Senin, 22 November 2010

KONGLOMERASI MEDIA DAN MUNCULNYA PENGUASA BARU

 Media dan Konstruksi Realitas

Di dalam masyarakat kapitalis, kepemilikan faktor-faktor produksi yang memadai tidak akan menjamin keberhasilan dalam suatu persaingan, karena sistem dunia saat ini telah dipenuhi oleh berbagai spekulasi dan pertarungan stategi. Persaingan yang terjadi bukan hanya didominasi oleh pertarungan faktor modal tetapi lebih kepada pertarungan strategi. Oleh karena itu informasi menjadi suatu hal yang esensial, karena siapa yang memilikinya ia akan mampu membuat strategi yang tepat untuk memenangkan persaingan.

Penetrasi media massa di era global membuat aneka wacana dan beragam satuan budaya yang dulunya tersekat-sekat secara geografis, bertemu dalam tingkat yang sangat intensif, dan secara bersamaan disajikan dalam satu paket berita, khotbah agama, science fiction, narasi, bahkan cerita komik.

Lebih jauh lagi Warren Breed (1955) mengemukakan bahwa media menghilangkan atau mengubur hal-hal yang mungkin membahayakan struktur sosiokultural dan bahwa biasanya kebijakan melindungi hak benda maupun kepentingan golongan. Altschull juga mengemukakan bahwa media-media baru selalu mencerminkan kepentingan pihak-pihak yang mendanai pers ( Severin & Tankard:2008:419). Apabila pengamatan-pengamatan itu betul adanya, maka dibutuhkan semacam pengetahuan tentang kepemilikan media massa untuk memahami cara kerja komunikasi massa.

 Dalam teori paradigma konstruksionis fakta merupakan realita yang dikonstruksi, fakta tidaklah berdiri sendiri melainkan dikelilingi oleh berbagai kepentingan. Termasuk fakta/pengetahuan yang disajikan oleh media masa merupakan hasil konstruksi para jurnalis. Pengetahuan merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi. (Burhan Bungin, 2001:11)

Dalam sejarah umat manusia, objektivikasi, internalisasi, dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus.(Margaret M. Poloma, 1994,319) Objektifvikasi merupakan realitas objektif yang diserap oleh orang. Internalisasi merupakan proses sosialisasi realita objektif dalam suatu masyarakat. Eksternalisasi merupakan proses dimana semua manusia yang mengalami sosialisasi yang tidak sempurna itu secara bersama-sama membentuk suatu relitas baru.

Dalam mengkonstruk sebuah realita banyak faktor yang mendukung dalam mengkostruk realita. Diantaranya adalah faktor Ekonomi, Politik, Idiologi

1.      Ekomoni

Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor ekonomi sangat mempengaruhi dalam membentuk suatu realita. Telah kita ketahui bahwa fungsi pers adalah sebagai alat edukasi penyaji informasi tapi dengan adanya pers industri fungsi pers menjadi berubah. Dengan alasan mencari profit akhirnya idealisme pers menjadi semakin tergeser dengan adanya kepentingan pemodal.

Sebagaimana yang diketahui sekarang banyak sekali media yang bermunculan, tentunya untuk menutup biaya operasionalnya media harus mendapatkan sponsor atau biasa disebut dengan iklan. Terkadang pihak sponsor atau iklan tersebut menjadi nyawa bagi media tersebut, sehingga kalau tidak ingin bangkrut apapun yang menjadi keinginan pihak sponsor mau tidak mau harus dituruti oleh pihak media.

Lebih lanjut karena adanya kepentingan pemodal inilah akhirnya berita yang disajikan tidak lagi murni menyajikan informasi melainkan telah disusupi oleh kepentingan pemodal. Apalagi jika kapitalis telah menjadi nafas dari pers mau tidak mau perspun harus tunduk kepada kapitalis demi kelangsungan hidup medianya.

2.      Politik

Kepentingan politik juga sangat dominan dalam pembentukaan realita. Dalam urusan politik setiap tindakan haruslah menuai suatu keuntungan. Begitu pula dengan pemberitaan media haruslah ada yang menguntungkan dari segi politik. Hal ini akan sangat kentara ketika pemilik media bersentuhan langsung dengan politik praktis.

3.      Ideologi

Media berperan mendefinisikan bagaimana realita seharusnya dipahami dan kemudian disajikan kepada khalayak. Dalam sebuah penyajian berita ada yang pro dengan realita tersebut tapi ada yang tidak sepakat dengan realita tersebut. Yang tidak sepakat dengan realita tersebut bukan tanpa sebab tetapi ada faktor yang mempengaruhinya.

 

Kekuasaan atas Konglomerasi Media Massa

Ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi adalah hasil kerja para pakar yang keberadaannya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun rupa-rupanya teknologi informasi dan komunikasi tak hanya dipengaruhi, ia juga turut mempengaruhi pengguna, dalam hal ini masyarakat informasi. Selebihnya penggunaan media massa bisa menjadi salah satu contohnya. Media massa merupakan proses komunikasi yang dilakukan melalui media massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. (Burhan Bungin, 2009:71)

Tentu bukan hal yang asing lagi jika kehadiran media massa membawa banyak efek kepada khalayaknya. Studi mengenai hal tersebut jauh-jauh hari telah diperdalam dan menghasilkan propaganda, kampanye media, news learning, difusi inovasi, dan kekerasan media sebagai efek media massa. Sekian efek tersebut beserta yang lainnya ada kalanya direncanakan dan muncul tanpa dikehendaki. Kesemuanya ini tergantung pada isi pesan yang disampaikan oleh penyampai pesan atau media massa. Shoemaker dan Reese menyebutkan isi media ini adalah keseluruhan cakupan kuantitas dan kualitas informasi secara verbal dan visual yang disampaikan oleh media massa. Sederhananya tentang semua hal yang tampak di media massa. Termasuk cakupan kuantitatif yakni kenampakan dari media massa yang dapat dihitung (atau dinominalkan) seperti jumlah kolom dalam koran atau durasi waktu dalam televisi mengenai tema-tema tertentu. Sedang cakupan kualitatif sulit untuk ditentukan karena ia menyangkut ‘makna dibalik berita’.

Untuk menentukan kecenderungan isi media ini tentu bukanlah hal yang mudah bagi seorang peneliti karena ada banyak kalangan yang terlibat di dalam keberadaan media massa itu sendiri. Sebut saja institusi surat kabar yang dikomandani oleh presiden direktur dengan saham dari beberapa investor, berita ditulis oleh reporter dengan pembenahan oleh editor atas persetujuan pemimpin redaksi disisipkan iklan dari bagian advertising atas pesanan pemasang iklan. Ini berarti isi media merupakan produk massal sekumpulan orang. Adapun yang demikian ini disebutkan oleh Charles Robert Wright sebagai sifat dari komunikasi massa. Wright menyebutkan bahwa komunikator di media massa bekerja melalui sebuah organisasi yang kompleks yang mengandung suau pembagian kerja yang ekstensif dan suatu biaya tertentu bersamaan dengan pekerjaan tersebut.( C.R.Wright, 1985:06)

Fenomena tersebut bukan tidak mungkin menjauhkan makna dari isi pesan sesungguhnya. Akibatnya antara realita dan fakta suatu peristiwa menjadi kabur atau sedikitnya mengalami pergeseran ketika sampai di tangan audience. Apa yang diterima audience jauh berbeda dari kenyataan sebenarnya karena memang demikian yang dikehendaki oleh kekuatan tertentu yang tersalurkan melalui media. Fenomena ini seperti apa yang disampaikan oleh Shoemaker dan Reese: (P.Shoemaker, 1996:30)

“The complexity and interdependency of modern society, however, mean that people are affected by economic and political forces beyond their own communities. In fact, we could argue that most of the world that matters to us is beyond our direct grasp and must necessarily be mediated, thus becoming, as lippman called it, a pseudo-environment. The importance of massa media as sources for these picture in our heads leads us logically to question how closely the media world actually resemble the world outside.”

Oleh karenanya menjadi penting mengetahui pengaruh-pengaruh yang muncul dalam pembentukan isi media. Bukan hanya megenai bagaimana media massa mampu mengubah isi pesan, tapi juga sejauh mana berikut siapa saja yang memiliki kuasa untuk menentukan media content.

Konsepsi ini menjelaskan fenomena terjadinya upaya pelanggengan kekuasaan oleh kelompok penguasa. Namun hegemoni tidak hanya terbatas dilakukan oleh penguasa saja, tetapi juga dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok yang lain juga. Tujuannya adalah menguasai wacana publik terhadap kelompok yang didominasi sehingga diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).

Berbicara konglomerasi pada media penyiaran televisi kita dapat melihat bahwa kepemilikan terjadi memusat pada segelintir orang saja. Sebut saja Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung. Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo. TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan pemimpin utama Abu Rizal bakrie. SCTV yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya Surya Paloh.

Melihat orang-orang besar yang berada dibalik media massa tersebut kita akan segera tahu bahwa mereka juga berkiprah aktif dalam percaturan politik Indonesia. Akibatnya media massa disulap menjadi alat untuk mempertahankan kepentingan mereka atau bahkan alat untuk meraih tujuan politik kelompok mereka.

Memasuki abad ke 21, industri media tengah berada di dalam perubahan yang cepat. Kerajaan-kerajaan media mulai membangun diri dengan skala yang besar. Merger ataupun pembelian media lain dalam industri media terjadi dimana-mana dengan nilai perjanjian yang sangat besar. Semakin lama bisnis media semakin besar dan melibatkan hampir seluruh outlet media yang ada dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Apakah masyarakat terlayani dengan informasi yang aktual, beragam dan sesuai dengan kepentingan mereka oleh industri ini, atau perkembangan yang luar biasa ini hanya untuk meningkatkan keuntungan bagi “segelintir” orang yang terlibat dalam industri ini.

Pertumbuhan media begitu pesat pada abad ke-20 dengan sejumlah regulasi dan deregulasi yang ikut mewarnai perkembangan industri ini. Bila pada awal abad ke-20 konglomerasi media sangat dibatasi, keadaan pada akhir abad ini berubah drastis dimana terjadi akusisi dan merger dalam skala yang besar. Pertumbuhan yang terjadi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sehingga outlet media semakin beragam. Media yang menggunakan teknologi yang lebih awal dipaksa untuk berevolusi untuk menghadapi media yang berteknologi lebih baru. Contohnya peluncuran koran USA Today pada tahun 1982 yang menampilkan berita dalam ukuran kecil dengan banyak foto-foto berwarna serta dihiasi dengan tampilan grafis merupakan cara koran untuk mengimitasi gaya dan format televisi.

Trend yang berlaku pada struktur industri media akhir-akhir ini adalah Pertumbuhan, Integrasi, Globalisasi, dan Pemusatan Kepemilikan. Proses restrukturisasi pada industri media telah mengizinkan para konglomerat untuk menjalankan strategi-strategi yang diarahkan untuk memaksimalkan keuntungan, mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Perubahan dalam struktur media serta prakteknya berpengaruh nyata pada isi media. Pengejaran keuntungan menjuruskan media pada homogenisasi dan trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak penting). Isi pada media akan sering berbenturan dan menyesuaikan pada kepentingan bisnis yang mengejar keuntungan. (Y.A Piliang, 2004:14)

Dalam hal ini media massa merupakan instrumen untuk menyebarkan dan memperkuat hegemoni dominan, dalam hal ini peranan media adalah membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka dengan menciptakan sebuah pembentukan dominasi melalui penciptaan sebuah ideologi yang dominan. Menurut paradigma hegemonian, media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat

Hegemoni media juga berhasil mengubah cara khalayaknya mengkonstruksikan konsep, contoh mudahnya konsep ketampanan dan kecantikan. Beberapa tahun yang lalu, ketika film Meteor Garden mengalami sukses besar, tampaknya para remaja putri memiliki kesepakatan baru mengenai konsep “tampan”. Pada masa tersebut, pria yang dikatakan tampan adalah pria berwajah oriental, dengan rambut semi panjang berlayer. Begitu juga ketika produsen sabun Lux secara bergantian menampilkan bintang-bintang iklan yang cantik, berkulit putih, indo, tentunya banyak pria bersepakat bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang berkulit putih, berambut panjang, keturunan Eropa atau Amerika.

Contoh lain yang populer di Indonesia adalah ketika sinetron-sinetron remaja berhasil menciptakan pergeseran nilai dalam kehidupan remaja di kota-kota besar. Saat ini siapa yang mengajarkan orang tua untuk memberi izin anaknya yang masih duduk di SMP untuk menyetir mobil sendiri ke sekolah, bahkan dengan ikhlas membuatkan SIM tembak untuk anaknya? Siapa yang mengajarkan bahwa anak-anak usia sekolah saat ini boleh-boleh saja keluar malam dan pulang pagi? Siapa lagi kalau bukan sinetron remaja yang terus menerus berusaha menampilkan bahwa anak SMP yang menyetir mobil sendiri dan pulang pagi adalah suatu kewajaran.


DAFTAR PUSTAKA

 

Bungin, Burhan, 2001, Imaji Media Massa, Jakarta, Jendela,

Bungin, Burhan, 2008, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana

De Fleur, Melvin L, Sandra Ball – Rokeach. 1988. Teori Komunikasi Massa. Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.

Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisik. Yogyakarta: Jalasutra.

Poloma, Margaret M., 1994, Sosiologi Kontemporer, Jakarta; PT Grafindo Persada

Quail, Denis Mc., 1987, Teori Komunikasi Massa, diterjemahkan Agus Dharma, Jakarta : Erlangga

Ritzer, George & Goodman, 2008, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana

Severin, Werner & Tankard, 2008, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi kelima, Jakarta: Kencana

Shoemaker, Pamela & Stephen Reese, 1996, Mediating The Message, USA: Longman,

Wright, Charles Robert, 1985, Sosiologi Komunikasi Massa, Bandung: Remadja Karya