Minggu, 20 Juni 2010

TINDAKAN KEKERASAN AKIBAT KONFLIK ANTAR ETNIS

PENDAHULUAN

 

 

Etnis Merupakan suatu ketentuan untuk  menghadapi golongan satu terhadap yang lain. Setiap golongan itu cenderung fanatik kepada golongannya sendiri dan menganggap rendah golongan lain, karena terbawa oleh kebudayaan, adat dan letak geografis. Oleh karena itu, hubungan antar warga dari berbagai golongan suku bangsa yang berlainan cenderung tegang, saling curiga dan mendasarkan pada stereotip etnis. Seperti dikatakan oleh Suwarsih warnaen dalam bukunya Stereotip bahwa pengelompokan suku bangsa sangat tajam dan warga setiap suku bangsa cenderung bersatu.

Ketegangan antara suku bangsa di Indonesia terjadi karena latar belakang lingkungan alm dan sosial budaya yang berbeda. Begitu juga perbedaan dalam berbagai karakteristik yang penting, tidaklah mengherankan jika kontak di antara mereka tidak akan mencapai sukses interpersonal dan kurang saling menghargai. Dari ketegangan ini dapat menimbulkan permusuhan dan tindak pidana pembunuhan yang seharusnya tidak terjadi.

Hal di atas dapat dicontohkan seperti yang terjadi berikut ini. Ada satu tindak pidana pembunan akibat konflik antar etnis. Pada mulanya Dekir (Madura) dibunuh oleh Indra Cs. (Jawa). Melihat adiknya terbunuh Nawakip dan Busri mencari Sholeh, karena tidak dapat menemukannya, Nurisman (ayah Indra) dibunuh. Seusai pemakaman Nurisman, masa 1000 orang secara spontanitas mencari kedua tersangka tersebut. Karena tidak menemukan mereka, maka massa merusak dan membakar rumah serta mobil milik orang-orang Madura di daerah tersebut. Singkat cerita akhirnya pembalasan dari orang-orang Madura pun  terjadi yang akhirnya berbuntut panjang.

Hal-hal yang berkaitan tentang etnis dan kebudayaan akan penulis sajikan dalam bab selanjutnya.


PEMBAHASAN

 

 

1. Pengertian

Etnis adalah sebuah kata dari dunia pakar sosiologi dan antropologi di beberapa negara etnis merupakan kata  yang ”bersih untuk suka” dalam situasi lain. Etnis menunjuk kepada agama, bahasa, warna kulit, asal-ousul daerah atau tempat tinggal sekarang.[1]

Etnis adalah dikenal dengan suku bangsa (Suwarsih Warnean). Kelompok atnis dalam konsep dasarnya sama dengan istilah suku bangsa Indonesia dari sudut pandang kebangsaan yang melatar belakangi perkembangan kebudayaan . yang menyebabkan adanya paroh (suku) bangsa dan istilah kelompok etnis lebih cenderung dipakai di lingkungan akademik, terutama untuk membiasakan pemakaiannya dengan konsep tentang kelompok-kelompok sosial yang berkembang di lingkungan ilmu0-ilmu sosial kebudayaan.[2]

Adapun ciri-ciri suatu populaasi tentang kelompok etnis yaitu (Tundjung W. Sutirto):

1.      Secara biologis mampu berkembang dan bertahan

2.      Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya

3.      Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri

4.      Menentukan diri kelompok sendiri yang diterima olehg kelompok lain

 

2. Indonesia Sebagai Bangsa Multi Etnis

Indonesia adalah salah satu negara dengan berbagai macam masyarakat, karena kita sudah terbiasa dengan gambaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbentuk dari berbagai suku, ras, bahasa, budaya dan agama dan mendiami ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar luas di suatu kawasan nusantara ciri utama masyarakat majemuk adalah kehidupan masyarakat kelompok berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh perbedaan sosial dan tergabung dalam kesatuan politik.

Kondisi masyarakat majemuk seperti ini suatu kota dapat diklasifikasikan atas dua kategori bentuknya:[3]

a. Horizontal

1.  Etnik dan ras atau asal usul keturunan

2.  Bahasa daerah

3.  Adat istiadat atau perilaku

4.  Agama

5.  Pakaian atau makanan atau budaya material

b. Vertikal

1.  Penghasilan ekonomi

2.  Pendidikan

3.  Pemukiman

4.  Pekerjaan

5.  Kedudukan sosio politik

Keadaan tersebut di atas pada akhirnya berakibat memunculkan ketidakkeserasian dalam masyarakat yang bersumber dari 3 faktor yaitu:[4]

1.  Perbedaan sumber data, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi

2.  Perluasan batas kelompok sosial budaya

3.  Benturan kepentinfgan politik, idiologi, dan agama

Peristiwa-peristiwa yang terjadi gara-gara etnis yaitu bernuansa kekerasan terjadi sejak zaman kolonial Belanda atau sejak abad 18 yaitu kekuasaan orang Madura yang tercermin dari tindak pembunuhan yang dilakukan oleh Raden Sagaro terhadap musuh-musuh kerajaan Medang Kumulan seperti yang diungkapkan dalam legenda tantang ditemukannya Pulau Madura. Tidak luput dari sejarah tersebut kasus yang pernah muncul di Poso juga peristiwa yang sejenis.

Adapun  sikap yang dapat menimbulkan masalah dan dapat mempengaruhi interaksi antar kelompok dan masyarakat majemuk adalah:

1.      Sikap solidaritas buta yaitu sikap yang muncul karena keakraban dalam kelompok cukup kuat dan senantiasa berusaha membela kelompoknya atau anggota kelompoknya dengan cara dengan cara apapun.

2.      Sikap Etnosentrisme yaitu sikap yang selalu mengutamakan kelompok sendiri dan selalu memandang kelompoknya lebih baik sari kelompok lain sehingga memancing reaksi negatif dari kelompok lainnya. Akibat dari sikap ini timbul sikap-sikap selanjutnya yaitu seperti: kecurigaan, merendahkan orang dari kelompok lain, kurang bergaul dengan kelompok lainnya.

3.      Sikap Partikularis yaitu sikap yang lebih mengutamakan orang yang mempunyai hubungan khusus dengannya. Pergaulannya terbatas pada orang yang mempunyai hubungan khusus yaitu baik itu agama, suku, dan daerah.

4.      Sikap Eklusif yaitu sikap yang hanya mau melibatkan diri dengan kelompok saja.

Masalah yang juga sering terjadi dalam suatu masyarakat pluralistik lain adalah ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat terhadap kelompok minoritas.[5]

 

3. Konflik Etnis dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Sebelum kita membicarakan tentang konflik etnis, terlebih dahulu kita harus memahami apa itu konflik, konflik adalah suatu konsekuensi dari komunikasi yang buruk, salah pengertian, salah perhitungan, dan proses-proses lain yang tidak kita sadari. Dan konflik sebenarnya dibangun atas dasar persepsi salah paham.[6]

Menurut Peter Davies dalam bukunya Hak-Hak Asasi Manusia mengutarakan bahwa untuk bahasa hubungan internasional istilah ”konflik etnis”  itu dapat digunakan dalam pengertian “konflik kelompok” yang loebih umum. Karena dalam kenyataan bahwa pertikaian antar kelompok lebih luas dari sekedar konflik etnis.[7] Dan sejauh ini, kekerasan atas nama agama dan etnis menempati angka yang cukup tinggi.

Di Indonesia terutama pada masa-masa terakhir ini nyaris menunjukkan fenomena yang serupa, kelompok tertentu melakukan tindak kekerasan. Langsung atau struktural terhadap penganut agama lain. Konflik kekerasan Sambas di Kalimantan Barat pada tahun 1996 dan 1997-1999, yang kemudian meluas sampai Sampit, serta sempat merambah ke Palangkaraya, Kuala Kapuas dan Bangkalan. Untuk kesekian kalinya, Kalimantan diguncang Konflik warga suku Dayak dengan suku Madura. Pertikaian yang bermula di Sampit, akhirnya meluas ke seluruh Propinsi Kalimantan Tengah. Konflik yang terjadi pada saat pemerintah presiden Abdurahman Wahid ini, menurut catatan KOMNAS HAM, telah menamakan korban 325 jiwa, puluhan terbakar, dan tidak kuarang dari 25.000 (per Maret 2001) orang Madura mengungsi keluar daerah. Tragedi di Kalimantan tahun 2001 ini merupakan realitas yang cukup menggelitik rasa kemanusiaan kita.[8]

Selanjutnya menurut Prof. Dr. Tubagus Ronny Rohman Nitibaskara bahwa penyebab konflik kakarasan antar etnis secara umum, yaitu:

1)      Faktor struktural

Faktor  yang bersifatjangka panjang, yang membentuk kondisi yang kondusif bagi meletusnya konflik kekerasan antar etnis yaitu kesenjangan ekonomi budaya.

 

 

2)      Faktor pemercepat

Adalah tindakan para aktor di lapangan yang memiliki pengeruh yang dapat memicsu meluasnya konflik secara teoritis, kendatipun faktor struktural sudah sedemekian matang untuk terjadinya konflik kekerasan, tetapi jika tidak dipicu oleh tindakan para aktor ini konflik tidak akan meledak.

Menurut Sellm (1938) konflik etnis yang berdampak kekerasan disebabkan antara lain:

a.       Adanya suatu kelompok kebudayaan bermigrasi ke daerah kelompok kebudayaan uang lain atau norma dari suatu kelompok diperluas atau diberlakukan pada kelompok kiebudayaan lain.

b.      Adanya suatu aturan yang tidak tertulis yang dimiliki oleh kelompok budaya  tertentu berbenturan pada batas kebudayaan kelompok lain.


PENUTUP

 

 

Apabila kita membahas masalah keanekaragaman budaya dan masalah-masalahnya memang tidak akan habis, tapi dapat kita analisis dari beberapa paparan di atas bahwa konflik antar etnis itu bisa timbul akibat sikap solidaritas yang masih buta, etnosentris, partikularis dan sikap eklusif. Tidak hanya itu saja salah pengertian dalam penerimaan komunikasi atau miss understanding dapatt juga memicu terjadinya konflik antar etnis.

Konflik yang begitu menjamur di negeri ini sangat membuat hati cemas dan risau. Mengapa kekayaan suku, ras, adat, agama dan lain-lain dapat membuat suatu permasalahan yang begitu serius. Padahal pluralistik kebudayaan adalah mutlak terjadi, tidak ada suatupun di negeri ini yang sama. Masing-masing kebudayaan mempunyai karakteristik sendiri, yang hal itulah yang justru membuat mereka dalam lubang fanatisme  berlebihan.

Konflik tersebut juga tidak terlepas dari faktor structural dan juga konstitusional  yang dimiliki masing-masing etnis. Tidak ada ukuran batasan untuk menyamakan suatu norma. Sehinggga suatu kelompok tidak mau tahu kalau mereka telah memasuki suatu batasan kelompok lain.

Konflik yang begitu mewabah di negeri ini semoga saja dapat menjadi bahan kontemplasi kita untuk melakukan perenungan diri bahwa sikap yang demikian itu tidak mengonstruk kebudayaan kita malah sebaliknya, kekayaan kebudayaan dapat menjadi bomerang bagi kita sendiri dan membuat kita terpecah belah.



[1] Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia, hal. 172

[2] Suwarsih Warnean, Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Etnis, hal. 10

[3] Tanjung W. Sutirto, Perwujudan Kesukubangsaan Etnik Pendatang, hal 39

[4] Ibid., hal. 19

[5] MAurits Simatupang, Budaya Indonesia yang Supra Etnis, hal. 15 & 19

[6] Op. Cit., Suwarsih, hal. 5

[7] Op. Cit., Davies

[8] Ibid., hal. 180

Televisi dan Anak-anak

BAB I

PENDAHULUAN

 

Anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat, sebagaimana diketahui benar oleh para pemasang iklan, pendidik, khususnya anak-anak serta orang tua merekasendiri. Bagi anak, televise adalah teman bermain mereka selain itu televise juga sebagai salah satu teman akrab yang setia ketika anak merasa kesepian atau tidak punya kegiatan.

Televisi mempunyai banyak kelebihan sehingga anak-anak telah menentukan bahwa menonton televise adalah pilihan yang paling disenangi. Selain kesederhanaannya dalam menyampaikan pesan, televise juga ditunjang dengan sifatnya yang audio-visual (pandang-dengar), sehingga informasi data yang disampaikan menjadi sangat mudah untuk diterima dan dicerna oleh pemirsa, bahkan untuk anak kecil sekalipun.

Berkaitan dengan hal ini, penelitian Grenberg mengungkapkan adanya delapan motif kenapa anak suka menonton televise, yaitu[1]: Untuk mengisi waktu, melupakan kesulitan, mempelajari sesuatau, mempelajari diri, memberikan rangsangan, bersantai, mencari persahabatan dan sekedar persahabatan. Jadi, tidak selamanya tapi lebih cenderung dalam rangka pencarian kepada sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya.

Keberadaan televisi bisa dikatakan sedikit banyak merubah kehidupan seseorang, tak terkecuali seorang anak. Para psikolog Universitas Michigan, Dr. Leonard Eron dan Dr. Rowell Huesmann, selama beberapa dasawarsa terakhir mengikuti kebiasaan menonton pada sekelompok anak. Mereka mendapati bahwa menonton kekerasan di TV merupakan faktor yang paling dekat hubungannya dengan perilaku agresif melebihi kemiskinan, ras, atau perilaku orang tua. Eron mulai pengkajian longitudinal yang luar biasa terhadap sekitar 800 anak usia delapan tahun. Ia mendapati bahwa anak-anak yang menonton televisi keras berjam-jam cenderung lebih agresif di ruang kelas maupun di tempat bermain.

Sebelas dan 22 tahun kemudian Eron dan Huesmann mencek kembali anak-anak ini dan mendapati anak-anak usia 8 tahun yang agresif tadi menjadi jauh lebih agresif ketika mencapai usia 19 tahun dan 30 tahun, serta membuat masalah-masalah yang lebih besar termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan pelanggaran lalu lintas dibandingkan dengan rekan mereka yang kurang agresif karena tidak sebanyak mereka menonton kekerasan di televisi. Bahkan periset-periset ini juga mendapati bahwa sekalipun seorang anak tidak agresif pada usia 8 tahun, tetapi menonton acara kekerasan di TV dalam jumlah yang cukup banyak, ia akan menjadi lebih agresif pada usia 19 tahun dibandingkan rekan-rekan sebaya yang tidak menyaksikan kekerasan di TV.

Dalam kesaksian di depan Kongres pada tahun 1992, Eron dan Huesmann mengatakan, “kekerasan di televisi mempengaruhi para remaja di segala usia, dari kedua jenis kelamin, pada semua tingkat sosio-ekonomis dan intelejensias. Pengaruhnya tidak terbatas pada anak-anak yang memang sudah berawak agresif, juga terjadi di negara mana pun.”[2]

Menigkatnya tingkat kriminalitas yang juga sangat dipengaruhi oleh pragram-program kekerasan televisi pada era sekarang ini sangat meresahkan semua aspek masyarakat mulai dari pemerintah, para guru dan juga para orang tua. Oleh karena itu, kita harus waspada dan mencegah sedini mungkin untuk memperkecil dan mengurangi kriminalitas. Bagaimana caranya agar kebudayan menonton televisi yang luar biasa pada anak-anak bisa kita jadikan untuk mempengaruhi cara berpikir serta sebagai pengalaman yang memperkaya seluruh keluarga khususnya anak-anak.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Memahami Anak

Memahami anak memang bukan untuk kita, tapi hanya untuk menjaga dan menciptakan keberlangsungan komunitas yang lebih baik daripada masa yang pernah kita dan orang-orang dahulu alami. Karena itulah kta perlu belajar dari sejarah, bukan hanya belajar sejarah.

Anak adalah pribadi yang unik. Inilah mungkin salah satu hal yang mendorong makin meningkatnya minat untuk meneliti anak. Beberapa rekaman biografi tentang anak mencoba mengawalai berbagai pengamatan berikutnya.

Tiederman (1800-an), dari Jerman, merekam perkembangan anaknya selama bertahun-tahun pertama. Satu abad kemudian, Millicent shinn membuat biografi keponakan perempuannya, yang hasilnya lebih terperinci dibanding rekaman-rekaman sebelumnya. Dan Shinn sempat pula mengagendakannya dalam sebuah buku Biography of Baby. Ini adalah sesuatu yang hebat, dan alangkah baiknya kalau kita berbuat serupa pada anak, keponakan, cucu atau bahkan bukan siapa-siapa kita.

G. Stanley Hall, ilmuwan yang dikenal sebagai “Bapak Pergerakan Penelitian Ilmiah,” juga melakukan penelitian ilmiah tentang anak. Ia mengatakan, “bahwa anak-anak bukan orang dewasa kecil”. Tentu saja bukan karena ucapan itu saja yang menyebabkannya digelari sebagai bapak pergerakan penelitian ilmiah. Tapi, oleh usahanya yang memberikan banyak dorongan dan bantuan terhadap penelitian selanjutnya. Dan ia sempat menuliskan berbagai konsepnya mengenai anak dalam sebuah buku, Contents of Childern’s Minds on Entering School.

Pertanyaan yang lalu muncul, kenapa sedemikian penting untuk memahami anak, bukan hanya bagi para orang tua, tapi juga para pendidik, penitipan dan pendidikan anak? Hanya ada satu alasan untuk ini, yaitu bahwa kita pasti akan berhadapan dengan anak, baik itu anak kita sendiri atau anak orang lain. Bukankah kita dituntut untuk bersifat arif pada siapa saja? Mungkin ini jawaban yang sifatnya memojokkan. Tapi Bijou menjawab pertanyaan ini dalam bukunya Development in the Preschool Years A Functional Analysis. Ia mengatakan:[3]

“...kebanyakan psikolog anak telah mengatakan bahwa tahun-tahun pra-sekolah, dari usia 2-5 tahun, adalah penting, kalau tidak yang paling penting, dari seluruh tahapan perkembangan, dalam suatu analisis fungsional, tahapan tersebut jelas menunjukkan kesimpulan yang sama. Tidak dipungkiri lagi, itulah periode diletakkannya dasarstruktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan...”

 

Secara extrem,Glueks mengatakan dan menarik kesimpulan, “bahwa remaja yang berpotensi menjadi nakal dapat diidentifikasikan sedini usia dua atau tiga tahun, karena perilaku antisosialnya. Bambaran ini menunjukkan betap pentingnya masa anak-anak. Tapi bukan berarti hal ini akan meniadakan kemampuan pada masa remaja dan dewasa. Orang dewasa, bagaimanapun juga, mempunyai keinginan untuk berkembang. Termasuk untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Masih mengenai arti penting dasar awal, White yang telah bertahun-tahun meneliti anak pra-sekolah mengatakan bahwa “dua tahun pertama penting dalam dalam meletakkan pola untuk menyesuaikan pribadi dan sosial”,. Sontag dan Kagan juga mengatakan, “bahwa perilaku untuk prestasi tinggi, pada usia tertentu, sangat erat hubungannya dengan pencapaian perilaku di masa dewasa”.

Pentingnya usia anak-anak inilah yang seharusnya memacu kita untuk memahami perkembangan-perkembangan yang terjadi pada anak, seperti perkembangan moral, sosial, kreatifitas, bicara, emosi, kepribadian, bermain, pengertian dan sebagainya. Dari sini kita akan mengetahui mengapa semua jenis perkembangan tersebut, selain ada harapan dan bahaya yang muncul yang terdapat pada masing-masing jenis perkembangan.

Kemampuan kita untuk tidak saja mengetahui tapi juga berjuang untuk mengelakkan “masalah” yang muncul merupakan kunci untuk menemukan sejumlah bakat yang didambakan. Beberapa bahaya yang akan kita temui, bisa berasal dari lingkungan atau timbul dari diri, semua ini dapat mempengaruhi usaha penyesuaian fisik, psikologis dan sosial seorang anak.

Tentunya, kita berharap bisa menciptakan pola perkembangan yangnormal, sehingga anak dapat menyesuaikan diri dengan baik dan matang. Pentingnya keberadan orang tua memang di sini. Dengan kata lain, orang tua mempunyai tugas untuk melakukan tindakan yang memungkinkan anak memperolaeh kebahagiaan. Dari hasil inilah, akan membawa anak pada penyesuaian pribadi, pengembangan minat dan bakat secara positif dan maju. Ringkasnya, bahwa perkembangan sifatnya berkesinambungan. Apa yang terjadi pada satu tahap dan bidang, akan mempengaruhi tahap berikutnya dan bidang yang lain, serta akan mewarnai reaksi kehidupan seseorang di masa datang.

 

B. Kekuatan Televisi

Dari hasil perkembangan audio-visual yang sangat efektif dalam mempengaruhi penonton-penontonnya. Ini merupakan kombinasi dari suara dan gambar[4]. Anak adalah khalayak terbesar penonton televisi. Usia mereka 2-12 tahun. Di amerika serikat, Inggris dan Australia, anak-anak menghabiskan waktunya menonton televisi, rata-rata adalah 20-25 jam perminggu[5]. Bagaimnana dengan ribuan jam yang dilewatkan dengan menonton TV mempengaruhi para pemirsa? Dr. George Gerbner, dekan emeritus Anenberg School of Communications, Uneversitas Pennsylvania, percaya bahwa salah satu bahaya nyata dari kekerasan yang melanda televisi adalah meningkatny persepsi pemirsa bahwa dunia ini memang tempat yang kejam dan berbahaya.

Dalam profil kekerasan TV yang disajikan pada tahun 1994, Gerbner dan para kolegannya, Drs. Michael Morgan dan Nancy Signorielli menjelaskan bahwa eksposur yang teratur dan berjangka panjang terhadap televisi bisa memperarah perasaan kerentanan, ketergantungan, ketidakpekaan terhadap kekerasan. Mereka juga mendapati bahwa dibandingkan pemirsa ringan, pemirsa berat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk percaya bahwa lingkungan mereka tidak aman, bahwa kejahatan adalah masalah pribadi yang serius, dan kemungkinan besar mereka akan terlibat tindak kekerasan. Para pemirsa berat ini mempunyai kecenderungan lebih besar untuk membeli gembok baru, memelihara anjing galak, dan bahkan membeli senjata api untuk melindungi diri. Para periset mengatakan kepercayaan mereka terhadap “dunia bengis” yang penuh ancaman dan bahaya ini tidak hanya mengundang agresi, tetapi juga pemerasan dan penekanan. Itulah masalah yang lebih mendalam dari televisi yang sarat kekerasan[6].

Dan sekarang pesawat televisi yang terdaftar di Indonesia secararesmi mencapai 9 juta dan diperkirakan secara keseluruhan berjumlah 14 juta. Dengan melihat rasio pemilik pesawat televisi serta data demografi yang menunjukkan 37 persen penduduk Indonesia berusia 0-14 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa penonton televisi terbanyak adalah anak-anak.

Seperti yang telah kita ketahui kasus di atas, persoalan yang ditakuti oleh beberapa kalangan dan tokoh masyarakat tentang film anak yang antisosial dan kekerasan adalah, anak akan terpengaruh dan mewabah dalam kepribadian anak dan menimbulkan banyak tindak kriminal yang terjadi, lebih dari itu anak juga akan mencritakan diri sebagai tokoh dalam film-film tersebut.

Dua momok utama yang ada dalam materi siaran televisi, bagi umumnya pemirsa adalah adegan kekerasan dan pornografi. Kini masyarakat penonton televisi punya alasan mengapa mereka khawatir terhadap anaknya. Adanya tayangan sinetron seri seperti Si Buta Dari Gua Hantu di layar RCTI, tiap Minggu pagi, 10.00 WIB, sejak 24 Juli 1994. dalam seri dalam negeri yang kisahnya didasarkan pada komik garapan Ganes Th ini memang begitu mudah kita dapatkan adegan darah yang muncrat karena sabetan pedang, sudetan ujung tombak dari sebuah rantai yang menjulur panjang, atau cucukan mata dari bilahan bambu yang lebih dulu dilancipkan[7]. Tokoh-tokoh asing dalam film anak lebih banyak membela kebenaran melawan kejahatan dengan cara tidak nalar dan berkesan sadistis.

           

C. Meningkatnya Kekerasan di Jalan dan di Layar Kaca

Salah satu jurus andalan perekonomian TV adalah jauh lebih murah membeli program lama daripada menciptakan program baru. Bila terdesak untuk mengisi waktu luang, stasiun TV sering menoleh pada penayangan ulang film serial, yang ongkosnya jauh lebih murah daripada program baru. Dan banyak di antara serial ini sangat keras yang sudah berusia tahunan.

Hasilnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Newton Minow pada hyalaman 56, penambahan saluran yang lebih banyak justru semakin memudahkan anak untuk menyaksikan kekerasan. Dan jika penayangan murahan saja belum cukup dahsyat, kita bisa memuaskan diri dengan genre baru “TV relita”, acara yang menyajikan penayangan langsung atau reka ulang kekahatan-kejahatan yang diwarnai kekerasan. Dalam pilihan TV anda tersedia pelayanan 24 jam untuk tayangan tembak-menembak., penyerbuan, pembunuhan, penggedoran dan anak-anak bisa menyaksikan ini.

Bayangkan seorang anak menyaksikan 8000 pembunuhan pada saat usianya mencapai 12 tahun! Bagaimana gelombang serbuan gambar-gambar kekerasan di TV mempengaruhi anak-anak? Bagaimana hubungan antara menonton kekerasan di TV dengan perilaku agresi anak-anak?

Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan subjek pengkajian riset paling besar dalam sejarah ilmu sosial. Dalam 30 tahun terakhir ini, para periset telah melakukan lebih dari 1000 pengkajian mengenai aspek kekerasan pada televisi. Ada berbagai survei terhadap anak-anak, orang tua mereka, guru-guru mereka; eksperimen yang dilakukan di laboratorium-laboratorium universitas, dan pengkajian longitudinal di mana periset mengikuti anak-anak muda, ikut menonton TV bersama mereka, dan mengamati perilaku mereka selama bertahun-tahun.

Subjek itu kompleks dan kontroversial. Tetapi bobot riset menegaskan adanya hubungan antara kegiatan menonton kekerasan di TV dengan perilaku agresif. Bila pengaruh-pengaruh lain yang positif, misalnya guru atau orangtua tidak secara aktif hadir dalam kehidupan seorang anak muda, keterkaitan itu semakin kuat.

Pada tahun 1993 pengumpulan pendapat yang dilakukan Los Angeles Time mengungkapkan bahwa 4 dari 5 orang Amerika menganggap kekerasan di televisi membawa pengaruh terhadap kekerasan dalam dunia nyata. Lebih dari separuh di antara mereka yang disurvei bersedia mendukung peraturan pemerintah untuk membatasi tingkat kekerasan di televisi. Pada tahun 1993, 80 persen dari orang-orang dewasa yang disurvei oleh Times-Mirror merasa bahwa kekerasan di televisi sangat merugikan masyarakat, pada tahun 64 persen berpandangan demikian.[8]

 

D. Mengurangi Pengaruh Kekerasan Terhadap Kepribadian Anak

Bagi anak-anak hukuman dari orang tua yang terberat adalah tidak boleh menonton televisi.makna dari kasus di atas memberikan indikasi bahwa, anak-anak tidak pernah bisa jauh dari tayangan televisi, demikian sebaliknya, televisi tridak bisa meninggalkan anak-anak sebagai pangsa pasar  siarannya. Ini ditulis oleh Veven SP Wardhana dalam bukunya Budaya Massa dan Pergeseran Masyarakat.

Kita mungkin sama sekali belum pernah berpikir, ketika anak melakukan lalu memberikan hukuman sebagaiman tersebut di atas. Hukuman kita lebih cenderung pada hukuman fisik, atau sedikit teror mental. Karena itulah agar orangtua mencoba menghukum anak dengan hukuman ini. Mencoba memisahkan anak dari televisi. Bisa jadi, ini hukuman yang lebih baik.

Di sini kami sajikan beberapa cara untuk mengurangi pengaruh acara kekerasan di televisi terhadap kepribadian anak-anak:

·         Tekan serendah mungkin. Kekerasan di televisi mempunyai banyak bentuk, jadi anda harus memutuskan bentuk-bentuk mana yang akan perbolehkan, dan pada usia berapa. Memang, bila anak anda suka menonton kartun misalnya, akan sulit menghapuskan setiap gerak dalam tokoh kartun tersebut. Walaupun demikian, kekerasan yang lebih realistis pada film, drama, dan reality shows dalam televisi bisa benar-benar mangganggu anak kecil anda, sekaligus seperti membenarkan terjadinya tembak-menembak, tusuk-menusuk, atau kejar-kejaran mobil bagi anak anda yang lebih besar. Capailah kesepakatan dengan anak-anak anda untuk menghapuskan program-program ini.

·         Buyarkan respon anak. Bila anak-anak anda menyaksikan tindakan-tindakan kekerasan di televisi, bahkan dalam acara kartun yang sepintas lalu tidak bermaksud jahat, pastikan mereka memahami pendapat anda mengenai kekerasan. Bahaslah cara-cara lain untuk mengatasi pertikaian, dengan menggunakan contoh-contoh dari kehidupan anda maupun anak anda sendiri. Bila anda yakin anak anda sudah siap, beberkan pengalaman hidup nyata yang berkaitan dengan kekerasan dan mungkin pernah dialami oleh anda atau anggota keluarga anda.

·         Analisislah. Diskusikan bagaimana kekerasan dalam acara televisi tidak menyerupai kekerasan dalam kehidupan nyata, bagaimana para pelaku film laga pura-pura berkalahi atau tembak-menembak. Bila anak anda sudah siap, anda bisa menerangkan korban dari kekerasan dalam kehidupan nyata.misalnya, dengan menyitir orang-orang yang pernah lintas atau di rumah sakit. Bantulah anak-anak anda agar bersikap lebih kritis terhadap cara bagaimana kekerasan TV sengaja di rekayasa untuk ia tonton. Libatkan dia dengan pertanyaan, “menurut kamu mengapa ada kekerasan dalam televisi?”.

·         Orangtua adalah guru terpenting anak-anak. Televisi selain mempunyai sisi jelek juga mempunyai sisi baik, televisi bisa berperan sebagai tempat untuk belajar di rumah. Tetapi untuk mewujudkannya, anda harus mengamati dari dekat apa yang bisa ia lakukan dan apa yang tidak. Menerapkan pengetahuan ini dalam tindakan nyata menuntut komitmen serius dari anda maupun anak anda. Dan untuk bisa berperan sebagai orangtua efektif, sebagaimana dengan semua cara lain, orang perlu bereksperimen dengan tabung percobaan ini untuk melihat mana yang paling cocok untuk keluarga sendiri.Anda juga harus mempunyai komitmen pada tugas penting yaitu menjadi pendidik bagi anak anda. Orangtua adalah guru. Bila sampai pada masalah mendidik anak-anak, kita harus mengesampingkan semua perbedaan kategoris antara guru, pendidik, orangtua, wali, dan pengasuh anak.Setiap orang dewasa dengan siapa seorang anak cukup banyak melewatkan waktu bersama adalah seorang pendidik bagi anak itu. Mereka bertanggung jawab atas cara si anak memanfaatkan sumber daya yang paling berharga yaitu waktu.[9]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Televisi memainkan peranan begitu besar dalam pertumbuhan anak-anak kita, dan orangtualah yang pertama dan terutama yang membentuk nilai anak-anak. Orangtua perlu berpikir keras mengenai pengaruh televisi pada anak-anak dan cucu-cucu kita di masa mendatang.

Beberapa hal yang perlu kita garis bawahi yaitu bahwa perkembangan sosial anak yang sehat tidak akan muncul begitu saja tanpa dimulai dengan bekal pengetahuan yang cukup mengenai anak. Orang tua memang dituntut untuk belajar sebanyak mungkin mengenai anak, tentang perkembangannya, apa saja yang harus dilakukan terhadap mereka, serta beberapa bahaya yang perlu dikeytahui dalam setiap periode perkembangan. Mengapa harus mengetahui semuanya? Tidak lain karena tahap-tahap dan pola perkembangan yang terjadi pada anak, berjalan saling berkaitan. Periode perkembangan yang satu mewarnai dan mempengaruhi perkembangan lainnya. Warna dan pengaruh ini, sifatnya bisa merusak atau menumbuhkan.

Dan ini perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk banyak belajar, maemahami dan memunclkan sikap yang bijaksana dan disiplin pada anak. Berbagai hambatan mungkin akan banyak ditemui. Disinilah perlunya pembelajaran. Demikian juga perkembangan sosial anak yang harus diperhatikan.

Mengapa dengan televisi? Kita harus mengakui bahwa televisi memainkan peran yang sangat besar dalam pertumbuhan anak-anak. Sikap anak terhadap televisi, jumlah jam yang mereka gunakan untuk menonton, jenis acara yang ditonton, serta motivasi apa yang mendorong mereka untuk menonton, semuanya akan mempengaruhi perkembangan sosialnya.

Tapi orang tua juga perlu berpikir lebih dalam dalam hal ini tantang pengaruh kekerasan di TV yang bisa mempengaruhi anak. Beberapa cara yang kami sajikan antara lain:

·         Tekan serendah mungkin untuk menonton acara kekerasan di televisi

·         Buyarkan respon anak tentang kejadian kekerasan di televisi dengan membuka pikiran mereka tentang kenyataan.

·         Mengajari untuk menganalisis sebuah kekerasan yang terjadi di televisi

·         Mendidik anak dan mengamati mereka dari dekat untuk bisa mengefektifkan acara-acara televisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

ü  Hidayati, Arini., Televisi dan Perkembangan Sosial Anak, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 1998.

 

ü  Chen, Milton., Anak-Anak dan Televisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

 

ü  Widjaja, A.W., Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara, Jakarta:1993.

 

ü  Kuswadi, Wawan., Komunikasi Massa Sebuah analisis Media Televisi, Rineka cipta, Jakarta:1996.

 

ü  Wardhana, Veven Sp., Kapitalisme Televisi dan Strategi Bidaya Massa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1997.

 



[1] Arini Hidayati, Televisi dan Perkembangan Sosial Anak, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 1998, hal. 76

[2] Milton Chen, Anak-Anak dan Televisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 59

[3] [3] Op.cit., Arini Hidayati, hal. 12

[4] Drs. A.W Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hal.84

[5] Drs. Wawan Kuswadi, Komunikasi Massa Sebuah analisis Media Televisi, Rineka cipta, Jakarta,     1996, hal. 62

[6] Op. Cit., Milton Chen, hal. 52

[7] Veven Sp Wardhana, Kapitalisme Televisi dan Strategi Bidaya Massa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1997, hal. 197

[8] Op. Cit., Milton Chen, hal. 54

[9] Op. Cit., Milton Chen, hal.58