata-kata muluk)

Sebagai kebalikan dari name calling, teknik ini menggunakan kata-kata muluk (virtue words) dengan tujuan agar khalayak menerima dan menyetujui tanpa upaya memeriksa kebenarannya.

c.                   Transfer (pengalihan)

Teknik ini adalah cara propaganda dengan menggunakan autoritas atau prestise yang mengandung nilai kehormatan yang dialihkan kepada sesuatu dengan tujuanagar khalayak menerimanya.

d.                  Testimonial (pengutipan)

Teknik ini adalah melancarkan propaganda dengan mengutip kata-kata orang terkenal mengenai baik-tidaknya suatu ide atau produk, dengan tujuan agar khalayak mengikutinya.

e.                   Plain folks (perendahan diri)

Ini merupakan suatu cara yang digunakan  oleh seseorang untuk meyakinkan bahwa ia dan gagasannya itu baik karena demi rajyat.

f.                   Card stacking (pemalsuan)

Secara harfiah card stacking berarti penumpukan kartu, secara maknawi berarti upaya menutupi hal-hal yang faktual atau sebenarnya dengan memalsukan berita-berita yang dimuat.

g.                  Bandwagon (hura-hura)

Istilah ini secara harfiah berarti kereta musik, yakni kendaraan yang mengangkut rombongan musik. Secara maknawi yakni ajakan kepada khalayak untuk beramai-ramai menyetujui gagasan atau program, dengan terlebih dahulu meyakinkan mereke bahwa kawan-kawannya pun kebanykan telah menyetujuinya.

 

 

PENUTUP

 

Demikianlah beberapa paparan yang dapat kami sajikan dari keluasan masalah tentang komunikasi politik yang terjadi antara Korut dan AS dalam hal tayangan yang ditayangkan oleh jaringan TV berita AS, CNN terkait dengan tontonan eksekusi di depan publik.

Pembahasan ini lebih bersifat analisis-paradigmatik, sekedar bermaksud mengkaji suatu kasus yang sangat berhubungan dengan komunikasi massa dan didukung oleh penelitian mengenai masalah tersebut.

Banyak sekali penelitian-penelitian masalah seperti ini karena kita sedang berada di dekade-dekade yang disebut oleh Alfin Toffler dinamakan ”era info-politik”, yang dalam dinamikanya saling mempengaruhi secara timbal balik. Dalam hubungan ini politik dan komunikasi politik dengan media sebagai pendukungnya yang begitu potensial, menjadi semakin penting.



[1] Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media), PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 175

[2] Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi, M.A., Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 166

[3] Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Khalayak dan Efek), PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 119

[4] Op. Cit., Dan Nimmo, Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media), hal. 172

[5] Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, MA., Dinamika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 164.

[6] Op. Cit., Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi, M.A., Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 166

PRINSIP DASAR KOMUNIKASI KELOMPOK

Pendahuluan

 

 

Filsuf Belanda, Baruch spinoza 300 tahun yang lalu menyatakan bahwa manusia adalah binatang sosial, pernyataan ini sangat di perkuat oleh psikologi modern. Yang menunjukkan bahwa orang lain mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sikap kita, dan bahkan persepsi kita.

Orang lain yang mempengaruhi kita itu berada di dalam kelompok di mana kita menjadi anggotanya, besar maupun kecil, formal maupun informal. Kelompok orang ini bisa mempunyai dampak yang besar pada cara kita menerima pesan.

Menurut cooper dan johada menyatakan bahwa keanggotaan kelompok dapat menciptakan sikap prasangka yang sulit di ubah, kelompok mempengaruhi perilaku komunikasi orang dalam cara-cara lain.

Penelitian ilmiah mengenai pengaruh kelompok pada perilaku manusia di mulai pada tahun 1930_an, terutama dengan penelitian psikologi sosial Muzafer Sherif (1936,1937). Solomon Asch (1955,1956,1958). Ahli psikologi yang lain, mengerjakan pada suatu penelitian berharga pada tekanan kelompok dan persesuaian kelompok.  Nama penting lain dalam penelitian kelompok adalah Kurt Lewin (1958), pendiri bidang yang di kenal dinamika kelompok (group dynamic), penelitian ilmiah perilaku manusia dalam kelompok. Penting nya kelompok dalam membentuk sikap politik dan pembuatan keputusan pemungutan suara di ungkapkan oleh suatu penelitian klasik yang dilaksanakan pada tahun 1940_an oleh sosiolog Paul Lazarsfleddan para koleganya (Lazarsfled, Barelson,dan Gaudet, 1968)[1]

 

 

 

 

 

Pembahasan

 

A.Pengertian Kelompok.

Dalam  ilmu sosial apakah itu psikologi, atau sosiologi, yang di sebut kelompok (group) bukan sejumlah orang yang berkelompok atau berkerumun bersama-sama di suatu tempat, misalnya sejumlah orang di alun-alun secara bersama-sama mendengarkan pidato tukang obat ynag tengah mempromosikan dagangannya, atau ibu-ibu di pasar yang secara bersama-sama sedang mengerumuni seorang pedagang sayur.

Apakah sejumlah orang secara bersama-sama berada di suatu tempat itu kelompok atau bukan, harus dilihat dari situasinya, contoh di atas mereka yang sedang mendengarkan bual tukang obat dan ibu-ibu yang tengah menawar sayur, adalah orang –orang dalam situasi kebersamaan (togetherness situasion). Beradanya mereka di situ secara bersama-sama kebutulan saja, karena tertarik perhatian oleh sesuatu. Mereka tidak saling mengenal. Kalaupun misalnya terjadi interaksi atau interkomunikasi, terjadinya hanya saat itu saja; sesudah itu tidak pernah terjadi lagi interaksi dan interkomunikasi.

Lain dengan situasi kelompok (group situation). Dalam situasi kelompok terdapat hubungan psikologis. Dengan demikian orang-orang yang terikat oleh hubungan psikologis itu tidak selalu berada secara bersama-sama di suatu tempat; mereka dapat saja berpisah, tetapi meskipun berpisah, tetap terikat oleh hubungan psikologis, yang menyebabkan mereka berkumpul bersama-sama secara berulang-ulang, bisa setiap hari. Contoh untuk itu adalah mahasiswa, karyawan, jawatan, buruh pabrik, para anggota pengajian atau anggota perkumpulan dan lain sebagainya.

 

 A. I  Klasifikasi Kelompok

Tidak setiap himpunan orang disebut kelompok. Orang-orang yang berkumpul di terminal, antri di depan bioskop, yang berbelanja di pasar, semuanya disebut agregat _bukan kelompok.[2]  Supaya agregat menjadi kelompok di perlukan kesadaran pada anggota-anggota akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka.  Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Jadi, dengan perkataan lain, kelompok mempunyai dua tanda psikologis.  Pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok _ ada sense of belonging_yang tidak dimiliki orang yang tidak bukan anggota.  Kedua, nasip anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain (Baron dan Byrne, 1979:558)

Para ahli psikologi – juga ahli sosiologi telah mengembangkan berbagai cara untuk mengklasifikasikan kelompok disini kita akan menjelaskan empat dikotomi: primer-sekunder, ingroup-outgroup, rujukan–keangotaan, deskriptif-preskriptif.[3]

*      Kelompok primer dan kelompok sekunder ;

Walaupun kita menjadi anggota banyak kelompok, kita terikat secara emosional pada beberapa kelompok saja.  Hubungan kita dengan keluarga kita, kawan-kawan sepermainan, dan tetangga-tetangga yang dekat (dikampung bukan di real estate).  Kelompok sekunder, secara sederhana, adalah lawan kelompok primer. Hubungan kita dengannya tidak akrab, tidak personal dan tidak menyentuh hati kita. Termasuk kelompok sekunder ialah organisasi massa, fakultas, serikat buruh, dan sebagainya.

Kita dapat melihat perbedaan antara kedua kelompok ini dari karakteristik komunikasi ; pertama, kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyikapkan unsur-unsur backstage (perilaku yang hanya kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas artinya sedikit sekali Kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Kedua, komunikasi pada kelompok primer bersifat personal. Ketiga, pada kelompok primer, komunikasi lebih menekankan aspek hubungan dari pada aspek isi. Komunikasi dilakukan untuk memelihara hubungan baik, dan isi komunikasi bukan hal yang sangat penting. Keempat dan kelima  ekspesif dan informal, sebagai lawan dari instrumental dan formal.

*      Ingroup dan outgroup ;

Ingroup adalah kelompok kelompok_kita, dan outgroup adalah sekelompok_mereka. Ingroup dapat berupa kelompok primer maupun sekunder. Keluarga kita adalah ingroup yang kelompok primer. Fakutas kita adalah ingroup yang kelompok sekunder.  Perasaan ingroup diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerjasama.

*      Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan ;

Definisi kelompok rujukan sebagai kelompok yang digunakan sebagai alat ukur(standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Jika anda menggunakan kelompok itu sebagai teladan bagaimana seharusnya bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan positif; dan jika anda menggunakanya sebagai teladan bagaimana seharusnya kita tidak bersikap. Kelompok itu menjadi kelompok rujukan negatif. Kelompok yang terikat dengan kita secara nominal adalah kelompok rujukan kita; sedangkan yang memberikan kepada kita identifikasi psikologis adalah kelompok rujukan.

*      Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif ;

John F. Cragan dan David W.Wright(1980:45) dari Illinois State University, membagi kelompok pada dua kategori : deskriptif dan preskriptif.  Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah.  Kategori preskriptif mengklasifikasikan kelompok menurut langkah-langkah rasional yang harus di lewati oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuannya.

 

 

 

 

 

B. Pengertian Komunikasi Kelompok.

1.  Pengertian Komunikasi Kelompok

Komunikasi kelompok (group communication) Berarti komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlah nya lebih dari dua orang. Seperti telah di terangkan di muka, apabia komunikan seorang atau dua orang itu termasuk komunikasi antar pribadi.

Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang yang dalam kelompok itu sedikit yang berarti kelompok kelompok kecil, komunikasi yang berlangsung disebut komunikasi kelompok kecil (small group communication); jika jumlah banyak yang berarti kelompoknya besar dinamakan komunikasi kelompok besar (large group communication)[4].

Secara teoritis dalam ilmu komunikasi untuk membedakan komunikasi kelompok kecil dari komunikasi kelompok besar tidak didasarkan pada jumlah komunikan dalam hitungan secara matematik, melainkan pada kualitas proses komunikasi tersebut.

Pengertian kelompok disitu tidak berdasarkan pengertian psikologis melainkan pengertian komunikologis.  Misal sejumlah kecil orang yang sedang mendengarkan pidato tukang obat di pasar, secara psikologis bukan merupakan kelompok, melainkan kerumunan orang yang berkumpul bersama –sama untuk sesaat. Bagi ilmu komunikasi, itu kelompok sejumlah orang yang sedang menjadi komunikan.

2.  Bentuk –bentuk Komunikasi Kelompok

karakteristik yang membedakan komunikasi kelompok kecil dari kelompok besar sebagai berikut ;

a)  Komunikasi kelompok kecil (small/micro group communication) adalah komunikasi yang ;

*    Di tujukan kepada kognisi komunikan

*    Prosesnya berlangsung secara dialogis

Dalam komunikasi kelompok kecil komunikator menunjukkan pesannya kepada benak atau pikiran komunikan misal; kuliah, ceramah, diskusi Dan lain-lain. Dalam situasi komunikasi seperti itu logika berparan penting. Komunikan dapat menilai logis tidanya uraian komunikator.

Ciri yang kedua dari komunikasi kelompok kecil ialah bahwa proses nya berlansung secara dialogis, tidak linear, melainkan sirkuler.  Umpan balik terjadi secara verbal. Komunikan dapat menanggapi uraian komunikator, bisa bertanya jika tidak mengerti, dapat menyanggah bila tidak setuju dan lain sebagainya .

b)  Komunikasi kelompok besar

Sebagai kebalikan dari komunikasi kelompok kecil, komunikasi kelompok besar (large/macro group communication) adalah komunikasi yang :

*    Di tujukan kepada efeksi komunikan

*    Prosesnya berlangsung secara linear

Pesan yang di sampaikan oleh komunikator dalam situasi komunikasi kelompok besar, di tujukan kepada afeksi komunikan,  kepada hatinya atau kepada perasaannya. Contoh untuk komunikasi kelompok besar adalah misalnya rapat raksasa di sebuah lapangan, jika komunikan pada komunikasi kelompok kecil umumnya bersifat homogen (antara lain sekelompok orang yang sama jenis kelaminya, sama pendidikannya, sama status sosialnya),  maka komunikan pada komunikasi kelompok besar umumnya bersifat heterogen; mereka terdiri dari individu-individu yang beranekaragam dalam jenis kelamin, usia,jenis pekerjaan,tingkat pendidikan, agama dan lain sebagainya.

Proses komunikasi kelompok besar bersifat linear, satu arah dari titik yang satu ke titik lain, dari komunikator ke komunikan. Tidak seperti pada komunikasi kelompok kecil yang telah di terangkan tadi berlangsung secara sirkular, dialogis, bertanya jawab.  Dalam pidato dilapangan amat kecil kemungkinan terjadi dialog antara seorang orator dengan salah seorang khalayak massa.

Dengan demikian paparan mengenai komunikasi yang terdiri dari komunikasi kelompok kecil/micro dan komunikasi kelompok besar/makro. Ciri-ciri dari klasifikasi kelompok di atas bersifat ekstrim, artinya diantara kedua ekstrimitas itu terdapat modifikasi –modifikasi.

 

C.Pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi.

Perubahan perilaku individu terjadi karena_apa yang lazim disebut dalam psikologi sosial sebagai pengaruh sosial (social influence).  “social influence occurs whenever our behavior, feelings,or attitudes are altered by what other say or do” begitu definisi baron dan byrne (1979:253). Disini kita akan mengulas tiga macam pengaruh kelompok : konformitas, fasilitasi sosial, polarisasi.

1.  Konformitas (conformity)/kesesuaian atau kecocokan

Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama. Kisler dan kiesler (1969), konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok_yang real atau yang di bayangkan.

Faktor –faktor yang mempengaruhi konformitas.

Seperti paradigma utama, konformitas adalah produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal.  Faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok.

2.  fasilitasi sosial

Prestasi individu yang meningkat karena di saksikan kelompok disebut Allport  sebagai fasilitasi sosial. Fasilitasi dari kata prancis facile, artinya, mudah menunjukkan kelancaran atau peningkatan kwalitas kerja karena di tonton kelompok. Kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga terasa menjadi lebih, “mudah.”

Energi yang meningkat akan mempertinggi kemungkinan di keluarkanya respon dan dominan. Respon dominan adalah perilaku yang kita kuasai. Bila respon yang dominan itu adalah respon yang benar, terjadi peningkatan prestasi.  Bila respon dominan itu adalah espon yang salah, terjadi penurunan prestasi. Untuk pekerjaan yang mudah, respon dominan adalah respon yang benar: kerena itu, peneliti-peneliti terdahulu melihat kelompok mempertinggi kwalitas kerja individu. Untuk menghafal pelajaran baru, respon dominan adalah respon yang salah. Karena itu, kelompok dapat mengurangi kwalitas kerja individu.

3.  polarisasi ( pertentangan atau perlawanan)

polarisasi menurut sebagian para ahli_boleh jadi disebabkan pada proporsi argumentasi yang menyokong sikap atau tindakan tertentu, bila proporsi terbesar mendukung sikap konservatif, keputusan kelompok pun akan lebih konservatif dan begitu sebaliknya (Ebbesen dan Bowers, 1974).

Polarisasi mengadung beberapa implikasi yang negatif. Pertama, kecenderungan ke arah ekstremisme menyebabkan peserta komunikasi menjadi lebih jauh dari dunia nyata; karena itu, makin besar peluang bagi mereka untuk berbuat kesalahan. Dan produktivitas kelompok tentu menurun.  Kedua,  polarisasi akan mendorong ekstremisme dalam kelompok gerakan sosial atau politik. Kelompok seperti ini biasanya menarik anggota-anggotanya yang memiliki pandangan yang sama.  Krtika mereka berdiskusi, pandangan yang sama ini makin di pertegas sehingga mereka makin yakin akan kebenaranya.  Keyakinan ini di susul dengan merasa benar sendiri (self_righteousness) dan meyalahkan kelompok lain. Proses yang sama terjadi pada kelompok saingan nya. Terjadilah polarisasi yang menakutkan di antara berbagai kelompok dan di dalam masing-masing kelompok (Myers dan Bishop, 1970)


KESIMPULAN

 

Ketika kita berbicara pada masalah komunikasi kelompok, perlu kita ketahui apa yang dimaksud dengan kelompok? Kelompok adalah sejumlah orang yang mempunyai ikatan secara psikologis dan mempunyai pikiran yang sama. Walaupun orang itu berada pada tempat yang berbeda, orang yang mempunyai ikatan tersebut tetap dapat dikatakan kelompok.

Dengan hubungannya dengan komunikasi kelompok, kelompok dapat kita kategorikan dalam empat kategori:

1.      primer-sekunder

2.      in-group dan out-group

3.      rujukan-keanggotaan

4.      deskriptif dan preskriptif

Agar kita mudah dalam membedakan dalam komunikasi kelompok, komunikasi kelompok dapat kita bagi menjadi dua, yaitu:

1.      Komunikasi kelompok besar

2.      Komunikasi kelompok kecil

Prinsip dari komunikasi kelompok adalah persamaan ide dan gagasan dari seluruh anggota kelompok komunikasi. Komunikasi pada kelompok dapat dipengaruhi dari beberapa faktor antara lain:

1.      Konformitas (Conformity) / kecocokan dan kesesuaian

2.      Fasilitas sosial (social facility)

3.      Polarisasi



[1] Jeverin, Warner J. & W, James Jr., Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan, Prenada Media, Jakarta, Hal. 219

[2]Rakhmat Jalaluddin , Psikologi Komunikasi , Remaja Rosda Karya, Bandung  1991 Hal 141

[3] ibid

[4] Effendy,Onong Uchjana , Ilmu,Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti,Bandung,2003

Amplop Siluman

 

Wartawan mempunyai mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu system pers dimanapun pers itu berada. Hal ini dikarenakan wartawan merupakan salah satu pelaku utama dalam dunia pers.[1] Kualitas pers dapat kita lihat salah satunya dengan cara  bagaimana cara wartawan itu dalam menulis sebuah berita, baik itu berupa keakuratan, kefaktualan, dan dengan tulisan yang dapat mengontrol (melakukan kontrol social) dengan tidak memandang bulu. Sehingga dengan begini fungsi pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi suatu negara dapat terwujud.

Jadi untuk membentuk system pers yang ideal diperlukan wartawan yang mampu untuk menjalankan tugasnya seperti yang terdapat dalam paragraph pertama agar pers dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Apakah kondisi di Indonesia sudah dapat dikatakan wartawan sudah menjalankan tugas sebagaimana mestinya sehingga fungsi pers sebagai kekuatan keempat dapat terlaksana.

Bila kita melihat keadaan pers di Indonesia secara relistis, harus kita akui peran pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi kita masih fluktuatif. Banyak hal yang menyebabkan kondisi pers di Indonesia masih seperti ini, salah satunya yaitu wartawan belum berperan sebagaimana mestinya dalam menjalankan tugasnya. Dan salah satunya adalah wartawan yang  dapat “dikompromi” dalam menyampaikan berita yang akan penulis bahas lebih dalam.

Seperti yang kita ketahui bahwa setiap tulisan dari wartawan yang akan dimuat dalam media dapat mempengaruhi khalayak.[2] Oleh karena itu untuk mereduksi salah satu kekuatan pers ini, obyek yang akan dimuat dalam berita memanfaatkan wartawan sebagai celah untuk meredam kekuatan pers. Di Indonesia wartawan merupakan salah satu kelemahan dalam system pers yang ada. Hal ini dikarenakan dalam melkukan pekerjaan sebagai wartawan di Indonesia tidaklah cukup untuk menghidupi keluarga, sedangkan wartawan juga merupakan manusia yang harus memberi nafkah pada keluarga. Kebanyakan wartawan yang ada di Indonesia bila hanya mengandalkan pendapatan bersih, rata-rata masih berada dibawah standart dan belum mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini dikarenakan karena banyaknya jumlah wartawan di Indonesia.

Sehingga dengan celah ini pihak obyek berita memberikan suatu solusi kepada wartawan. Dengan cara mereka memberikan materi biasanya berupa amplop atau yang bisa kita sebut amplop siluman  dengan mengisikan materi, konsekuensinnya wartawan harus bersedia mengurangi nilai keaktualan dan kefaktualan berita yang akan ditulis yang sebenarnya bisa merugikan obyek berita sendiri.

 Jadi ada huibungan timbal balik atau biasa kita namakan simbiosis mutualisme. Dimana dari kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, dari pihak obyek berita, keuntungan bisa berupa berita yang semulanya akan diberitakan kepada media yang notabenenya bisa menjatuhkan atau merugikan pihak obyek berita dapat digagalkan atau tidak akan dimuat dalam media karena sudah melakukan “perdamaian” dengan wartawan itu sendiri, sementara pihak wartawan juga diuntungkan dengan imbalan yang biasanya berupa “amplop siluman” dari pihak berita sebagai konsekuensi atas upaya jaga rahasia dari obyek berita.

Masalah amplop ini memang sangat tidak transparan. Banyak kalangan yang seganuntuk membicarakannya secara terbuka, namun pada kenyataannya tidak sulit kita temukan penyimpngan seperti ini. Sehinngga sangat tidak tepat jika pernyataan Napoleon Bonaparte tentang ketakutannya menghadapi sepuluh wartawan daripada seratus tentara bila melihat kondisi di Indonesia karena dengan menghadappi seratus wartawan kita hanya butuh seratus amplop sebagai senjata untuk menghadapi seratus wartawan. 


 Analisis

 

Melanggar Kode Etik Jurnalistik

“Penerimaan imbalan atau sesuatu janji untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu berita, gambar atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang, golongan atau suatu pihak, dilarang sama sekali”[3]

Kutipan tersebut merupakan penggalan dari kode etik jurnalistik, pasal lima ayat empat. Bila kita melihat dari pasal lima ayat empat dari kode etik jurnalistik ini, kita dpat mengambil kesimpulan bahwasannya system pers yang ada di Indonesia jelas-jelas melarang tindakan amplop siluman ini. jadi dari pasal empat kode etik jurnalistik ini mempunyi tujuan agar wartawan itu menulis dengan apa adannya sesuai dengan realita yang ada. Dan ini merupakan suatu tanngaung jawab yang diberikan oleh system pers yang ada di Indonesia kepada wartawan agar proses penulisan berita menjadi actual, factual, dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Oleh karena itu bisa dikatakan bahwasannya masalah amplop siluman merupakan tindakan yang melanggar kode etik jurnalistik dan sebenarnya juga ada sanksi tegas kepada siapapun yang melanggar baik itu berupa sanksi ataupun berupa skorsing kepada wartawan yang terlibat. Namun mengapa masalah amplop siluman masih sering kita jumpai dalam realitannya?

Walaupun sudah ada peraturan yang melarang dengan tegas namun tidak dapat kita pungkiri masih banyak celah yang mengakibatkan proses pelanggaran itu terus berulang. Dan salah satu factornya  adalah rendahnya penghasilan bersih yang diterima oleh wartawan sehingga mereka mencari solusi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara menerima “amplop siluman” tersebut. Namun secara garis besar amplop yang diberikan kepada wartawan ada dua jenis, yaitu[4]:

 

Amplop sebagai suap “amplop siluman”

Jenis amplop ini bertujuanagar wartawan tidak menulis berita yang dikonfirmasikannya, karena biasanya orang atau lembaga yang didatangi wartawan tadi memiliki masalah yang jika diberitakan oleh sang wartawan biasa berakibat buruk bagi obyek berita tadi. Pendek kata wartawan jangan menulis apapun, sebagai imbalannya wartawan memperoleh amplop jenis ini.

Seperti yang tertera dalam pasal empat dalamkode etik jurnalistik, semua penerbitan pers, baik cetak maupun elektronik sangat mengharamkan surat jenis ini. sanksi yang diterima bila terbuti kasus suappun cukup keras.

 

Amplop Sebagai Uang Trasportasi

            Amplop yang satu ini bukan sebagai suap, kkarena pemberiannya tidak ada hubungannya dengan suatu kasus yang dihadapi oleh seseorang atu sebuah lembaga. Uang transportasi ini biasannya diberikan hanya sebagai pengganti uang transportasi kepada wartawan karena telah meliput suatu berita. dan pemberiannyapun secara sukarela ataupun sudah dianggarkan dalam kepanitiaan ssebagai pengganti bensin atau onkos plang pergi dari kantor wartawan menuju tempat berita.

            Tetapi dalam kenyataannya banyak pihak yang mencampur adukkan antara amplop sebagai transport dan amplop sebagai suap, sehingga mereka memberikan suap dengan dalih sebagai onkos transport, namun jumlahnya ratusan kali dari jumlah transportasi. Selain itu amplop ini juga menimbulkan perasaan hutang budi dari wartawan kepada obyek yang mau ditulis, sehingga dapat mempengaruhi dalam penulisan berita walaupun kadarnya hanya sedikit.


 Solusi

 

Dari uraian penjabaran pada bab sebelumnya yang menjelaskan tentang permasalahan amplop sebagai bentuk suapan kepada wartawan pemakalah mempunyai beberapa solusi yang sekiranya dapat mereduksi penyakit amplop suap kepada wartawan, antara lain:

v Meningkatkan taraf hidup wartawan

Akar permasalahan dari kebersediaan wartawan untuk menerima suap pada dasarnya dipengaruhi oleh factor ekonomi. Bila factor ekonomi wartawan sudah dapat dikatakan tercukupi maka wartawan akan dapat lebih idealis.

 

v Kesadaran wartawan

Untuk mengatasi permasalahan ini, wartawan juga dituntut untuk merevitalisasi kepada fungsinya, dimana pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi. Jadi wartawan dituntut untuk menjalankan perannya sebagaimana mestinya, untuk mewujudkan pers sebagai kekuatan keempat dalam pilar demokrasi negara.

 

v Tindakan lebih tegas pada pemberi amplop

Dalam kode etik jurnalistik mungkin sudah melarang kasus suap ini, namun penekanannya kepada pihak wartawan. Pada hakikatnya yang perlu untuk dipertegas lagi adalah proses sanksi kepada penyuap yang sama saja melakukan kesalahan atau dosa dua kali, yang pertama jika ia melakukan suap berarti ia telah melakukan kesalahan karena takut terpublikasikan ia melakukan dosa yang kedua yaitu menyuap wartawan.


Daftar Pustaka

 

Kovach Bill & Tom Rossentiel, Elemen-Elemen Jurnalisme, Isai, Jakarta, 2003

 

Saiful Drs. Asep, MA, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktek, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999

 

Seno Prof Oemar Adji, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1990

 

Abdullah Drs Acing, Press Relations, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000

 

 

 

 



[1] Bill kovach & Tom Rossentiel, Elemen-Elemen Jurnalisme, Isai, Jakarta, 2003, hal 59

[2] Drs. Asep Saiful, MA, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktek, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal   53

[3] Prof Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1990 

[4] Drs. Acing Abdullah, Press Relations, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hal 46 

Sepakbola Sebagai Alat Pengurangan Pengangguran, Pemersatu dan Menggalang Solidaritas Bangsa

PENDAHULUAN

Piala Dunia telah membetot bola mata dunia. Dunia telah mampu dipersatukan oleh sepakbola Piala Dunia. Segala bangsa, ras, dan agama kini duduk mengakomodasikan bola mata si kulit bundar diolah dan dipermainkan oleh para arsitek dan para seniman bola. Tiba-tiba saja dunia bersukacita. Mengabaikan duka di Irak, di Gaza, di Guantanamo, dan Afghanistan.

Tidak ada jenis olahraga lain yang mampu melakukan itu. Tinju terlalu keras. Kurang manusiawi. Terlalu mengandalkan otot. Bola basket, rugby atau kricket, olahraga paling populer di Amerika Serikat, kurang lebih sama. Jenis-jenis olahraga itu cenderung kompatibel dengan struktur fisik yang spesifik. Fisik orang AS, misalnya, yang berotot sesuai dengan bola basket dan rugby. Demikian juga bulutangkis lebih kompatibel dengan fisik orang Asia.

Nilai ekonomi sepakbola, secara bisnis, luar biasa. Melibatkan dana triliunan rupiah. Nilai pasar Beckham 150 juta dolar. Michel Ballack, pemain top Jerman, berkisar 30 juta Euro. Belum lagi nilai jual dan nilai pasar Ronaldinho, pemain terbaik dunia asal Brazil saat ini. Semua itu melengkapi kesempurnaan cabang olahraga sepakbola yang mampu membuat bola mata dunia tidak berkedip di depan TV.

Sepakbola ternyata, pada akhirnya, telah muncul menjadi cabang olahraga permainan yang paling sesuai bagi segala suku, ras dan bangsa di dunia. Segala macam bentuk tubuh dan kekuatan otot kompatibel dengan sepakbola. Yang bertubuh pendek, tinggi, yang berotot kekar dan kerempeng bukanlah ukuran atau syarat untuk muncul sebagai pemain handal.

Lalu dari sini muncul sebuah opini bahwa sepak bola adalah salah satu media solidaritas antar bangsa, suku, ras dan agama. Kecanggihan tekhnologilah yang paling beperan dalam hal ini. Pada piala dunia 2010 ini, Global TV telah menjadi Official partner, dan menayangkan semua pertandingan mulai dari awal sampai pesta penutupan. Rasa yang kemudian timbul adalah rasa nasionalisme, tetapi sikap menghormati antar bangsa tetap terpelihara dan menambah solidaritas terhadap internal bangsa itu sendiri.

Kemudian, beberapa peristiwa di seluruh dunia berhenti sejenak dan semua mata tertuju pada satu yaitu bola, konflik yang terjadi di beberapa negara terhenti dan asyik untuk mengikuti perkembangan piala dunia. Kecanggihan tekhnologilah yang memfasilitasi itu semua dan hanya komunikasi yang menjadi medianya. Untuk itulah sejauh manakah peran komunikasi dan kecanggihan tekhnologi terhadap solidaritas antar bangsa?

 


PEMBAHASAN

A.    Teknologi Informasi

Seni (arts) yang terbentuk melalui latihan yang berkesinambungan sehingga dihasilkan kaki-kaki yang terampil dan bahasa tubuh yang responsif. Talenta, dipadu dengan manajemen dan organisasi yang profesional, membuat seluruh stakeholders sepakbola menikmati seni sepakbola yang mampu menyihir semua orang menjadi pecandu sepakbola.

Satu dekade terakhir, bisnis sepakbola semakin membuat banyak orang betul-betul kecanduan. Teknologi, terutama teknologi informasi telah membuat bola-bola passing dan bola yang diolah lewat sistem bertahan catenaccio, menjadi lebih indah dan enak ditonton.

Teknologi multimedia telah juga berhasil merekam semua seni yang telah dipertunjukkan, kemudian dianalisis secara seksama untuk kemudian menjadi bahan rumusan bagi strategi permainan berikutnya. Tidak pelak lagi, bahkan kecepatan tendangan lurus dari lapangan tengah seorang Lampard (MU, Inggris), dapat dihitung secara tepat.

Teknologi informasi telah berhasil dimanfaatkan oleh para arsitek sepakbola sedemikian sehingga bola mata dunia, kini, telah menjadikan cabang olahraga ini menjadi ladang bisnis yang sangat besar. Negara-negara calon tuan rumah Piala Dunia berlomba menawarkan kesiapsediaan dan kelebihannya masing-masing. Nilai ekonomi riil dan prospeknya setara dengan pagelaran Olimpiade.

Indonesia, saya kira, harus belajar dari situ. Belajar mengembangkan dirinya atau lebih khusus lagi cabang sepakbolanya dari perjalanan Piala Dunia ini. Teknologi informasi diyakini akan menjadi pilihan termudah dan termurah ke depan sebagai alat pemersatu bangsa. Sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa.

Letak dan rentang geografis kita yang berpencar dan sangat luas memaksa kita memilih satu alat yang bisa dijadikan sebagai pemersatu. Setelah BBM menjadi sangat mahal, berkonsekuensi naiknya tarif transportasi sehingga mobilitas kita sebagai suatu bangsa semakin terhambat dan melambat, maka teknologi informasi menjadi pilihan termurah, termudah dan terbaik yang tersedia kini.

Pertanyaannya kini ialah di mana letak persepakbolaan nasional kita. Budaya mengatur skor pertandingan, kepemimpinan wasit yang korup serta sportivitas penonton dan para pengelola sepakbola yang jeblok di titik nadir, memang menjadi keprihatinan kita semua. Di tengah upaya menciptakan lapangan kerja dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran, bukanlah sepakbola sebagai salah satu solusi?

 

B.     Memanfaatkan Momentum

Tidak berlebihan bila kita menyepakati, sembari mengembangkan cabang olahraga sepakbola, kita juga menjadikan sepakbola itu sebagai salah satu upaya menciptakan lapangan kerja, menjadi alat membangun solidaritas dan pemersatu bangsa. Teknologi informasi menjadi alat utama ke arah itu. Telkom telah memulainya. Internet berbiaya murah telah dimasukkan ke desa-desa di seluruh pelosok negeri. Setelah itu apa?

Harus ada desain yang terencana. Teknologi informasi itu harus benar-benar dimaksudkan sebagai bagian dari upaya kita mencerdaskan bangsa. Sertamerta dengan itu, kita pun berupaya merekat kesatuan bangsa. Mainan yang paling menarik dalam rangka merekat persatuan bangsa ialah sepakbola..

Sangat disayangkan justru orang-orang yang membidangi ilmu komunikasi dan informasi yang pertama langsung berteriak secara apriori. Mereka mengklaim langkah dan penampilan Presenter itu kontraproduktif. Sekali lagi, bangsa ini terlalu banyak dihuni oleh para ahli yang berpikir dan berperilaku apriori dan hipokrit. Teknologi informasi dan komunikasi mestinya ditempatkan dan dijadikan sebagai sarana pemersatu bangsa (unity maker) dan alat penggalang solidaritas (solidarity maker).

Seringkali kita lupa atau gagal memanfaatkan momentum yang ada. Momentum Piala Dunia harusnya menjadi waktu yang tepat bagi bangsa Indonesia tentang bagaimana solidaritas dapat dibangun, dunia dapat dipersatukan dan kita berada dalam satu platform yang sama, pecandu bola. Saya yakin kita bisa memulainya. Membangun bisnis sepakbola nasional yang tidak hanya sekadar memenuhi agen dan para sponsor atau membangkitkan emosi kedaerahan.

Kita ingin dan perlu membangun persepakbolaan yang secara bisnis bernilai ekonomi besar. Mampu mensejahterakan seluruh stakeholders. Melahirkan pemain-pemain berkelas dunia yang menjadi incaran klub-klub besar di dunia. Kita ingin melahirkan klub-klub sepakbola kaya raya seperti Manchester United atau Chelsea (Inggris), Real Madrid (Spanyol) atau AC Milan, Juventus (Italia). Nilai kapitalisasi klub-klub sepakbola ini sungguh luar biasa besar. Secara bisnis, klub-klub ini adalah entitas korporasi yang masuk kategori konglomerasi.

Klub-klub sepakbola di Eropa telah mampu membangun bisnis sepakbola secara profesional, baik secara bisnis maupun dalam mengelola aset intelektual dan talenta yang dimiliki para pemain kelas dunia yang dimilikinya (Talent and intlectual asset). Entitas korporasi klub-klub sepakbola besar seperti MU, Chelsea, Real Madrid, AC Milan dan Juventus telah mampu membangun kerajaan bisnis berbasis knowledge business dengan pendekatan paradigma baru.

Meninggalkan bisnis yang berbasis industri (industrial business) dengan paradigma lama. Paradigma lama bisnis dipandang sebagai kegiatan produksi barang di mana pasar masih tradisional yaitu pasar produsen. Kini, bisnis sudah berbasis pengetahuan di mana pasar adalah pasar konsumen yang kadangkala bahkan virtual. Bisnis sepakbola telah mencapai itu, menjadi bisnis berbasis pengetahuan dengan paradigma baru.

Saya kira kita tidak sedang bermimpi pada suatu saat, bola mata dunia yang tengah menonton Piala Dunia tahun 20….., menyaksikan salah satu pesertanya adalah Kesebelasan Nasional Indonesia. Sungguh kita tidak perlu pesimis. Bersama kita bisa. Bukankah semua keinginan dan cita-cita besar dimulai dari mimpi? Termasuk memimpikan PSSI menjadi salah satu peserta final World Cup  Semoga…..

IDENTITAS BUDAYA DAN KOMPETENSI LINTAS BUDAYA

PENDAHULUAN

 

Cara kita berpikir dapat terkoordinasikan secara kultural. Budaya-budaya Timur melakukan sesuatu dengan menggunakan visualisasi-visualisasi, sedangkan budaya-budaya Barat cenderung menggunakan konsep-konsep. Karena suatu konsep adalah suatu gagasan umum tentang ciri-ciri yang diketahui mengenai suatu subyek, ia memberikan suatu kerangka untuk memikirkan atau menganalisa suatu topik atau pengalaman tertentu.

Apakah persamaan yang dimiliki laporan-laporan pers yang menjadikan laporan-laporan lebih bermakna? Tentu saja, konsep budaya. Budaya adalah suatu alat yang berguna untuk memahami perilaku manusia di seluruh bumi, juga di negeri kita sendiri.

Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktek-praktek, dan tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang diwariskan oleh suatu generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Pada gilirannya, kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima kebenaran-kebenaran tersebut tentang kehidupan di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan, dan melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku yang dapat diterima untuk hidup dalam masyarakat tersebut. budaya membengaruhi dan dipengaruhi oleh setiap fase manusia.

Individu-individu sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana kita dibesarkan dan tinggal, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman budaya in pada diri kita. Kita cenderung mengabaikan dan menolak apa yang bertentangan dengan kebenaran cultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan kita. Ini sering kali merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh di antara anggota-anggota kelompok-kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan menghadapi tantangan. Masalah akan uncul bila suatu budaya dan cara pikirnya tertinggal di belakang penemuan-penemuan dan realitas baru. Kemajuan-kemajuan ilmu dan tekhnologi, misalnya, telah jauh mendahului ajaran-ajaran cultural masyarakat. Ini merupakan salah satu efek sampingan akselerasi perubahan, yang menimbulkan jurang budaya (cultural gap)[1].

Manajer-manajer modern bekerja dalam lingkungan-lingkungan multibudaya, dan perlu memahami apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan tersebut serta mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah perbedaan budaya yang timbul. Dengan demikian, perilaku mereka akan lebih sesuai, peka, dan ajeg, bila mereka berinteraksi dengan kelompok manapun. Untuk mencapai tujuan itu, maka adalah penting untuk mengetahui makna budaya dan cara-cara menganalisa perwujudannya yang berbeda-beda.



 

A.    PARAMETER DAN IDENTITAS BUDAYA

Sebagai contoh kita memandang suatu kelompok tertentu mengadakan interaksi dalam suatu sistem kapasitas atau identitas sosial serta memainkan peran. Hubungan antara dokter dan pasien, serta antara dokter dan perawat, berupa hubungan-hubungan identitas; perilaku yang tepat, antara orang-orang dalam berbagai kapasitas ini adalah hubungan peran. (Identitas berfokus pada kapasitas, peranmenjelaskan perilaku yang tepat bagi seorang pelaku dalam kapasitas tertentu). Perlu dicatat sebagaimana dalam masalah budaya, kita mengabstraksikan apa yang umum bagi dokter dan pasien, dan mengabaikan keberagaman antar individu[2].

Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Ia bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang lainnya, ia dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian merupakan suatu faktor pemersatu.

Budaya juga membantu kita memahami wilayah planet atau ruang yang kita tempati. Suatu tempat hanya asing bagi orang-orang asing, tidak bagi orang-orang yang menempatinya. Budaya memudahkan kehidupan dengan memberikan solusi-solusi yang telah disiapkan untuk memecahkan masalah-masalah, dengan menetapkan pola-pola hubungan, dan cara-cara memelihara kohesi dan consensus kelompok. Banyak cara atau pendekatan yang berlainan untuk menganalisis dan mengkategorikan suatu budaya agar budaya tersebut lebih mudah dipahami.

Oleh karena budaya memberi identitas kepada sekelompok orang, bagaimana kita dapat mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang menjelaskan sekelompok orang sangat berbeda? Salah satunya adalah dengan menelaah kelompok dan aspek-aspeknya. Beberapa di antaranya[3]:

1.      Komunikasi Dan Bahasa

Sistem komunikasi verbal dan nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak bahasa asing di dunia. Sejumlah bangsa memiliki lima belas atau lebih bahasa utama (dalam suatu kelompok terdapat dialek, aksen, logat, jargon, dan ragam lainnya). Lebih jauh lagi, makna-makna yang diberikan kepada gerak-gerik. Meskipun bahasa tubuh mungkin universal, perwujudannya berbeda local. Subkultur-subkultur seperti kelompok militer, mempunyai peristilahan dan tanda-tanda yang menerobos batas-batas nasional.

 

2.      Pakaian Dan Penampilan

Ini meliputi pakaian dan dandanan luar, juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara cultural. Kita mengetahui adanay kimono Jepang, penutup kepala Afrika, paying Inggris, sarung Polynesia, dan ikat kepala Indian Amerika. Beberapa suku bangsa mencorengi wajahnya mereka untuk bertempur, sementara sebagian wanita menggunakan kosmetik untuk memperlihatkan kecantikan. Banyak subkultur menggunakan pakaian yang khas-jeans sebagai pakaian kaum muda di seluruh dunia, seragam untuk sekelompok tertentu.

3.      Makanan Dan Kebiasaan Makan

Cara memiloih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Orang-orang Amerika menyenangi daging sapi, tapi daging sapi terlarang bagi orang hindu.

4.      Waktu Dan Kesadaran Akan Waktu

kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan yang lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian yang lainnya merelatifkan waktu. Umumnya, orang Jerman tepat waktu, dan orang Amerika Latin lebih santai.

5.      Penghargaan Dan Pengakuan

suatu cara lain untuk mengamati suatu budaya adalah dengan cara memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian, atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas. Pengakuan bagi para prajurit perang adalah dengan membolehkan mereka mentato tubuh mereka. Pengakuan-pengakuan lainnya bagi prajurit-prajurit perang yang berani itu adalah dengan memberi mereka topi perang, ikat pinggang, atau bahkan intan.

6.      Hubungan-Hubungan

budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan dan lain-lain. Unit keluarga merupaka wujud paling umum bagi hubungan manusia, dan bentuknya bisa kecil dan bisa juga besar.

7.      Nilai Dan Norma

sistem kebutuhan bervariasi pula, sebagaimana prioritas-prioritas yang melekat pada perilaku tertentu dalam kelompok. Mereka yang menginginkan kelangsunga hidup, menghargaoi usaha-usaha pengumpulan makanan, penyediaan pakaian dan perumahan yang memadai, sementara mereka yang mempunyai kebutuhan yang lebih tinggi menghargai materi, uang gelar, dan sebagainya.

Berdasarkan sistem nilainya itu, suatu budaya menetapkan norma-nor,ma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan-aturan keanggotaan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga ke kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak.

8.      Rasa Diri Dan Ruang

kenyamanan yang orang miliki dengan dirinya dapat diekspresikan secara berbeda oleh budaya. Identitas diri dan pengahargaan dapat diwujudkan dengan sikap yang sederhana dalam suatau budaya, sementara dalam budaya lain ditunjukkan dengan perilaku yang agresif. Dalam budaya-budaya tertentu rasa kebebasan dan kreatifitas dibalas oleh kerjasama dan konformitas kelompok. Orang-orang dari budaya tertentu seperi orang Amerika, memiliki rasa ruang yang membutuhkan jarak lebih besar antara individu-individu lainnya, sementara orang-orang Amerika Latin dan orang-orang Vietnam menginginkan jarak  yang lebih dekat lagi. Beberapa budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya-budaya lain lebih lentur dan informal.

9.      Proses Mental Dan Belajar

beberapa budaya menekankan aspek pengembangan otak ketimbang aspek lainnya, sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar. Antropolog Edward Hall berpendapat bahwa pikiran adalah budaya yang terinternalisasikan, dan prosesnya berkenaan dengan bagaimana orang mengorganisasikan dan memproses inforamsi. Kehidupan dalam suatu tempat tertentu menetapkan pahala-pahala dan hukum-hukum untuk mempelajari atau tidak mempelajari informasi tertentu, dan ini ditegaskan dan diperkuat oleh budaya di sana.

10.  Kepercayaan Dan Sikap

barangkali klasifikasi yang paling sulit adalah memasitkan tema-tema kepercayaan utama sekelompok orang, dan bagaimana faktor ini serta faktor-faktor lainnya mempengaruhi sikap-sikap mereka terhadap siri mereka sendiri dan orang lain, dan apa ynag terjadi dalam dunia mereka. Orang-orang dalam dunia budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap hal-hal supernatural yang jelas dalam agama-agama dan praktek-praktek agama mereka.

 

B.     BATASAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN PERANNYA

Konsep komunikasi antar budaya, tampaknya semakin penting pada dewasa ini, pada zaman di mana kemajuan tekhnologi komunikasi dan transportasi telah memungkinkan manusia di berbagai penjuru dunia saling mengenal dan berhubungan antara sesamanya.

Pembinaan kebudayaan berlangsung melalui proses-proses asasi, yang dalam ilmu internasional dinamakan inkulturasi, akulturasi dan modernisasi. Ketiga proses itu mempunyai hubungan timbal balik, dan berganti-ganti dapat merupakan penghalang TU pendorong satu sma lain dan mengalami akselerasi atau pembekuan[4].

Perkembangan jaringan komunikasi dan meningkatnya jumlah orang yang berkunjung ke dan menetap di suatu negara lain, baik untuk sementara ataupun untuk menetap. Hal ini telah menumbuhkan kesadaran akan perlunya memahami budaya orang lain. Budaya asing telah menjadi satu bagian yang penting dalam lingkungan komunikasi mereka.keberhasilan seseorang ditentukan oleh kemapuan mereka dalam mengatasi masalah-masalah budaya. Mereka yang dapat mengatasi masalah budaya secara efektif inilah, baik dalam konteks nasional ataupun internasional.

Adler mengatakan bhawa orang yang identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan dan yang komitmennya bertaut dengan suatu pandangan bahwa dunia ini merupakan suatu komunitas global, ia adalah orang yang secara intelektual dan emosional terikat pada kesatuan fundamental semua manusia yang pada saat yang sama mengikuti, menerima, dan menghargai perbedaan-perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya yang Adler menyebutnya sebagai manusia multibudaya[5]. Identitas manusia multibudaya tidak berlandaskan pada pemikiran  yang mengisyaratkan memiliki atau dimiliki budaya, tetapi berlandasarkan pada kesadaran diri yang mampu bernegosiasi tentang rumusan realitas-realitas yang  baru.

Dengan menjadi manusia multibudaya tidaklah berarti bahwa kita lalu kehilangan identitas kita sebagai warga dari bangsa dan budaya tertentu. Tidak pula berarti bahwa secara harfiah berbuat seperti orang Roma jika kita berada di Roma. “Tetapi kita berusaha berpikir, bersikap, dan berperilaku dengan cara-cara yang dapat diterima budaya orang lain tapi juga diterima budaya kita sendiri”.

Bagi para calon pemimpin bangsa, kesediaan dan kemampuan menjadi manusia multibudaya ini meadi lebih penting lagi, karena dengan peranan dan pengaruhnya, mereka dapat membantu mengatasi konflik-konflik antarbudaya di negara mereka sndiri atau bahkan konflik-konflik antara bangsa mereka dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kalimat lain, bila para pemimpin bangsa di dunia bisa saling memaham, dan menghargai budaya bangsa lainnya, maka akan lebih mudahlah bagi bangsa-bangsa yang bersangkutan untuk hidup rukun.

Memang, bila kita dua bangsa yang ada dalam permusuhan atau bahkan pepereangan, maka permusuhan atau peperangan itu biasanya diputuskan oleh para pemimpin bangsa-bangsa tersebut.

 

C.    TELAAH KRITIS

 Tapi jangan lupa juga sebuah topik standar dalam sejarah ide-ide dan kajian-kajian kebudayaan adalah konstelasi hubungan-hubungan yang dapat dikumpulkan di bawah judul pengaruh. Dan juga menimbang esai Eliot “tradition and the individual talent” sebagai suatu cara untuk mengedepankan masalah pengaruh dalam bentuknya yang paling mendasar, bahkan abstrak; kaitan antara masa kini dan kemasalampauan (atau bahkan) dari masa lampau, suatu kaitan yang sebagaimana dibahas oleh Eliot mencakup hubungan antara seorang penulis individu dan tradisi di mana dia menjadi bagian. Dalam menelaah hubungan antara Barat dan budaya lain yang didominasinya bukanlah semata-mata suatu cara untuk memahami hubungan yang tidak sederajat antara teman-teman bicara yang tidak sederajat, melainkan juga titik masuk ke dalam penelaahan terhadap pembenytukan dan makna praktik-praktik kebudayaan barat itu sendiri.dan perbedaan yang senantiasa ada dalam kekuatan antara barat dan nonbarat harus diperhitungkan jika kita ingin memahami secara tepat bentuk-bentuk kebudayaan seperti yang ada dalam novel[6].

Selanjutnya ketika bagian-bagian kebudayaan yang dianggap tidak netral seperti kesusastraan dan teori kritis menyatu dalam kebudayaan yang lebih lemah atau lebih rendah dan menafsirkannya dengan gagasan-gagasan mengenai esesi-esensi non-eropa dan Eropa yang tidak berubah, narasi-narasi tentang pemilikan geografis, dan citra-citra tentang legitimasi dan penebusan, konsekuensinya yang meyakinkan adalah penyamaran situasi dan menyembunyikan berapa besar pengalaman pihak yang lebih kuat bertampalan dan anehnya tergantung pada pihak yang lebih lemah.


PENUTUP

 

Demikianlah beberapa pokok soal yang penting mengenai identitas dan kompetensi lintas budaya yang dapat kami sampaikan pada makalah ini. Adapun tujuan yang terkandung dalam penyajian ini adalah untuk merangsang serta menuntun diskusi dan pemikiran bersama dalam menghadapi beberapa masalah yang amat pelik yang kita dihadapi pada era cyber tekhnologi sekarang ini, yaitu : masalah komunikasi antar budaya. Karenanya, apa yang ada dalam makalah ini adalah jauh dari lengkap. Semoga dari yang terbatas ini, dapat ditarik manfaat yang maksimal.


PUSTAKA

 

Said, Edward. W., 1995, Kebudayaan Dan Kekuasaan, (Bandung: Mizan)

Bakker, J.W.M., 1992, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius)

Keesing, Roger M. & Gunawan, Samuel, 1992, Antropologi Budaya, (Jakarta: Erlangga)

Mulyana, Dedy & Rahmat, Jalaludin, 1993, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya)

 





[1] Dedy Mulyana & Jalaludin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, Hal. 59

[2] Roger M. Keesing & Samuel Gunawan, Antropologi Budaya, Erlangga, Jakarta, 1992, Hal. 74

[3] Op. Cit., Komunikasi Antar Budaya, Hal. 62

[4] J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Kanisius, Yogyakarta, 1992, Hal. 103

[5] Op. Cit., Komunikasi Antar Budaya, Hal. 200

[6] Edward. W. Said, Kebudayaan Dan Kekuasaan, Mizan, Bandung, 1995, Hal. 259