Senin, 24 Januari 2011

Mengenal James Coleman



A.    Latar Belakang Kehidupan James Coleman
Colomen mempunyai bermacam karier hebat dalam sosiologi; julukan ”teoritis“ hanya salah satu dari beberapa julukan yang diterimanya. Dia menerima Ph.D dari Universitas Colombia tahun 1955, dan setahuh kemudian ia memulai karier akademisnya sebagai asisten Profesor di Universitas Chicago (tahun 1973, ia kembali ke universitas ini setelah 14 tahun dan melanjutkan karirnya di Chicago hingga akhir hayatnya). Di tahun yang sama ia mulai mengajar di Chicago, Coleman menjadi penulis Junior (bersama S.M Lipset dan Martin A Trow) salah satu studi menonjol dalam sejarah sosiologi industri ,berjudul Union Democracy (disertasi Coleman di Colombia yang di bimbing oleh Lipset, menganalisis beberapa masalah yang dibahas dalam Union Democracy). Coleman kemudian mengalihkan perhatiannya kepada studi tentang pemuda dan pendidikan. Hasilnya puncaknya berupa laporan pemerintah federal (yang secara luas di kenal “Coleman Report”) yang membantu melahirkan kebijakan yang sangat kontroversial mengenai pengakuan anak sekolah dengan bus sebagai metode untuk mencapai persamaan hak menurut ras di sekolah Amerika. Melalui karya inilah Coleman mendapat pengalaman praktis yang lebih besar dari pada yang di dapat sosiologi Amerika lainnya. Selanjutnya ia mengalihkan perhatiannya dari kehidupan praktis ke suasana murni sosiologi matematika (terutama Introduction to Mathematical Sociology [1964] dan The Mathematics of Collective Actions [1973]). Di tahun–tahun kemudian Coleman beralih ke teori sosiologi terutama teori pilihan rasional dengan diterbitkannya buku Foundations of Social Theory (1990) dan tahun 1989 mendirikan Jurnal Rationality And Society. Kumpulan karya yang diterbitkan dalam jurnal ini mencerminkan keanakaragaman yang hampir tak dapat di percaya dan itu belum termasuk dalam bahasa ringkas 28 buku dan 31 artikel yang tercatat di ringkasan Coleman.
Coleman menerima gelar Bachelor of Science dari Universitas Purdue tahun 1949 dan bekerja sebagai ahli kimia untuk Eastman Kodak sebelum masuk ke Departemen sosiologi Universitas Colombia tahun 1951. Coleman sangat dipengaruhi oleh Robert K. Merton terutama kuliahnya tentang Durkheim dan faktor sosial sebagai penentu perilaku individu. Ia pun mendapat pengaruh dari pakar metodologi Paul Lazars Feal. Minatnya terhadap metode kuatitatif dan sosiologi matematis berasal dari Lazars feal. Seymour Martin Lipset adalah orang ke tiga yang sangat mempengaruhi Coleman . Coleman di ajak Lipset menjadi anggota tim junior rise Lipse, dengan demikian akhirnya berpartisipasi menyusun laporan yang berjudul Union Democracy. Demikianlah, pendidikan S1 sudah memberi Coleman penguasaan metode yang kuat, metode dengan hubungan antara keduanya dalam riset empiris inilah model yang di cita-citakan semua sosiologi.
Berdasarkan pengalaman itu Coleman melukiskan visinya mengenai studi sosiologi ketika ia menamatkan S1 dan memulai karir profesionalnya:
Sosiologi harus menjadi sistem sosial (yang kecil atau yang besar) sebagai unit analisis ketimbang individu, namun harus menggunakan metode kuantitatif, meninggalkan teknik-teknik yang sistematis yang membuka peluang keterlibatan kecenderungan peneliti dan menutup peluang untuk melakukan penelitian ulang dan terbatas kemampuannya untuk menjelaskan.
Pendekatan Coleman telah berubah, tetapi tidak sebanyak yang di perkirakannya. Contoh, mengenai karya tentang permainan simulasi sosial di Johns Hopkins di tahun 1960-an, ia mengatakan, “karya itu menyebabkan orientasi teoritis dari sifat yang tak hanya menentukan tindakan (seperti hasil studi Durkheim tentang bunuh diri) ke pandangan bahwa sistem juga adalah akibat dari tindakan yang kadang–kadang di harapkan, kadang – kadang tak di harapkan”. Dengan demikian Coleman memerlukan teori tindakan dan ia memilih yang lazim di terima kebanyakan pakar ilmu ekonomi.
Tugas sosiologi yang terberat adalah membangun sebuah teori yang mengalihkan perhatiannya dari tindakan tingkat mikro ke norma, nilai sosial, distribusi status dan konflik sosial tingkat makro. Perhatian ini yang menjelaskan mengapa Coleman mengambil landasan teorinya dari ilmu ekonomi.
Yang membedakan ilmu ekonomi dengan ilmu sosial lain bukanlah penggunaan pilihan rasionalnya tetapi penggunaan sebagai model analisis yang memungkinkan bergerak antara tingkat tindakan individu dan tingkat fungsi sistem. Dengan menggunakan dua asumsi, bahwa tindakan individu rasional dan pasar adalah “sempurna” dengan komunikasi penuh, analisis ekonomi mampu menghubungkan fungsi sistem tingkat makro dengan tindakan individu di tingkat mikro.
Aspek lain visi Coleman mengenai sosiologi adalah bahwa sosiologi harus dapat di gunakan untuk merumuskan kebijakan sosial, terutama teori ini mengatakan, “salah satu kriteria untuk menilai karya dalam teori sosial adalah kegunaan potensial untuk memberitahukan kebijakan sosial”. Tidak banyak sosiolog yang tak sepakat dengan tujuan Coleman menghubungkan teori, metode, kebijakan sosial, makin banyak juga yang tak sepakat dengan cara yang dipilih Coleman dalam menghubung-hubungkan. Apakah mereka setuju atau tidak dengan tujuan utama Coleman itu, sosiolog di masa datang akan di tantang oleh kebutuhan untuk bekerja lebih baik dalam menghubungkan ketiga aspek kunci praktik sosiologi ini, dan sebagian mereka akan menemukan sebuah model yang berguna dalam karya Coleman, Coleman meninggal 25 Maret 1995.

B.     Modal Sosial
Coleman memandang modal sosial (social capital) dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan secara bersama seperti; kewajiban dan harapan, saluran informasi, ketaatan terhadap sanksi dan norma-norma. Lebih lanjut Coleman melihat modal sosial dari sisi fungsinya. Dia menunjukkan bahwa struktur sosial dalam bentuk jaringan yang sifatnya lebih ketat dan relatif tertutup cenderung lebih efektif daripada yang terbuka. Jaringan komunitas yang dikembangkan kelompok perantau lazimnya dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari relasi kekerabatan dan kesamaan daerah, bahasa, etnis, dan agama, dan mungkin karena ketertutupan itulah mereka bisa survive dan bisa menguasai jaringan perdagangan  komoditas dan ketrampilan tertentu di daerah perantauan.[1]
Meski Coleman lebih tegas mengusung modal  sosial, tetapi dia tidak memberikan pengertian modal sosial secara tegas. Demikian Coleman menulis:[2] 
“Modal sosial ditetapkan oleh fungsinya. Modal sosial bukan merupakan sebuah entitas (entity) tunggal tetapi berbagai macam  entitas yang berbeda, dengan dua elemen bersama: terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan pelaku-pelaku tertentu dalam struktur itu. Sebagaimana bentuk modal ain, modal sosial adalah produktif, membuat mungkin pencapaian tujuan tertentu yang di dalam ketiadaannya akan tidak mungkin. Sebagaimana modal fisik dan modal manusia, modal sosial sama sekali tidak  fungible tetapi mungkin  specific untuk aktivitas tertentu. Tidak seperti bentuk modal lain, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antara para pelaku dan diantara para pelaku”

Dengan definisi yang agak kabur ini, Coleman (1998) kemudian menetapkan kumpulan tindakan, hasil dan hubungan yang berbeda sebagai modal sosial. Modal sosial baginya adalah  inherently functional, dan modal sosial adalah apa saja yang memungkinkan orang atau institusi bertindak. Modal sosial, karena itu, bukan merupakan sebuah mekanisme, sesuatu, atau sebuah hasil, tetapi merupakan beberapa atau semua dari mereka (mekanisme, sesuatu dan hasil) secara simultan.

C.    Sistem Sosial sebagai Sistem Komplek
Sistem social terdiri atas individu-individu yang menyusun system social tersebut. Tiap-tiap individu tentu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Masing-masing menusia memiliki keinginannya sendiri, sifat-sifat sendiri, dan memiliki cita-cita sendiri. Jika kita mencoba berandai-andai bahwa kita bias mengetahui semua sifat dan hal-hal inheren dalam diri tiap manusia yang menyusun sebuah masyarakat apakah kita akan bisa menebak seperti apa kira-kira sifat masyarakat tersebut? Inilah sebabnya system social harus dianggap sebagai system kompleks, karena terdapat hubungan mikro-makro dalam level-level hirarkis masyarakat tersebut.
Hal ini pula yang mendasari kategoresasi dalam teori social. Ada yang bersifat makro atau kolektivisme dan ada yang bersifat mikro individualisme. Hal ini wajar karena memang kita sering merasa bahwa suatu teori social terasa terlalu individualistic ontologis atau individualistic metodologis sementara ada yang terasa terlalu makro atau bersifat kolektif yang mengobservasi dal terminology struktur masyarakat dan dalam system social itu sendiri jarang untuk berbicara dalam level mikro atau individual. Asumsi seperti ini sering kita temui dalam bahasan para interaksionisme simbolik, bahwa karakter social yang diamatai oleh seseorang ilmuwan social pada dasarnya adalah hal-hal makro yang membrojol dari interaksi yang terjadi di antara individu-individu penyusun masyarakat tersebut.
Dengan dipengaruhi oleh Max Weber melalui pendekatan Protestan Ethicnya yang mencoba untuk mendiagramkan system multitingkat proposisi. Yaitu dengan mencoba menghubungakan adanya relasi antara doctrin religious protestan dengan tingkah laku individual yang menghasilakn semangat kapitalisme pada tingkat makro kembali.[3]


 






Gambar di atas menunjukkan suatu cara untuk mendiagramkan system multitingkat proposisi. Panah yang menaik ke atas menunjukkan proposisi tingkat makro.tiga panah yang terhubungkan yang mana panah pertama berawal pada titik yang sama dengan proposisi tingkat makro dan menurun ke tingkat yang lebih rendah dan yang ketiga kembali ke atas ketitik akhir dari proposisi tingkat makro, menggambarkan tiga proposisi yang saling terkait.
Dalam rangkaian proposisi ini, yang ketiga adalah yang paling mearik karena ia bergerak kembali ke atas dari tingkat individual menuju tingkat social. Variable bebas mencirikan seorang individu dan variable terikat mencirikan sebuah unit social, dalam hal ini masyarakat. Jelaslah bahwa, sebuah proposisi jenis ini, kecuali bila ia merupakan salah satu dari proposisi historis yang mengatributkan perubahan-perubahan social besar kepada para pemimpin individual tertentu, tidak menunjukkan bahwa suatu atribut individual cukup efektif dalam membawakan perubahan social. Justru, yang diajukan adalah beberapa jenis pengaruh kombinasi atau gabungan atau agregat perilaku ekonomi dari banyak individu dalam mewujudkan pembangunan kapitalistik

Ekstremisme Mikro dan Makro Salah satu pembagian utama dalam teori Sosiologi Amerika abad ke-20 telah menimbulkan konflik antara teori mikroskopik ekstrem dan makroskopik ekstrem dan antarteoritisinya. Pembagian secara ekstrem dan penafsiran atas kedua jenis teori itu cenderung meningkatkan citra tentang besarnya perbedaan antara teori mikro dan makro dan lebih umum lagi meningkatkan citra konflik dan kekacauan dalam teori sosiologi. Di sisi ekstrem makro adalah fungsional struktural, teori konflik, dan beberapa jenis teori neo-Marxian (terutama determinisme ekonomi dan Marxisme struktural). Di sisi ekstrem mikro adalah interaksionisme simbolik, etnometodologi, teori pertukaran, dan teori pertukaran rasional.
Di tahun 1980-an baru terdapat perkembangan karya tentang hubungan mikro-makro. Beberapa teoritisi memusatkan perhatian untuk mengintegrasikan teori mikro-makro, sedangkan teorisi lain memusatkan perhatian untuk membangun sebuah teori yang membahas hubungan antara tingkat mikro dan makro dari analisis sosial. Eisenstadt dan Helle menyimpulkan bahwa konfrontasi antara teori-teori mikro dan makro sudah berlalu, sedangkan Munch dan Smelser sampai pada kesimpulan serupa mengenai perlunya memilih antara penekanan perhatian pada tingkat mikro dan makro. Ada perbedaan penting anatara upaya untuk mengintegrasikan teori makro (misalnya, fungsionalisme struktural) dan teori mikro (misalnya, interaksionisme simbolik) dan upaya untuk membangun sebuah teori yang dapat menjelaskan hubungan antara analisis sosial tingkat mikro dan analisis sosial tingkat makro.
Menurut Gurvitch, kehidupan sosial dapat dikaji dari segi lima level horizontal atau level mikro-makro: bentuk-bentuk sosialitas, pengelompokan, kelas sosial, struktur sosial, dan struktur global. Untuk melengkapi hirarki ini, Gurvitch juga menawarkan sepuluh level vertikal atau dalam dimulai dengan fenomena sosial yang paling objektif (misalnya, faktor ekologis, organisasi) dan diakhiri dengan fenomena sosial yang paling subyektif (misalnya, ide dan nilai kolektif, pikiran kolektif. Gurvitch memotongkan dimensi vertikal dan horizontal untuk mendapatkan banyak level analisis sosial.
Karya Ritzer tentang integrasi paradigma sosiologi sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch itu. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia. Terhadap kontinum mikro-makro ini ditambahkan kontinum objektif-subjektif (tingkat vertikal model Gurvitch) yang bergerak dari fenomena material, seperti tindakan individual, dan struktur birokrasi ke fenomena nonmaterial, seperti kesadaran, norma, dan nilai. Seperti Gurvitch, Ritzer menyilangkan dua kontinum ini, namun hasilnya dalam hal ini adalah empat tingkat analisis sosial yang jauh lebih mudah dikelola ketimbang sepuluh tingkat model Gurvitch. Berikut ini gambar yang melukiskan tingkat utama analisis sosial Ritzer.
Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya adalah terdapat empat tingkat utama analisis sosial dan sosiolog harus memusatkan perhatian pada hubungan dialektika dari keempat tingkat analisis ini.Baru-baru ini Ritzer menggunakan pendekatan integrasi mikro-makro dalam karyanya yang berjudul Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society. Khususnya Ritzer menggunakan gagasan C. Wright Mills tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit. Kesukaran personal adalah masalah yang memengaruhi seorang individu dan orang lain di sekitarnya. Pada tingkat makro, kumpulan utang konsumen telah menjadi masalah publik, karena besarnya dan pertumbuhan jumlah orang adalah meningkatkan utang kepada perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit. Akibat samping utang konsumen yang bertambah besar ini adalah peningkatan angka kejahatan dan kebangkrutan perusahaan. Akibat samping lainnya di tingkat makro dan masalah publik adalah peran yang dimainkan pemerintah dalam mendorong memperbesar utang konsumen melalui kecenderungannya sendiri untuk menumpuk utang. Lebih penting lagi adalah peran yang dimainkan perusahaan kartu kredit dalam mendorong orang untuk berutang dengan melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan agar orang mengambil kartu kredit sebanyak-banyaknya.
Logika baru ini memengaruhi �pemikiran sosiologi di setiap tingkat kontinum intelektual�. Dengan semangat ini, Alexander menawarkan apa yang istilahkan sebagai sosiologi multidimensional. Alexander menunjukkan bahwa kontinum mikro-makro (tingkat analisis individual atau kolektif) meliputi cara keteraturan diciptakan dalam masyarakat. Di titik ujung makro dari kontinum, keteraturan tercipta dari luar dan berciri kolektif; artinya keteraturan diciptakan oleh fenomena kolektif. Di ujung mikro dari kontinum keteraturan berasal dari kekuatan internal dan bersifat individulistik; yakni, keteraturan berasal dari negosiasi individual.Ke dalam masalah keteraturan ini ditambahkan problem tindakan menurut pendirian Parsonsian klasik. Tindakan meliputi kontinum materialis-idealis yang sejajar dengan kontinum objektif-subjektif yang digunakan dalam integrasi paradigma sosiologi Ritzer. Di ujung material, tindakan dilukiskan sebagai instrumen rasional dan kondisional. Di ujung nonmaterial (idealis), tindakan adalah normatif nonrasional dan perasaan kasih sayang.
Bila kita meyilangkan kontinum ketertiban dan tindakan Alexander kita menemui empat tingkatan analisis yang digunakan Ritzer. Meskipun Alexander menggunakan empat tingkat analisis yang sangat serupa dengan empt tingkat analisis yang digunakan Ritzer, terdapat perbedaan penting antara kedua model itu. Alexander memberikan prioritas pada teori-teori kolektif normatif dan memusatkan perhatian pada norma dalam kehidupan sosial. Ritzer menolak untuk memberikan prioritas pada salah satu tingkat dan menegaskan perlunya meneliti hubungan dialektika di kalangan dan antara seluruh keempat tingkat. Alexander bermaksud memberikan arti yang sangat penting pada fenomena makro (subjektif) dan akibatnya sumbangannya terhadap upaya mengembangkan sebuah teori yang mengintegrasikan fenomena mikro-makro sangat terbatas. Dapat dinyatakan bahwa Alexander termasuk teoritisi yang keliru itu karena ia secara keliru membuat generalisasi dari tingkat normatif-kolektif ke tingkat kehidupan sosial lainnya.
Model dari Mikro ke Makro Coleman memusatkan perhatian pada masalah hubungan dari mikro ke makro dan mengurangi arti penting masalah hubungan dari makro ke mikro. Model Coleman menjelaskan baik itu masalah dari makro ke mikro maupun masalah mikro ke makro, juga menjelaskan hubungan dari mikro ke makro. Meski menjanjikan, model ini dihadapkan dengan hubungan sebab akibat, pada aliran panah yang hanya ke satu arah. Model yang lebih memadai seharusnya model hubungan dialektika, seluruh panah menunjuk kedua arah sehingga memberikan umpan balik diantara semua tingkat analisis.

E.     Teori Pilihan Rasional
Dasar untuk semua bentuk teori pilihan rasional adalah asumsi bahwa fenomena sosial yang kompleks dapat dijelaskan dalam kerangka dasar tindakan individu di mana mereka tersusun. Sudut pandang ini, yang disebut metodologi individualisme, menyatakan bahwa:[4]
 'Unit elementer kehidupan sosial adalah tindakan individu. Untuk menjelaskan lembaga sosial dan perubahan sosial adalah untuk menunjukkan bagaimana mereka timbul sebagai akibat dari aksi dan interaksi individu '

Teori-teori ekonomi telah prihatin dengan cara-cara produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa adalah uang yang diselenggarakan melalui mekanisme pasar, teori pilihan rasional berpendapat bahwa prinsip-prinsip umum yang sama dapat digunakan untuk memahami interaksi di mana sumber daya seperti waktu, informasi, persetujuan, dan prestise yang terlibat.
. Dalam teori pilihan rasional, individu didorong oleh keinginan atau tujuan yang mengungkapkan 'preferensi'. Mereka bertindak dengan spesifik, mengingat kendala dan atas dasar informasi yang mereka miliki tentang kondisi di mana mereka bertindak. Paling sederhana, hubungan antara preferensi dan kendala dapat dilihat dalam istilah-istilah teknis yang murni dari hubungan dari sebuah sarana untuk mencapai tujuan. Karena tidak mungkin bagi individu untuk mencapai semua dari berbagai hal-hal yang mereka inginkan, mereka juga harus membuat pilihan dalam kaitannya dengan tujuan mereka berdua dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Teori pilihan rasional berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil alternatif tindakan dan menghitung bahwa yang terbaik untuk mereka. Rasional individu memilih alternatif yang akan memberi mereka kepuasan terbesar[5].
Individualisme metodologis teori pilihan rasional membuat mereka mulai keluar dari tindakan-tindakan individu dan untuk melihat semua fenomena sosial lainnya untuk direduksi tindakan individu tersebut. Namun bagi Homans,  itu juga perlu untuk melihat tindakan individu sebagai reduksi sebagai tanggapan psikologis. Posisi ini dibenarkan dengan alasan bahwa prinsip-prinsip pilihan rasional dan pertukaran sosial hanyalah ekspresi dari prinsip-prinsip dasar perilaku psikologi. Sementara banyak ahli teori pilihan rasional lainnya telah menolak klaim ini  dan Homans sendiri datang menganggap kurang penting.
Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.
Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan, tetapi selain Coleman menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi dimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. [6]
Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasioanl, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Colemans. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro.[7]



[1] Memahami Modal Manusia dan Modal Sosial, h. 34
[2] Eko, Sutoro, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Draft  makalah disajikan dalam Seminar Internasional IV “Dinamika Politik  Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003. http://scribd.com, diakses pada tanggal 20 Desember 2009
[3] Coleman, James. S, Dasar-Dasar Teori Sosial, Bandung: Nusa Media, 2008,h. 9
[4] Scott, John, Memahami Masyarakat Kotemporer,  karya asli dari (From Understanding Contemporary Society: Theories of The Present), www.private.essex.ac.uk/scootj, diakses pada tanggal 20 Desember 2009
[5] Ibid.,
[6] George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi; dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2009, h.477
[7] George Ritzer………………..,h. 395-396

Rabu, 19 Januari 2011

Majalah dan Pergaulan


Membaca tentu banyak sekali manfaat yang didapat. Selain memperoleh pengetahuan, membaca juga bisa memperoleh aneka macam ide, wawasan, tentunya membaca juga memperoleh sebuah ilmu untuk mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki. Orang-orang yang gemar sekali membaca, mereka jauh lebih tau daripada orang yang tidak pernah sama sekali membaca. Bagi orang yang gemar membaca, kebanyakan mereka itu banyak mendapat inspirasi dari pengetahuan yang didapat dari hasil membaca.
Sekarang ini banyak buku-buku bacaan, majalah (tabloid), surat kabar yang terbitnya tiap hari. Itu semua merupakan bacaan-bacaan yang sangat banyak manfaatnya. Seperti halnya majalah yang terbitnya meskipun dua minggu sekali bahkan satu bulan sekali. Ternyata majalah banyak diminati oleh masyarakat. Ada bermacam-macam jenis majalah yang khusus memuat berita tentang pergaulan, berita tentang teknologi, berita oleh raga dll, yang biasanya terbit tiap dua minggu sekali.
Yang menarik untuk dilirik yaitu majalah yang khusus memuat tentang berita pergaulan anak muda masa kini. Majalah ini biasanya mengambil sasaran konsumen remaja berumur mulai 15 tahun hingga 25 tahun bahkan lebih. Banyak hal menarik yang terdapat dimajalah ini, misalnya design gambar dan font (tulisan)nya yang kreatif, isi beritanya yang selalu up date, nilai beritanya mendidik, juga ada rubrik-rubrik tentang model, fashion, lifestyle, juga gosip artis lokal maupun mancanegara.
Fenomena yang tertangkap dimasyarakat, sekarang ini banyak ABG-ABG yang membekali diri mereka dalam bergaul dengan membaca majalah-majalah yang info-infonya khusus untuk anak yang suka modis, tampil trendi, dan selalu menor. melalui referensi-referensi yang mereka dapatkan dari majalah, mereka lebih berani tampil beda, mengikuti trend yang sedang naik. Misalnya gaya rambut yang di cat, model fashion yang terbuka, atau celana strit agak mlorot dan lain sebagainya. Mereka juga lebih berani mengungkapkan ekspresi-eskpresi yang sedikit agak menyimpang dari norma-norma sosial.
Berkaitan dengan hal ini maka, dapat ditemukan adanya pergeseran-pergeseran norma, pergeseran budaya, dan berubahnya kehidupan sosial akibat munculnya generasi baru yang lebih berani. Generasi baru pemikirannya lebih condong kepada realitas yang terjadi dilingkungan mereka tentang dunia anak muda yang serba coba-coba. Seperti dinyatakan Donald K. Robert (Schramm dan Robert..) ada yang beranggapan bahwa efek hanyalah “perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa”. Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa.
Maka dari itu sebuah isi pesan meskipin melalui majalah, bisa cepat menimbulkan budaya-budaya baru kepada kaula muda. Tanpa disangka, tanpa dirasa bahwa zaman semakin modern mesti juga harus diimbangi pola pikir yang modern, sikap dan penampilan yang modern pula. Sehiangga ada kesesuaian antara pola pikir, sikap, dan penampilan. Fenomena yang demikian terjadi telah diterima sebagian masyarakat sebagai sebuah modernitas yang mungkin akan membawa mereka kearah yang lebih maju dan sebalinya.
Sebagai media komunikasi massa, majalah juga tidak melulu memberitakan tentang info yang bisa merusak nilai agama dan norma sosial. Ada juga majalah yang memuat berita tentang pergaulan-pergaulan yang tidak menyimpang dari norma sosial, kiat-kiat menjadi remaja yang tangguh dan berpenampilan ok. Atau majalah yang infonya atau nilai beritanya bisa mendidik pera pembacanya. Hal itu sebagai wujud kontrol sosial dan mempertahankan eksistensi budaya yang bernilai luhur.
Karena perbedaan teknis, maka sistem komunikasi massa juga mempunyai karakteristik psikologis yang khas dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal. Ini tampak pada pengendalian arus informasi, umpan balik, stimulasi alat indra, dan proporsi unsur isi dengan hubungan. Yang menarik disini ialah proporsi unsur isi dengan hubungan. Seperti pada sistem komunikasi interpersonal, setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsur hubngan sekaligus. Sebaliknya, pada kmunikasi massa, unsur isilah yang penting. Sistem komunikasi massa justru menekankan “apanya”. Yang dimaksud adalah suatu informasi yang akan di komunikasikan kepada publik telah dikemas secara teratur dan sistemtis berdasarkan urutan sekenario sehingga pesan yang telah disampaikan kepada publik dapat berjalan tidak semrawut. Misalnya, sebuah iklan di TV, itu telah dibuat sedemikian rupa dan dikemas secara sistemtis, pesan yang disampaikan berupaya membangun stimuli pemirsa, dan dapat di tampilkan berulang-ulang.Media massa juga memiliki fungsi sebagai interaksi dan integrasi sosial.
Dimana banyak masyarakat yang mendapatkan berbagai informasi dari berbagai media massa, yang memungkinkan individu yang menjadi bagian dari masyarakat luas tersebut bisa malakukan pengembangan diri, yakni dapat eksis dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, pendidikan, politik. Mobilitas masyarakat kian cepat, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya urbanisasi, yang hal ini banyak berkaitan dengan masalah ekonomi yakni adanya suatu lapangan pekerjaan didaerah lain. Secara otomatis, media dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam proses perubahannya. Begitu juga, media dapat menunjang terciptanya nilai dan norma baru sebagai hasil dari urbanisasi masyarakat.
Pada pola integrasi sosial, komunikasi massa dapat dimaknai sebagai proses pengoperan lambang yang mengandung arti dari individu satu ke individu lain, dari kelompok satu ke kelompok lain; kegiatan komunikasi mencakupi pengoperan lambang yang mengandung arti, sedangkan arti setiap lambang adalah hasil dari kebudayaan serta setiap sistem nilai, maka dengan sendirinya proses komunikasi dengan ini dibuktikan adalah proses sosial.

Selasa, 18 Januari 2011

free counters

EFEK FILM PADA LINGKUNGAN SOSIAL (Perspektif Sosiologi Komunikasi)


Secara sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, yakni surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Secara teknis kita dapat menunjukkan empat tanda pokok dari komunikasi massa ( menurut Elizabeth-Noelle Neuman...) (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis; (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi (para komunikan); (3) bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim; (4) mempunyai publik yang secara geografis tersebar.”

Seperti dinyatakan Donald K. Robert (Schramm dan Robert..) ada yang beranggapan bahwa efek hanyalah “perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa”. Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa.

Komunikasi Massa dan Perubahan Sosial .

Media massa – pers, televisi, radio, dan lainnya, serta proses komunikasi massa (peran yang dimainkannya) semakin banyak dijadikan objek studi. Gejala ini seiring dengan kian meningkatnya peran media massa itu sendiri sebagai suatu institusi penting dalam masyarakat. Yang merupakan fungsi media ialah media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengenbangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Kehadiran film merupakan respon terhadap “penemuan” waktu luang diluar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga.

Film sudah menjadi konsumsi masyarakat dari bermacam-macam kelas sosial sebagai bentuk hiburan dan juga sebagai bentuk penyebaran nilai budaya, gaya hidup, mode, yang berkaitan dengan pola hidup individu atau masyarakat. Meskipun film tersebut hanyalah sebuah fiktif belaka. Akan tetapi efek dari pesan yang telah diinterpretasi individu ataupun masyarakat akan menjadi budaya baru dalam kehidupan sosial.

Dengan demikian, jika ditinjau dari segi fenomenalnya, akan terbukti bahwa peran film dalam memenuhi kebutuhan tersembunyi memang sangat besar, selaku motor yang menghidupkan iklim sosial di masyarakat, film juga mempunyai daya tarik tersendiri dalam dunia hiburan. Masyarakat sudah banyak mengalami perubahan yang sedikit-banyak dipengaruhi oleh pesan dari film. Coba kita tengok pada gaya hidup dan fashion yang dipakai oleh remaja-remaja, juga realitas yang berkaitan sistem pendidikan dalam keluarga, budaya-budaya baru tentang modernisasi, Itu sudah banyak dimuat dalam film-film, meskipun ada beberapa film yang mempunyai cerita komedi.

Banyak sekali unsur-unsur pesan yang diberikan kepada penonton ataupun penggila film, mulai dari unsur kreatifitas, edukasi, ekonomi, sosial-budaya, mode, lifestyle, teknologi, ideologi dan masih banyak yang lainya. Itu semua dapat menunjang perubahan kearah modenisasi. Meskipun, interpretasi terhadap pesan film tidak selamanya positif dan tidak selamanya negatif karena interpretasi terhadap nilai pesan film akan berpengaruh pada aspek psikologis seseorang.

Setiap hari, hampir banyak film yang diputar di televisi maupun digedung-gedung film yang masing-masing filmnya mempunyai sasaran khalayak yang berbeda-beda karena setiap film yang ditayangkan mempunyai tujuan khalayak. Terlepas dari bahasan tentang komersialisasi film. Unsur drama dan cerita yang ada mampu memperdaya penonton hingga mengalami gejala-gejala psikologis. Membuat orang merasa seakan terbawa cerita film itu. Begitu juga pemanfaatan film dalam dunia pendidikan, sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Pesan yang ada dalam cerita film, kebanyakan disesuaikan dengan fenomena yang lagi ada dimasyarakat, dengan memakai bahasa yang gampang dipahami oleh semua kalangan penonton.

Ada sebagian film yang ditayangkan, baik di televisi ataupun di bioskop-bioskop menuai kontrofersi karena banyak kalangan masyarakat yang memprotes cerita atau adegan yang diperankan banyak yang menyimpang dari norma-norma sosial yang ada. Dari sini, kita akan tau bahwa pesan yang disampakan melalui film juga tidak sepenuhnya bersifat positif . Efek kehadiran media massa seperti film juga akan berdampak pada efek sosial. Efek sosial berkenaan dengan perubahan norma-norma yang ada, ideologi masyarakat penciptaan budaya-budaya baru dalam tindakan kontrol sosial.

Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan, hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional.”dengan kata lain, film menjadi lebih bebas untuk memenuhi kebutuhan akan sajian yang berbau kekerasan, mengerikan, dan pornografis”. Secara fungsional film hanya sebatas hiburan atau entertaiment ternyata film juga dapat memberikan pengaruh perubahan terhadap sosial dan budaya, hingga mampu mempengaruhi aspek psikologis seseorang juga. Karena hal inilah masyarakat bisa dikatakan salah menginterpretasi pesan media, yang seharusnya, media talah menyampaikan nilai pesan yang positif akan tetapi individu atau sebagian masyarakat menganggnya sebagai pengaruh pesan yang negatif.

Di masyarakat, banyak tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma sosial, juga kekerasan, pelecehan seksual dan HAM yang terjadi. Secara tidak langsung film telah mewariskan budaya-budaya negatif tersebut dan diterima masyarakat secara mentah. Dan masyarakat pun cenderung menerima budaya yang ditampilkan tanpa ada tindakan yang mengklaim tayangan seperti itu.

Selain menyajikan cerita dengan pesan yang bersifat kontroversial, film juga menyajikan pesan yang bersifat edukatif yang berfungsi sebagai kontrol atau penyeimbang antara pesan yang bersifat positif dan bersifat negatif. Tidak bisa disangkal lagi bahwa film juga bisa memunculkan budaya baru di masyarakat dan mampu merubah tatanan norma sosial, film juga dapat mempengaruhi penontonnya untuk meniru berbagai gaya hidup, fashion dan pergaulan yang ditampilkan dalam cerita. Artinya film juga dapat merubah karakter kepribadian seseorang.



AGAMA SEBAGAI FAKTOR KONFLIK DI MASYARAKAT. ( Analisis fenomena komunikasi menggunakan perspektif Filsafat Komunikasi)

Dalam wacana teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konfik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta berkecendurangan kearah perselisihan, ketegangan dan perubahan. Tampaknya masyarakat menjadi lahan yang tumbuh sumbernya konflik – bibit bisa bermacam-macam faktor misalnya dari sisi ekonomi, politik, sosial bahkan agama. Oleh karena itu pada sisi ini agama bisa saja menjadi salah satu faktor timbulnya konflik yang ada dimasyarakat.
Agama dan Indikasi Konflik.
Pada dasrnya apabila kita merujuk pada al-Qur’an banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada dimasyarakat, al-Qur’an menyebutkan bahwa faktor konflik itu sesungguhnya berawal dari manusia.
Pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk konflik, paling tidak konflik seperti ini adalah konflik intra agama atau konflik antar madzhab yang diakibatkan oleh berbeda pemahaman terhadap ajaran agama. Dalam kaitan ini kiranya perlu dipertimbangkan pandangan Nur Kholis Majid yang menyarankan agar agama tidak disejajarkan dengan suku dan ras. Betapapun semangat yang ada pada akronim sarah itu mungkin bisa dibenarkan tetapi dari sudut kepentingan yang lebih besar dan berjangka panjang sebenarnya sangat merugikan terutama dibidang pembangunan agama. Dampak negatif agama berupa daya pemecah belah , konflik, dapat dieliminir dan sebaliknya dampak positif agama berupa daya pemersatu dapat dibangun dan dikembangkan.
Peristiwa konflik yang terjadi dalam lingkup agama akhir-akhir ini seiring kita ketahui melalui media-media massa. Beberapa media massa memuat berita-berita tentang bagaimana konflik tersebut bisa membingungkan para pemeluk agama tersebut. Jika dilihat dari sebab terjadinya suatu konflik, maka bisa jadi konflik yang terjadi itu berawal dari perbedaan sudut pandang pengertian pada para pemimpin-pemimpin agama.
Dari sini kita akan mulai menganalisa timbulnya konflik intern dalam agama Islam pada saat penetapan hari-hari penting misalnya hari raya. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa didalam agama Islam banyak mempunyai faham dan madzhab sendiri-sendiri. Pada tiap faham tersebut tentu mempunyai pemimpin agama dan mempunyai massa yang berupa masyarakat dengan jumlah tak terhingga. Para pemimpin agama yang berkedudukan sebagai komunikator pada masing-masing faham akan menginformasikan kepada masing-masing massanya berkaitan dengan penetapan hari raya tersebut melalui media massa. Mulai dari sinilah konflik muncul, menurut pandangan satu faham hari raya jatuh pada hari atau tanggal sekian, sedangkan menurut Faham lain bahwa hari raya jatuh pada hari/tanggal sekian. Dari perbedaan sudut pandang dan alasan-alasan yang dikemukakan, maka masyarakat akan mengikuti intruksi masing-masing pemimpinya. Dari gambaran situasi yang seperti itu, masyarakat yang bertindak sebagai komunikan akan berusaha mengikuti intruksi dari masing-masing pemimpinnya.
Memang sebuah ideologi dalam agama akan mempengaruhi situasi sosial dimasyarakat yang berkaitan dengan perubahan-perubahan waktu dalam pelaksanaan ritual-ritual yang sakral. Dibawah ini ada beberapa langkah penting dan strategi untuk memupuk jiwa toleransi beragama dan membudayakan hidup rukun antar umat beragama, langkah-langkah berikut paling tidak, akan meminimalkan meskipun tidak bisa menghilangkan konflik agama. Kiat itu sebagai berikut:
1. menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama dan tidak memperdebatkan segi perbedaan dalam faham tang dianut.
2. melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk faham yang berbeda.
3. menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang paling benar.

MENGAPA KITA BERKOMUNIKASI

Tujuan dasar berkomunikasi adalah untuk mengagendakan lingkungan fisik dan Psikologis kita.

Fungsi isi komunikasi : Yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk

menyelesaikan tugas dan fungsi hubungan bagaimana hubungan kita denmgan orang lain.

Funfsi I Komunikasi menurut William. I. Gorden ada 4 fungsi teori

1. Konunikasi Sosial

2. Komunikasi Ekspresif

3. Komunikasi Ritual

4. Komunikasi Instrumental

Keempat fungsi ini tidak saling meniadakan tetapi keempat fungsi tersebut berkaitan satu sama lainnya.

1. Komunikasi Sosial

Dalam hal ini komunikasi itu penting untuk membangung konsep diri kita, untuk kelangsungan hidup, terhindar dari ketegangan dan tekanan melalui komunikasi. Yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain.

Nama lain dari komunikasi sosial adalah fungsi komunikasi kultural bahwa komunikasi dan budaya memupuk hubungan timbal balik seperti halnya satu mata uang budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan atau mewariskan budaya.

Maka benar kata Edward T. Hall “budaya adalah komunikasi” dan “komunikasi adalah budaya”

Menurut Alfred Korzybski bahwa kemampuan manusia berkomunikasi menjadikan mereka “pengikat waktu” ini merujuk pada kemampuan manusia untuk mewariskan pengetahuan dari budaya ke budaya.

Sebagian kesulitan dari komunikasi berasal dari fakta bahwa kelompok-kelompok budaya atau subkultur yang ada dalam suatu budaya merupakan perangkat norma yang berlainan.

PEMBENTUKAN KONSEP DIRI

Konsep diri adalah pandangan kita mengenal diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh melaui informasi yang diberikan orang lain kepada kita.

Konsep diri kita yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang dekat lainnya disekitar kita, termasuk kerabat. Mereka itulah yang disebut Signifikan Others. Orang tua kita termasuk yang memelihara kita pertama kalinya meskipun kita berupayah berprilaku sebagai mana yang diharapkan orang lain, kita tidak pernah secara total memenuhi pengharapan orang lain tersebut.

Aspek-aspek konsep diri seperti agama, kesukuan, pendidikan, rupa sisi kita dsb. Kita nyatakan melalui upah balik orang lain yang menegaskan aspek-aspek tersebut pada kita, yang pada gilirannya menuntut kita berprilaku sebagaimana orang lain memandang kita.

Identitas ednik dari seseorang mampu berkembang melalui internalisasi atas “penghargaan” diisi pada orang lain yang kuhususnya orang –orang dekat disekitarnya dan prilaku ditorik tidak terjadi hanya pada masa kanak – kanak kedalam keluarga namun bisa lebih keras lagi moralnya pada lingkungan diluar tersebut dan pada tetapi kehiduipan selanjutnya (apabila orang tersebut masuk komunitas baru). Sehingga aspek diri merupakan realitas yang diterima begitu saja dan tidak perlu dipersoalkan lagi (teker – for – granted reality).

George Her ber mead mengatakan manusia mengembangkan konsep dirinya dengan bertransaksi pada orang lain (masyarakat) dan itu dilakukan dengan berkomunikasi sehingga kita dapat mengetahui sifat kita dari orang lain yang seolah –olah menjadi cermin bagi kita yang memunculkan bayangan kita. Charles H. Cooly menyebutnya “The looking glass self”, yang secara signifikan ditentukan pikiran seorang mengenai pikiran orang lain. Jadi menekankan betapa pentingnya respon orang lain yang dijadikan sebagai sumber primer data mengenai diri.

Teori konsep diri oleh Mead berlaku pula pada proses pembentukan identitas etnik yang berarti bahwa konsep diri yang dipandang spesifik secara buadaya dan berlandaskan keetnikan, secagai contoh orang yang dilahirkan pada neoretika dan geogafis tertentu maka lingkungan sosialnya akan menyediakan suatu skema dan rujukan yang akan mempengaruhi kehidupan sosialnya dan menfsirkan pada pengalaman hidupnya.

Dalam konsep diri dan agama, kesukuan memegang peranan penting didalamnya. Karena dalam menjelaskan identitas kita asal usul juga merupakan suatu kebutuhan primodial yang pada dasarnya tidak luntur oleh perkembangan peradaban sebagai contoh apabila ziarah kemakam leluhur kita didesa.

Proses konseptualitas diri berlangsung terus dan bergantung pada pengetahuan yang kita terima serta konsep diri tidak pernah terisonali melainkan ketergantungan pada respon dan reaksi orang lain, karena respon dan reaksi orang lain sangat menentukan akan jadi apa kita namun umumnya kita mencoba memenuhi apa yang orang harapkan pada kita dengan berusaha keras terasa dalam memenuhi anggapan itu.

Kesan yang kita miliki tentang kita bergantung pada cara kita berkomunikasi pada mereka termasuk cara bicara dan berpakaian. Ketika orang lain memberi komunikasi karena reaksi orang lain tidak sesuai dengan cara kita memandang diri kita sehingga citra diri yang anda miliki tentang diri anda dan citra yang orang lain tentang diri ada berkaitan dengan komunikasi.

Dengan memperkirakan konsep diri dan menyadari pentingnya citra diri dimata orang lain, kita dapat menduga dari keatas atau golongan mana ia berasal. Sebagai contoh dalam masa orde baru menirulah tata bahasa yang keliru agar dipandang intelektual dan medern.

Pernyataan Ekoistensi Diri

Orang berkomunikasi untuk menyatakan dirinya ekois, pernyataan itu bisa disebut aktualisasi diri atau pernyataan ekstensi diri. Pernyataan ini bermaksud apabila kita berdiam diri maka orang lain akan memperlakukan kita seolah – olah kita tidak eksis namun ketika kita berbicara kita sebenarnya menyatakan bahwa kita itu akan sebagai contoh fungsi komuniklasi sebagai eksistansi diri yaitu pada fenomena yang muncul dalam SU MPR bulan oktober 1999, banyaknya anggota sidang yang memunculkan intensi yang asal-asalan, tidak relevan, kocak, konyol dsb. Terkesan bahwa mereka ingin menujukkan keeksistensinya disidang umum MPR, walapun interupsi mereka bukan pada persoalan substensial dan mendesak.

Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan dan memperoleh kebahagiaa.

Sejak lahir kita tidak dapat hidup sendiri dalam mempertahankan hidup kita perlu berkomunikasi dengan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan biologis dan phisikologis.

Kerena psikolog berpendapat bahwa kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia yaitu hubungan sosial yang ramah. Abraham Masloh menyebutkan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan dasar : kebutuhan psikologis, keamanan sosial, penghargaan diri dan aktualitas diri. Kita mungkin sudah mampu memulai kebutuhan psikologis dan keamanan untuk bertahan hidup, namun kebutuhan sosial, lingkungan diri dan aktualisasi diri tidak boleh diabaikan karena kebutuhan ketiga dan keempat meliputi keinginan untuk memperoleh rasa aman lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi, mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi aktematif atas masalah pengambilan kepustusan dan tujuan – tujuan sosial serta hiburan.

Menurut Rene Spitz komunikasi adalah jembatan antara bagian luar dan bagian dalam kepribadian dan mulut merupakan jembatan antar persepsi dalam dan persepsi luar.

Komunikasi yang pertama yang dipelajari manusia adalah komunikasi yang terjadi sejak kita bayi seperti sentuhan orang tua kepada anaknya dan anak tersebut memberi respon akan tetapi komunikasi seperti ini belum tentu bisa dirasakan oleh orang lain, dengan kata lain komunikasi ini hanya terjadi antara orang tua dengan bayi tersebut. Pada tahap ke 2 anak memasuki lingkungan yang lebih besar seperti kerabat, keluarga, komunitas, sekolah dan anak tersebut harus mengembangkan keterampilan baru untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan lebih luas. Pada tahap ke 3 anak memasuki dunia kerja dan mulai beranjak dewasa dan akan semakin banyak lagi komunitas yang ia butuhkan.

Dengan komunikasi pula kita belajar maka cinta, belajar, kasih sayang, simpati, rasa hormat. Melalui komunikasi pula kita dapat mengalami berbagai kualitas perasaan itu dan membandingkannya antara perasaan itu dengan membandingkan antara perasaan yang satu dengan perasaan yang lainnya.

Dengan memupuk perasaan-perasaan positif dan mencoba menetralisasikan perasaan – perasaan negatif orang yang tidak memperoleh kasih sayang dari orang lain akan mengalami kesulitan untuk menaruh perasaan itu terhadap orang lain karena dia sendiri tidak pernah merasakan perasaan tersebut. Untuk menumbuhkan atau memupuk kehangatan dari orang lain kita harus memupuk komunikasi (phatic komunication) yaitu ucapan salam yang kita berikan kepada orang lain, menanyakan keadaan keluarga, pekerjaan.

Komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi dilakukan untuk pemenuhan diri dalam komunikasi, pokok pembicaraan atau kata – kata tidaklah penting.

Orang yang tidak memperoleh kasih sayang dan kehangatan cenderung bersikap agresif. Akhirnya agresivetas melahirkan kekerasan terhadap orang lain seperti ditunjukkan berbagai peneliti.

Sekarang komunikasi tidak hanya omong-omong atau bicara sembarangan, tetapi selain itu ada yang jauh lebih penting ternyata komunikasi juga ada hubungannya dengan kesehatan. Menurut kesehatan seseorang yang sering berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain maka kemungkinan terkena penyakit jantung lebih kecil dari pada orang yang sehari-harinya menutup diri tidak mau bersosialisasi yang lebih tinggi potensinya terkena penyakit jantung.

Menurut kesimpulan kami apabila seseorang tidak pernah berkomunikasi maka orang itu mempunyai potensi stress lebih tinggi dari pada orang biasa karena apabila seseorang mempunyai masalah maka komunikasi adalah salah satu cara yang efektif untuk mengurangi beban dipikirnnya. Bentuk komunikasi itu antara lain curhat dengan sahabatmu, pacar. Bandingkan dengan orang lain menurut kesehatan seseorang yang tidak pernah bersosialisasi dengan orang lain menurut kesehatan seseorang yang tidak pernah berkomunikasi ada peningkatan resiko terkena pilek akut yang disebabkan 5 virus yang berbeda lalu penyakit jantung akut, lebih cepat mati. Menikah adalah salah satu bentuk komunikasi yang baik karena didalam keluarga kita akan diajari secara alami bagaimana berkomunikasi memecahkan masalah, berkomunikasi dengan anak yang belum bisa bicara dll.

Pada zaman dahulu satu contoh yaitu Raja Federik II penguasa sicilia abad ke 13 membuat percobaan dengan memasukkan sejumlah anak ke laboratorium memang disusui tetapi tidak pernah diajak bicara akibatnya sangat mengejutkan bayi – bayi itu mati lebih cepat dari pada anak seusia mereka yang hidup normal sampai – sampai ada ungkapan “ If you arenos stroked your spinal cord will shrivel up “. Jika engkau tidak mendapatkan dalam urat saraf tulang belakangmu akan layuh. Jadi memang benar ajaran Rosullulah sang ilmuwan sejati abad 14 bahwa silaturahmi memperpanjang usia.

Fungsi Kedua : Komunikasi Ekspresif

Pada bahasan kali ini kesimpulan kami komunikasi sosial dan komunikasi ekspresif sangat erat hubungannya. Kurang lebih

Tujuan komunikasi eksperesif ialah suatu hasil bagaimana suatu ekspresi itu dapat menyampaikan perasaan –perasaan emosi kita. Pesan emosi itu dapat diwakili dengan gambaran, terbawa cemberut, merah atau yang lebih spesifik bagaimana seorang sahabat yang menepuk-nepuk punggung teman yang lagi putus sama pacanya. Menpuk-nepuk tadi adalah bentuk rasa toleransi sisahabat kepada temannya itu, atau bisa saja melalui musik, biasanya musik ungkapan emosi kita yang paling dalam. Apabila kita putus sama pacar biasanya kita akan menyayikan lagu sedih, banyak cara mengekspresikan emosi kita melalui banyak wdah cara mengekspresikan emosi kita melalui banyak wadah komunikasi seperti salah kami sebutkan diatas dan itu adalah kemampuan alami seseorang manusia.