Selasa, 01 Maret 2011

Mengenal Henri Bergson



Filsafat Bergson merupakan reaksi terhadap positivisme dan materialisme serta subyektivisme dan relativisme. Pangkalnya tidak jauh dari ilmu (positif), tetapi bertujuan melalui yang positif itu untuk menyelami yang mutlak dalam pengetahuan metafisis.
Ia menentang sekuat-kuatnya mekanisme dan determinisme serta mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan kehendak. Walaupun ia kena pengaruh bermacam-macam filsafat yang mendahuluinya, akan tetapi harus dikatakan, bahwa filsafatnya merupakan sesuatu yang baru serta mewujudkan keseluruhan.
Ada yang mengatakan, bahwa Bergson itu harus disebut filsuf kemerdekaan, karena ia mempertahankan kemerdekaan kehendak manusia. Ia menentang segala determinisme. Ia memang suatu aspek dari filsafat Bergson.

A.  Riwayat Hidup Dan Karyanya
Tidak ada seorang filsuf pada permulaan abad ke-20 ini yang lebih terkenal dari Henry Bergson (1859-1941). Ia lahir di Paris. Ayahnya adalah pemusik komponis ternama yang mengungsi dari Polandia dan ibunya orang Inggris. Baik ayah maupun ibunya menganut agama Yahudi dan Henri Bergson pun dibesarkan dalam suasana Yudaisme yang tradisional.
Ia masuk Lycee Condorcet disana dan kemudian masuk Ecole Normale yang darinya ia lulus tahun 1881. pada tahun-tahuntahun berikutnya ia mengajar filsafat di Angers dan Clermont-Ferrand dan kemudian kembali ke Paris, ia mengajar di beberapa Lycee dan kemudian mengajar di Ecole Normale. Pada tahun 1900 ia di anugrahi Chair pada College de France. Sampai saat itu ia mulai menerbitkan karyanya.
Buku-bukunya sering dicetak ulang, sebagaimana terjadi dengan karya-karya filsafat. Ketika diangkat di College de France ia sudah menerbitkan bukunya Matiere et memoire (1896) (Materi dan ingatan). Tahun 1900, terbit suatu buku kecil berjudul Le rire (Tertawa). Suatu buku yang disambut dengan hangat juga di luar negeri adalah L'evolution creatrice (1907) (Evolusi kreatif). Tahun 1922 terbit Duree et simultaneite (Lamanya dan keserentakan), suatu refleksi filosofis tentang teori relatifitas dari Albert Einstein; tetapi sejak tahun 1926 Bergson tidak mengizinkan karya ini di cetak ulang, suatu tanda bawa ia tidak lagi menyetujui isinya. Karya besar terakhir yang diterbitkannya ialah Les deux sources de la morale et de la religion (1932) (kedua sumber dari moral dan agama).
Artikel-artikelnya dikumpulkan dalam L'energie spirituelle (1919) (Energi Rohani) dan La pensee et le mouvant (1934) (Pemikiran dan Yang Bergerak). Sesudah meninggalnya terbit lagi Ecrits et paroles (3 jilid; 1957-1959) (karangan-karangan dan perkataan-perkataan). Ia juga mendapat berbagai penghargaan, antara lain psfs tahun 1914 ia dipilih sebagai anggota Academie Francaise dan pada tahun 1928 ia dianugrahi Hadiah Nobel untuk kesusastraan.
Selama tahun-tahun pasca perang dunia pertama ia memberikan banyak perhatian pada politik internasional dan bekerja untuk mempromosikan kerja sama dan kongsistensi damai di antara negara-negara. Segera setelah perang dunia kedua, ketika ia tinggal di kota Paris yang diduduki, ia diwajibkan untuk mendaftar sebagai seorang Yahudi. Ia antri berjam-jam dalam cuaca dingin untuk memenuhi persyaratan tersebut dan akhirnya ia mengidap penyakit pneumonia yang membawanya ke kematian pada tanggal 3 januari 1941.

B.   Duree dan Kebebasan
Seperti sudah tersirat dalam judul bukunya, Bergson bertolak dari pengalaman langsung, dari pengalamanku sebagai aku. Dalam hal ini penemuannya yang terbesar adalah apa yang disebutnya duree (Inggris: duration), suatu kata yang tidak mudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Sebagai terjemahan yang kiranya paling baik mendekati maksud Bergson kita harus membedakan dua macam waktu. Biasanya pengertian kita tentang waktu di kuasai oleh pengertian tentang ruang.
Waktu dimengerti berdasarkan ruang. Kalau begitu, waktu di umpamakan sebagai semacam garis tak terbatas yang terdiri atas titik-titik dan semua titik itu terletak yang satu diluar yang lain. Waktu itu dianggap kuantitatif. Dengan demilian, waktu dapat diukur dan di bagi-bagi. Itulah waktu yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan. Itulah waktu menurut aspek obyektif-fisis. Bergson menyebutnya temps (kata prancis yang biasa untuk "waktu"). Tetapi waktu dalam arti lebih fundamental adalah duree, "lamanya", yaitu waktu yang kita alami secara langsung. Itulah waktu menurut aspek subyektif-psikologis.
Waktu itu tidak melebar melalui ruang seperti bola kawat yang tidak berputar dan tidak diukur oleh kronometer jenis apa pun. Waktu ril tersebut hadir sebagai durasi hanya karena kita sendiri mengamatinya. Bergson menyatakan: interval duree ada hanya bagi kita, dan disebabkan oleh penetrasi saling dari kondisi kesadaran kita; diluar kita seseorang mungkin tidak akan menemukan suatu hal pun kecuali ruang, dan jadi simultanitas-simultanitas, yang darinya seseorang mungkin tidak akan pernah berkata bahwa mereka secara obyektif saling datang bergantian.
Konsepsi mengenai sifat dasar realitas ini memiliki implikasi pada gagasan-gagasan mengenai kebebasan manusia. Bergson menganggap inti esensial seseorang, 'diri mendalam' bahwa kita hidup dari pada mengkonseptualisasikan, sebagai hal yang tidak sesuai dengan gerakan tubuh kita. Kebebasan mestinya dengan pengalaman langsung dan non-ruang kita akan realitas. Kebesan dirasakan tetapi tidak dapat dijelaskan dan kebebasan di praktekkan, menurutnya, hanya ketika tindakan seseorang berasal dari totalitas dari wujud seseorang.
Ia menentang sekuat-kuatnya mekanisme dan determinisme serta mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan kehendak. Walaupun ia kena pengaruh bermacam-macam filsafat yang mendahuluinya, akan tetapi harus dikatakan, bahwa filsafatnya merupakan sesuatu yang baru serta mewujudhan keseluruhan.

C.   Intuisi
Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct,tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Intuisi ini menangkap obyek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, indra dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap.
Intuisi, menurut Bergson, bersifat non-konseptual. Karena diarahkan pada dunia luar, ia memungkinkan seseorang untuk dibawa ke dalam bagian dalam sebuh obyek 'agar datang bertepatan dengan sesuatu yang unik dan yang tidak dapat diungkapkan mengenainya sebagai konsekuensi'. Sebaliknya akal hanya dapat mengamati dari luar, menggunakan simbol dalam memahami obyeknya, dan akal terkadang dapat menghasilkan paradoks dan falsifikasi.
Hanya sikap intuitif yang dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak terdistorsi dan murni. Akal menghentikan setiap hal dalam upayanya untuk membatasi dan menjadi eksak; hasilnya adalah bahwa konsep-konsep yang digunakannya dalam membuat upaya tersebut tampak lebih ril dari pada maksud yang mereka kehendaki. Intuisi, di ambil sebagaimana adanya dari insting, intuisi adalah insting yang menjadi sadar dan obyektif, mampu berpartisipasi dalam sifat hidup dasar segala sesuatu.

D.  Materi dan Ingatan
Dalam buku materi dan ingatan Bergson mempelajari hubungan antara jiwa dan tubuh, antara roh dan materi. Ia mulai dengan mengatakan bahwa pendiriannya dalam buku itu pada dasarnya bersifat dualistis (suatu dualisme moderat, katakanlah), karena ia mempertahankan materi maupun roh sebagai kenyataan. Ia menolak setiap monisme, setiap pandangan yang mereduksikan roh kepada materi (jadi, materialisme) maupun monisme yang mereduksikan materi kepada roh (jadi, idealisme). Tetapi, di sisi lain ia ingin memandang hubungan antara jiwa dan tubuh sedemikian rupa sehingga akan dihindari kesukitan-kesulitan yang mengakibatkan dualisme mendapat nama jelek dalam filsafat.
Bergson menyelidiki problem ini melalui studi mengenai ingatan, karena katanya ingatan paling jelas tampak sebagai titik interaksi antara roh dan materi. Pada akhir abad ke-19 banyak penelitian dilakukan tentang kaitan antara otak dan ingatan. Materialisme dan epifenomenalisme sudah kerap kali menggunakan penelitian-penelitian itu sebagai argumen bagi pendirian mereka. Dalam bukunya Bergson menyebut penelitian-penelitian seperti itu dan memberi evaluasi filosofisnya.
Persepsi harus dibedakan dari ingatan. Dalam persepsi obyek bersangkutan hadir berkat suatu intuisi tentang realitas, sedangkan dalam ingatan obyek yang tidak hadir diingat kembali. Tetapi biarpun persepsi adalah intuisi mengenai realitas, itu tidak berarti bahwa persepsi tertuju pada pengetahuan demi pengetahuan. Tidak begitu. Persepsi seluruhnya terarah pada praksis. Biarpun persepsi harus dibedakan dengan jelas dari ingatan, pada kenyataannya persepsi dan ingatan tidak boleh dipisahkan. Persepsi selalu disertai dengan bayangan ingatan; persepsi yang hanya persepsi saja merupakan suatu abstraksi. Dalam persepsi konkret ingatan selalu memainkan peranan juga, seperti (sebaliknya) ingatan pun sering di aktifkan dalam suatu persepsi.
Bagi Bergson perpaduan antara persepsi dan ingatan ini menunjuk pada relasi antara tubuh dan jiwa, antara materi dan roh. Dalam hal ini persepsi mewakili pihak materi dan ingatan mewakili pihak roh. Roh atau jiwa tidak dapat diasalkan dari materi, atau lebih konkret lagi tidak dapat diasalkan dari otak. Tubuh adalah alat untuk praksis dan fungsi ini terutama tampak dalam otak. Untuk mengadakan praksisnya, roh bergantung pada otakl. Menurut Bergson, roh tidak dapat bekerja dan berpikir tanpa tubuh. Tetapi mungkin roh dapat hidup terus sesudah kematian tubuh, biarpun dalam keadaan tidak aktif.

E.   Evolusi Kreatif
Kebetulan pada tahun Bergson lahir (1859) terbit buku yang begitu menentukan bagi teori evolusi, yaitu The origin of species karangan Charles Darwin. Seolah-olah ada firasat! Evolusi selalu merupakan tema penting bagi pemikiran Bergson. Tetapi dalam hal ini ia menolak setiap interpretasi mekanistis dan ia berpendapat bahwa Darwin sendiri terlalu dekat dengan interpretasi serupa itu. Msalnya pandangan Darwin tentang natural selection, di mana variasi-variasi yang cocok supaya organisme dapat hidup terus, "dipilih" dan diwariskan kepada generasi berikut, sedangkan variasi-variasi lain ditinggalkan, bagi Bergson tidak memuaskan. Dengan cara demikian menurut Bergson tidak pernah mungkin mengerti terbentuknya suatu organisasi yang begitu kompleks seperti mata, misalnya.
Untuk mengerti evolusi, menurut Bergson, data biologi harus dilengkapi dengan hasil pemikiran metafisis. Dalam hal ini kuncinya adalah apa yang kita alami dalam diri kita sendiri sebagai makhluk hidup. Kita sendiri merupakan contoh istimewa diantara makhluk hidup dan daya-daya yang bekerja dalam diri kita bekerja juga dalam alam semesta. Nah, bila kita memperhatikan apa yang oleh intuisi disingkapkan kepada kita, kita menemukan bukan saja adanya duree dan perkembangan terus-menerus, melainkan juga suatu élan vital, yaitu suatu energi hidup atau daya pendorong hidup. Kita berhak mengandaikan bahwa élan vital ini meresapi seluruh proses evolusi dan menentukan semua cirinya yang penting.
Dengan demikian kita sanggup mengerti perkembangan kehidupan secara kreatif dan tidak lagi mekanistis. Bergson menganggap élan vital ini sebagai penyebab yang melalui bermacam-macam variasi akhirnya menghasilkan jenis-jenis baru. Dalam pekerjaannya élan vital menjumpai perlawanan dari materi dan sebenarnya justru perjuangan élan vital untuk mengatasi perlawanan materi mati itu menghasilkan garis-garis dan tahap-tahap baru dalam perkembangan evolusi. Tetapi energi kreatif dari élan vital tidak berhenti di situ dan akan berusaha terus menuju perkembangan baru lagi.
Pada satu titik dalam creative evolution Bergson menganggap élan vital sebagai Tuhan. Ia menulis: "seperti itu ditetapkan, Tuhan tidak punya satu hal pun yang siap-pakai, ia kehidupan yang tidak terganggu, tindakan, kebebasan. Dan penciptaan, begitu dipahami, bukan sebuah misteri; kita mengalami dalam diri kita sendiri ketika kita bertindak dengan bebas. Disana tampak terdapat lebih dari sebuah petunjuk akan panteisme dalam konsepsi tentang Tuhan ini sebagai hal yang nyata-nyata identik dengan élan vital dan seperti dialami secara langsung dalam tindakan kita.
Tetapi dalam surat-surat ke Joseph de Tonquedec Bergson berpendapat bahwa ia menganggap Tuhan sebagai pencipta bebas, pembangkit kehidupan dan materi tetapi berbeda dengan mereka. Karenanya ia membatalkan pertalian apa pun dari panteisme yang mungkin orang tergoda untuk melakukannya.
F.   Moral dan Agama
Pandangan Bergson tentang moral dan agama diuraikannya dalam ke dua sumber dari moral dan agama, karya yang terbit ketika pengarangnya sudah berumur 73 tahun. Pikiran pokok dalam buku ini adalah perbedaan antara moral tertutup dan moral terbuka, masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka, agama statis dan agama dinamis. Salah satu cara terbaik untuk memperkenalkan isi buku tersebut ialah menjelaskan maksud Bergson dengan pembedaan-pembedaan ini.
Moral tertutup menandai masyarakat tertutup. Suatu masyarakat adalah tertutup tidak terutama karena keterbatasannya menurut ruang, tidak pula karena masyarakat itu meliputi sebagian saja dari umat manusia, melainkan karena dikuasai oleh suatu moral yang hanya berlaku terhadap para warga masyarakat saja dan tidak terhadap mereka diluar masyarakat itu; dengan kata lain, suatu moral yang tertutup. Prinsip dasar moral tertutup ialah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan keluar.
Di samping moral tertutup terdapat moral terbuka, yang menandai masyarakat terbuka. Moral ini disebut terbuka, karena menurut kodratnya bersifat universal dan mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral ini bersifat dinamis, sebab tertuju pada perubahan masyarakat dan tidak bermaksud mempertahankan masyarakat seperti apa adanya.
Rasio manusia bisa berperan sebagai penengah antara dua moral tersebut. Rasio dapat mengemukakan unsur universalitas dalam suasana moral tertutup dan unsur kewajiban dalam suasana dan moral terbuka. Dengan demikian cita-cita dari moral terbuka bisa menjadi lebih efektif karena ditafsirkan oleh rasio dan dikaitkan dengan kewajiban, sedangkan moral tertutup mendapat gairah kehidupan dari moral terbuka.
Sejajar dengan pembedaan antara moral tertutup dan moral terbuka Bergson membedakan juga agama statis dan agama dinamis. Bergson melihat agama statis sebagai reaksi terhadap pengaruh negatif dari akal budi, baik bagi individu mauoun bagi masyarakat. Agama statis ini terutama menandai masyarakat primitif, tetapi tidak terbatas disitu. Agama statis masih tetap ada sejauh mentalitas primitive hidup terus dalam kebudayaan kita. Kalau dalam perang modern kedua belah pihak percaya bahwa Allah memihak pada mereka, menurut Bergson, disini masih tampak suasana agama statis. Alasannya: sebab mereka memperlakukan Allah sebagai dewa nasional, biarpun keduanya barang kali mengaku dirinya takwa pada Allah yang Esa.
Mistik adalah agama dinamis. Para mistisi bersatu dengan usaha kreatif yang "berasal dari Allah dan barang kali malah dapat disamakan dengan Allah". Bergson mempelajari mistik dalam agama Yunani; mistik Timur dan misti Kristen. Ia berpendapat bahwa dalam agama Kristen mistik mencapai bentuk yang paling lengkap, karena disitu mistik disertai aktivitas dan kreativitas. Mistik yang berbalik dari dunia supaya mempersatukan diri dengan suatu pusat Ilahi, menurut Bergson, tidak boleh disebut mistik yang lengkap.
Tentang agama statis dan agama dinamis Bergson mengatakan bahwa gama-gama konkret merupakan semacam campuran dari kedua jenis agama itu. Dalam agama Kristen yang historis, umpamanya, kita dapat melihat gejala agama dinamis disamping suasana agama statis. Yang paling ideal ialah bahwa agama statis semakin dimurnikan menjadi agama dinamis, tetapi dalam praktek kedua bentuk agama tercampur secara tak terpisahkan.