A. Latar Belakang Kehidupan Randall Collins
Randall Collins mulai menjadi sosiologi sejak muda. Ayahnya bekerja di intelegensi militer di akhir perang dunia II, kemudian masuk ke Departemen Luar Negeri Amerika sebagai pejabat dinas urusan Luar Negeri. Salah satu kenang–kenangannya paling awal adalah kedatangannya di Berlin untuk bergabung dengan ayahnya di Musim panas tahun 1945. Randall Collins dan saudara wanitanya tak dapat bermain di taman karena di situ taman ranjau darat dan suatu hari serdadu Rusia datang ke halaman belakang rumahnya untuk menggali kuburan korban perang. Kejadian ini memberinya perasaan bahwa konflik adalah penting pada konteks kekerasan.
Kepindahan tugas ayahnya selanjutnya membaw Randall Collins ke Uni Soviet, kembali ke Jerman (kemudian di bawah pendudukan militer Amerika), Spanyol dan Amerika selatan. Ketika melaksanakan tugas luar negeri dia tinggal di Amerika, dengan demikian Randall Collins kembali dan seterusnya hidup antara menjadi seorang anak Amerika biasa dan menjadi tamu istimewa luar negeri. Pengalaman ini menimbulkan sejumlah sikap tertentu dalam memandang hubungan sosial. Ketika Randall Collins makin dewasa kehidupan diplomatis kelihatan makin kurang dramatis dan makin menyerupai sebuah lingkaran etika formal tak berujung , dimana orang tak pernah berbicara tentang persoalan politik penting yang sedang terjadi; pemisahan antara kerahasiaan di belakang layar dan seremonial di depan layar menyebabkan Randall Collins siap menghargai Ervving gofman.
Ketika Randall Collins sudah terlalu dewasa untuk menyertai orang tuanya di luar negeri Randall Collins di kirim ke SMU swasta di New England. Di sini mengajarinya realitas sosiologi besar lainnya; keadaan stratifikasi sosial. Banyak di antara siswa lain berasal dari The Social register (daftar orang terkemuka dalam masyarakat) dan Randall Collins mulai menduga bahwa ayahnya tak sama kelas sosialnya dengan duta besar dan Menteri muda yang anak–anak mereka kadang–kadang Randall Collins temui.
Randall Collins kemudian belajar di Harvad di mana Randall Collins berganti guru enam kali. Randall Collins belajar kesustraan dan menjadi seorang dramawan dan penulis novel. Randall Collins pindah dari matematika ke filsafat; Randall Collins membaca karya Freud dan merencanakan menjadi Psikiatris. Akhirnya Randall Collins memilih jurusan hubungan sosial dan antropologi. Setelah mengambil kuliah Talcott Parson, Randall Collins masuk jurusan hubungan sosial. Kuliah Parson meliputi bidang kajian yang sangat luas, mulai analisa tingkat mikro ke tingkat makro sampai menjelaskan sesjarah dunia . Tak banyak yang didapat dari teori Parson kecuali gagasan tentang apa yang harus di pelajari oleh sosiologi. Ia pun memberinya beberapa bagian penting tentang model kultural. Parson mengajarinya bahwa Max Weber kurang perhatian mengenai etika protestan ketimbang dirinya sendiri yang membandingkan dinamika seluruh agama yang ada di dunia dan Durkhaim yang mengajukan pertanyaan kunci ketika ia mencoba menjelaskan basis prakontraktual dari ketertiban sosial.
Randall Collins ingin menjadi seorang Psikolog dan belajar di Starford, tetapi setelah setahun menerima ajaran menyakinkan bahwa sosiologilah tempat yang lebih baik untuk mempelajari kehidupan manusia, Randall Collins berganti Universitas dan di musim panas tahun 1964 Randall Collins tiba di Berkeley dan ketika itu juga bergabung dengan gerakan hak-hak sipil. Pada musim gugur juga muncul gerakan kebebasan berbicara muncul di kampunya. Kelompok Randall Collins adalah mantan aktor gerakan aksi duduk yang mulai tertarik kepada faktor penyebab lain yang membangkitkan emosi ketika orang dapat menciptakan solidaritas bersama ratusan orang lain. Randall Collins mencoba membuat analisa sosiologi konflik pada saat kami mengalaminya bersama. Ketika perang Vietnam berlangsung dan konflik rahasia dalam negeri (di Amerika) meningkat, gerakan oposisi tidak mau lagi prinsip tanpa kekerasan, kebanyakan mahasiswa menjadi kecewa, putus sekolah dan beralih ke gaya hidup hedon. Randall Collins mempelajari karya Erving Gofman dan Herbert Blumer (ketika itu keduanya adalah Profesar Berkeley) dan mulai memahami mengapa seluruh aspek masyarakat, konflik stratifikasi, dan lain – lainya, di bangun dari ritual interaksi kehidupan sehari hari kita.
Randall Collins pernah merencanakan menjadi profesor, namun hingga kini Randall Collins mengajar di berbagai universitas. Randall Collins mencoba menghimpun kajian sosiologi dalam satu bunya, Conflict Sociology (1975) tetapi gagal dan Randall Collins menulis bunya lainya, The Credential Society(1979) untuk menjelaskan kemerosotan sistem status di mana kita semua terperangkap di dalamnya. Untuk membuat kajian sendiri secara serius, Randall Collins meninggalkan dunia akademis dan untuk sementara kehidupannya ditopang oleh hasil menulis novel dan bunya ajar. Akhirnya setelah ditarik oleh beberapa teman, Randall Collins kembali mengajar. Bidang kajiannya sangat luas mulai dari gambar baru sejarah dunia turun ke rincian mikro emosi sosial. Istri ke dua Randall Collins Judith Mcconnell, adalah salah seorang yang paling penting pengaruhya terhadap kehidupannya.
Ia mengorganisir pengacara wanita untuk membongkar rintangan diskriminansi dalam profesi Hukum dan setelah itu Randall Collins belajar darinya mengenai politik di belakang layar pengadilan tinggi. Dalam sosiologi dan dalam masyarakat makin banyak yang harus di kerjakan.
B. Pandangan Awal Collins dan Pengaruh dari Sosiolog Sebelumnya
Dalam conflict sociology, Collins menyatakan bahwa tradisi konflik dimulai dari machievelli, Thomas Hobbes, Max Weber, dan Karl Marx. Baik Machievelli dan Thomas Hobbes mereka berinisiatif pada pendirian dasar realism sinis tentan kehidupan masyarakat. Menurut keduanya, keteraturan sosial ditemukan pada paksaan yang terorganisasi. Ada dunia ideologi dari kepercayaan (agama dan hukum) dan dunia perjuangan yang digarisbawahi melebihi kekuasaan. Gagasan-gagasan dan moral tidak lebih dahulu dari interaksi, tetapi secara sosial terbentuk dan melayani kepentingan kelompok untuk konflik.
Sementara itu Teori Konflik yang mengikuti pandangan Marx, konflik bukan semata-mata sebagai satu cara analisa sosiologi tetapi merupakan satu cara reformasi sosial. Bagaimana ketegangan yang berpuncak daripada ketidaksamaan memberi kesan kepada kestabilan dan perubahan. Teori ini akan mengkaji bagaimana hubungan antara konflik dan perubahan. Ketegangan dan konflik akan berimbas pada perubahan sosial. Perubahan bisa berbentuk revolusi atau adaptasi. Collins meringkaskan pemikiran dari Marx sebagai berikut :
1. Secara historis, bentuk khusus kepemilikan (perbudakan, pemilikan feodal, modal) dibenarkan oleh kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Karenanya, kelas-kelas dibentuk oleh pembagian kepemilikan yang merupakan agen yang berlawanan dalam perjuangan untuk kekuasaan politik menyokong alat-alat mata pencaharian hidup mereka.
2. Sumbangan material menentukan perkembangan di mana kelas sosial dapat mengaturnya secara efektif untuk bertarung demi kepentingan mereka; seperti kondisi mobilisasi yang menjadi kerangka variabel yang menentukan antara kelas dan kekuasaan politik.
3. Kondisi material yang lain (alat produksi mental) menentukan di mana kepentingan-kepentingan akan dapat mengartikulasikan ide-ide mereka, sehingga bisa mendominasi dunia ideologis.
Sementara itu, Max Weber berpengaruh sangat kuat pada gagasan Collins sehingga bisa dikatakan bahwa itu menjadi inti teori konflik Collins pada Weber. Tetapi hal itu kemudian ditambahkan dengan analisis Durkheim tentang ritual, dramaturgi Erving Goffman, anailisis percakapan dalam etnometodologi, dan perspektif teoritis mikro yang lain.
Max Weber merupakan seorang rakyat Jerman. Beliau adalah sosiologis, ekonomi, sejarawan, ahli hukum, ahli falsafah. Dipengaruhi oleh Karl Marx tetapi menolak konsep Marx. Contohnya menolak konsep materialisme sejarah Marx. Menganggap agama penting sebagai agen perubahan. Tidak setuju dengan revolusi dan mengkritik sosialisme. Proses rasionalisasi dunia modern barat berkembang berdasarkan rasionalisasi. Dunia lain terhambat perkembangannya karena berbenturan dengan kekuasaan. Beliau mempersoalkan gagasan Marx yang mengatakan ciri-ciri semua institusi sosial berpusat pada faktor ekonomi. Mengalihkan bahwa perubahan sosial bukanlah karena konflik kelas akan tetapi datang dari berbagai faktor lain. Menurut pandangan teori ini masyarakat berada dalam keadaan berubah-ubah, berkonflik dan senantiasa ingin memperjuangkan kepentingan masing-masing. Kumpulan yang kuat atau lebih berkuasa boleh memaksa kumpulan yang lemah untuk menerima nilai-nilainya. Mengikuti teori ini terdapat tiga perkara penting yang berlaku dalam masyarakat yaitu konflik, perubahan dan paksaan. Max Weber menambah kompleksitas pendekatan Marx dan sangat mempengaruhi Collins, sebagai berikut :
1. Weber menunjukkan kondisi yang termasuk mobilisasi dan produksi mental yang secara analitis berbeda dengan kepemilikan.
2. Weber mengoreksi dasar-dasar konflik dan menambahkan seperangkat penting lain dari sumber daya (resource)
3. Weber menunjukkan beberapa bentuk yang berbeda dari konflik kepemilikan yang berdampingan dalam masyarakat yang sama
4. Weber menunjukkan keberadaan pembagian kelas yang beragam
5. Weber menguraikan prinsip-prinsip interkomunikasi organisasional dan kontrol hak-hak mereka. Dengan cara demikian hal itu menambahkan sebuah teori organisasi dan wilayah lain dari konflik kepentingan. Collins menyatakan bahwa Weber memulai teori tentang bentuk organisasi (ideak secara tipikal, birokratif, dan patrimonial) sebagai komponen-komponen dari struktur dominasi dalam beberapa negara, ekonomi, dan Gereja.
6. Weber menekankan bahwa paksaan kekerasan yang dilakukan negara selalu bermula dari ekonomi, dan kemudian mentransfer pusat perhatian pada kontrol alat-alat material kekerasan.
Sementara itu mengikut George Simmel, konflik ialah sesuatu yang semula jadi dalam sesuatu masyarakat. Lewis Coser pula mengatakan bahwa sesuatu konflik itu bisa mempercepat proses ketertiban dan keharmonisan di dalam sesuatu kelompok sosial.
Brinkerhaff and White (1989) merumuskan 3 analogi penting dalam teori konflik :
1. Konsep dialektik- evolusi bukan proses utama pada perubahan sosial tetapi konflik yang menghasilkan perubahan sosial.
2. Determinisme ekonomi - asas pada perubahan sosial ditentukan oleh faktor-faktor persaingan ekonomi.
3. Aktivitas sosial -tugas utama analisis sosial adalah kritikan sosial.
C. Teori Sosiologi dalam Pandangan Randall Colinns
Jika Anda berpikir bahwa teori sosiologis membosankan dan lamban, pikirkan lagi. Randall Collins menguatkan buku baru akan mengubah pikiran Anda. Situasional dinamika, ditempa dalam wadah interaksi ritual, bentuk pasar kami tidak hanya perilaku dan tradisi ilmiah tetapi juga kami kepuasan seksual, tubuh ingestions dan transaksi pasar berketentuan. Bahkan yang paling pribadi, dan perasaan cepat berlalu dr ingatan setuju untuk analisis sosiologis. Ini adalah perselisihan kunci yang telanjang Collins menyerah pertahanan Durkheim warisan. Pemadam kebakaran, fellatio, ketertiban-memberi dan menerima, merokok, dan kode jalanan - semua (dan banyak lagi) termasuk dalam lingkup buku ini. Emosi antusiasme, kemarahan, kegembiraan, jijik, malu, cinta dan kekecewaan kesibukan di tengahnya. Minggir, Bruno Latour. Interaksi Ritual Chains adalah yang paling ambisius, paling menyesal, argumen belum dibuat untuk program konstruksionis sosial.
Bagian I delineates teori Collins. "Strategi analitis saya," katanya, "adalah mulai dengan dinamika situasi; dari ini kita dapat memperoleh hampir segala sesuatu yang kita ingin tahu tentang individu, sebagai presipitat bergerak melintasi situasi" . Lokal, situasional pertemuan telah jelas prioritas karena mereka adalah pondasi dari kehidupan sosial dan pengalaman manusia. Semuanya tergantung pada mereka .
Makro-struktur concatenations episode di sini dan sekarang, sirkuit yang menghubungkan orang-orang dan jaringan bergabung oleh simbol-simbol umum. Tidak baik memohon "budaya" sebagai sumber perilaku; budaya secara umum tidak apa-apa. Untuk menjelaskan bagaimana struktur makro benar-benar bekerja, sosiolog harus menentukan secara rinci mekanisme lokal yang membentuk mereka (lihat ayat berikutnya). Bagian II menerapkan teori untuk berbagai macam situasi: heteroseksual dan homoseksual erotics; stratifikasi pertemuan hormat, takut, status dan rasa hormat; merokok ritual dan gerakan anti-merokok. Contoh-contoh yang begitu kaya sehingga mereka menentang mengikhtisarkan. Tapi penekanan mereka jatuh pada asimetris bersisi banyak hubungan sosial. Power dan rasa hormat ritual, misalnya, sangat spesifik. Biasanya para pelayan di sebuah restoran mewah, bukan pelanggan, yang merupakan kingpin. Kekayaan Anda berarti kecil jika anda terjadi untuk berbagi kereta dengan sekelompok rowdies atau jika, sebagai pejalan kaki putih, Anda menemukan diri Anda tiba-tiba dihadapkan dengan jalan hitam kode. Sama, norma-norma modern informal (dari pakaian dan alamat), menghapus tanda-tanda sebelumnya kategoris hormat. Di tempat mereka, mereka mendirikan lebih demokratis - meski masih sangat bergaya - ritual yang sejuk.
Membangun konsep Durkheim suci, di sosiologi Goffinan face-to-face pertemuan, dan studi kontemporer emosi oleh Jack Katz dan Thomas Scheff, Collins berpendapat bahwa mekanisme yang menghasilkan "masyarakat" adalah tidak lain dari ritual interaksi . Empat bahan dasar menentukan mereka; semua yang diperlukan untuk mencapainya. Yang pertama adalah dua orang atau lebih dalam kehadiran rekan: tubuh berkumpul dan, melalui umpan neurologis loop, mampu untuk mengisi situasi dengan semangat dan signifikansi. Kedua, IR memerlukan batas yang demarcates orang dalam dari luar, pinjaman peserta rasa istimewa inklusif. Fitur ketiga interaksi ritual adalah bahwa semua pihak dalam pertemuan "memusatkan perhatian pada objek yang umum atau kegiatan, dan fokus ini dengan berkomunikasi satu sama lain menjadi saling menyadari satu sama lain fokus perhatian" . Akhirnya (walau tidak cukup jelas mengapa hal ini merupakan bahan bukan hasil), interaksi ritual mensyaratkan bahwa peserta berbagi "suasana hati yang umum atau pengalaman emosional". Dimana sukses menggabungkan unsur-unsur ini, empat hasil yang jelas:
1. Individu merasa solidaritas dengan satu sama lain, mereka membayangkan diri untuk menjadi anggota dari usaha umum.
2. Mereka diresapi dengan energi emosional, suatu perasaan kegembiraan, prestasi dan antusiasme yang mendorong inisiatif.
3. Interaksi ritual keanggotaan menghasilkan simbol kolektif. "Lensa lewat mana kita lihat," yang "sangat struktur kesadaran", simbol repositori moral dari kelompok dan, karenanya, adalah suci ditugaskan kualitas yang harus dipertahankan dan diperkuat.
4. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap simbol-simbol ini memancing kemarahan terhadap orang-orang benar, dan sanksi terhadap, orang-orang bersalah melakukan pelanggaran.
Interaksi ritual singkatnya, adalah hal yang menyatukan masyarakat bersama-sama dalam imbricated "kantong-kantong solidaritas". Ini adalah hal yang memberikan identitas individu dan tujuan. Dan itu juga adalah hal yang menjelaskan kelesuan dan konflik sosial. The enervated individu adalah seseorang di pinggiran sebuah jaringan dengung. Dan tanpa interaksi ritual (misalnya pertemuan serikat buruh, demonstrasi, masyarakat rahasia sumpah kesetiaan) orang-orang tidak dapat disiapkan untuk aktivitas, sumber daya tidak dapat terkoordinasi marshalled atau perselisihan. Melalui interaksi ritual bahwa tindakan manusia menjadi sadar, selaras dan disinkronkan dalam irama suara, penglihatan dan gerakan.
Pertimbangkan olahraga kompetitif sebagai ritual "dibuat-buat untuk menghasilkan ketegangan situasi dramatis dan kemenangan". Meskipun liputan televisi dari hoki, sepak bola, bisbol dan permainan lainnya, sesuai dengan kehadiran pada umumnya tidak menurun selama bertahun-tahun. Orang masih lebih suka berada di "permainan besar". Pemain berada di dekat kontak tubuh; tim dan emblem (pakaian, bendera, lagu, maskot) menggambarkan status insider; perhatian difokuskan pada permainan; suasana adalah salah satu tekad untuk menang. Dan berpartisipasi dalam ritual adalah penonton yang, erat rapat, mengambil partisan berdiri untuk "mereka" tim, berkonsentrasi pada tindakan, dan bersorak di pihak mereka. Keluar dari kerumunan ini muncul solidaritas, kegembiraan (atau deflasi jika tim kalah), benda-benda suci (pemain bintang), dan kemarahan terhadap menipu, buruk sportif dan sebagainya. Kedua pemain dan penonton (orde kedua peserta) memperkuat satu sama lain energi. Tanpa penonton, bermain akan menjadi sia-sia; tanpa pemain, itu akan menjadi mustahil. Kesenangan berasal dari interaksi di antara para pemain dan penonton. Fakta bahwa banyak orang lebih suka menonton pertandingan televisi di bar, dibatasi-dalam dengan penggemar animasi lain, adalah indikasi tambahan bahwa antusiasme dihasilkan merupakan fenomena sosial.
Akhirnya, pertimbangkan bercinta sebagai ritual interaksi, dimodelkan pada Gambar 6.1 pada halaman 231. Seksual dan terkait tindakan - fellatio, cunnilingus, penetrasi oleh lidah, lingga, jari-jari dan tangannya - adalah yang paling dekat co-kehadiran jasmani dan koordinasi yang dapat kita bayangkan. Fokusnya adalah pada rangsangan, suasana yang dihasilkan adalah kenikmatan seksual yang membangun hingga puncak selama interaksi: kegembiraan menjadi "lebih kuat ketika ada berirama entrainment: salah satu peserta meningkat irama tubuh mereka seperti yang terperangkap dalam orang lain irama "(hal. 233). Biasanya, satuan interaksi adalah pasangan (pesta pora sama-sama langka dan beroperasi di bawah prinsip-prinsip ritual yang berbeda). Cinta membuat biasanya terjadi secara pribadi, dengan demikian mempertinggi rasa yang khusus, kualitas dibatasi. Dan karena interaksi seksual meningkat lampiran, perselingkuhan perasaan kuat mendorong kemarahan dan pengkhianatan:
D. Pemilihan pada Teori Konflik yang Mikro-Integratif
Pemikiran tentang fungsi konflik sosial yang berasal dari Georg Simmel, tetapi diperluas oleh Coser menyatakan bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi, atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi. Kepaduan masyarakat Yahudi Israel, setidaknya sebagian, ikut berperan dalam berlarut-larutnya konflik dengan bangsa Arab di Timur Tengah. Kemungkinan berakhirnya konflik justru dapat memperburuk ketegangan mendasar di dalam masyarakat Israel. Konflik sebagai agen untuk mempersatukan masyarakat adalah sebuah pemikiran yang sejak lama diakui oleh tukang propaganda yang dapat menciptakan musuh yang sebenarnya tidak ada, atau mencoba menghembus antagonisme terhadap lawan yang tidak aktif.
Konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain. Dalam satu masyarakat, konflik dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi. Konflik juga membantu fungsi komunikasi. Sebelum konflik, kelompok-kelompok mungkin tidak percaya terhadap posisi musuh mereka, tetapi akibat konflik, posisi dan batas antarkelompok ini sering menjadi diperjelas. Karena itu individu bertambah mampu memutuskan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam hubungannya dengan musuh mereka. Konflik juga memungkinkan pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif mereka dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling berdamai.
Akan tetapi, berbeda dengan teoritisi lain, yang mengawali dan berkutat pada level masyarakat, Collins mendekati konflik dari sudut pandang individu, karena akar-akar teoritisnya terletak pada fenomenologi dan etnometodologi. Kendati ia memilih teori pada level individu dan level mikro, Collins sadar bahwa analisis sosiologi tidak akan berhasil kalau hanya pada tingkatan mikro saja tanpa ada analisis kemasyarakatan yang lebih makro. Hanya saja kalau para teoretisi konflik percaya bahwa struktur sosial bersifat eksternal dan memaksa aktor , Collins justru melihat struktur sosial sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari aktor yang mengonstruksinya dan yang pola –pola interaksinya menjadi unsur dasar. Collins cenderung lebih melihat struktur sosial sebagai pola interaksi ketimbang sebagai entitas eksternal dan koersif. Selain itu,kalau sebagian besar teoretisi konflik melihat aktor dikekang oleh kekuatan eksternal, Collins melihat aktor terus-menerus menciptakan dan menciptakan kembali organisasi sosial.
Collins melihat teori Marxian sebagai sebagai “pijakan awal” bagi teori konflik, namun menurut pandangannya,teori ini sarat dengan masalah. Salah satu sebabnya adalah karena ia melihatnya (seperti fungsionalisme struktural) sangat ideologis dan ciri inilah yang ingin ia hindari. Sementara sebab yang lain adalah karena ia cenderung melihat orientasi Marx dapat direduksi menjadi analisis ranah ekonomi, meskipun ini adalah kritik yang lemah terhadap teori Marx. Sebenarnya, meskipun Collins sering kali mengutip Marx, teori konfliknya tidak terlalu dipengaruhi oleh Marx-ian. Ia lebih dipengaruhi Weber, Durkheim, dan terutama oleh fenomenologi dan etnometodologi.
E. Konfrontasi Kekerasan Mikro-Sosiologi
Ada banyak berbagai jenis kekerasan. Kekerasan yang bersifat singkat dan episodik, sebagai bentuk perang. Dapat membuat bergairah dan marah hingga bertengkar; atau berperasaan dan impersonal sebagai birokrasi administrasi. Hal ini menyenangkan seperti mabuk-mabukan, takut sebagai tentara dalam pertempuran, keji sebagai penyiksa. Hal ini dapat sembunyi-sembunyi dan tersembunyi sebagai pemerkosaan-pembunuhan, atau publik sebagai pelaksanaan ritual.
Hal ini dapat kita temui pada tampilan publik dalam bentuk olahraga kontes, ketegangan plot drama, yang tindakan-tindakan petualangan, pokok dari edisi berita. Ini mengerikan dan heroik, menjijikkan dan menyenangkan, yang paling mengutuk dan dimuliakan tindakan manusia. Hal yang luas ini dapat dijelaskan dengan teori yang relatif kompak. Beberapa proses utama, dalam kombinasi dan dalam derajat intensitas yang berbeda-beda, berikan kondisi untuk kapan dan bagaimana berbagai bentuk kekerasan terjadi. Dua hal itu bergerak akan mengatur analisis. Pertama, meletakkan interaksi di pusat analisis, bukan individu, latar belakang sosial, yang akan muncul mendatang, atau bahkan motivasi: maksudnya, mencari karakteristik situasi kekerasan. Itu berarti mencari data yang akan kita sedekat mungkin ke dalam dinamika situasi. Kedua, membandingkan yang berbeda jenis kekerasan. Kita perlu untuk memecah kategori biasa-homi dalam satu penelitian khusus, perang yang lain, kekerasan terhadap anak lain, kekerasan polisi namun di tempat lain-dan mencari situasi yang terjadi dalam diri mereka.
Bukan berarti semua situasi sama, kita ingin membandingkan kisaran variasi dalam situasi, yang mempengaruhi jenis dan jumlah kekerasan yang muncul. Hal ini akan mengubah berbagai kekerasan menjadi metodologis keuntungan, memberikan petunjuk untuk keadaan yang menjelaskan kapan dan dengan cara apa kekerasan terungkap.
Arena Konflik: Tiga Ruang Kekuasaan
Konflik sosial bisa berlangsung pada aras antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor swasta”
. Konflik sosial bisa berlangsung di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan. Selanjutnya Gambar 1 berikut dapat diamati sebagai berikut.
Gambar 1. Tiga Ruang dimana Konflik Sosial Dapat Berlangsung (diadopsi dengan modifikasi dari Bebbington, 1997)
Dengan mengikuti model konflik sosial berperspektifkan ruang-kekuasaan dari Bebbington (1997) sebagaimana skemanya tergambar pada Gambar 1 di atas, maka konflik sosial antar “pemangku kekuasaan” dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum. Perlawanan asosiasi pedagang kaki-lima di Jakarta melawan penggusuran oleh Pemerintah DKI Jaya adalah contoh klasik yang terus kontemporer.
2. Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah “perseteruan berdarah” yang terus berlangsung (bahkan hingga kini) antara komunitas lokal melawan perusahaan pertambangan multi-nasional di Papua. Kasus serupa juga ditemui dalam “Tragedi Pencemaran Teluk Buyat” yang memperhadapkan warga lokal yang menderita kesakitan akibat pencemaran air terus-menerus dari limbah tailing aktivitas penambangan emas oleh perusahaan swasta asing di Sulawesi Utara di awal dekade 2000an.
3. Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan negara dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh Pemerintah/Negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan.
Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak merepresentasikan struktur sosial dengan atribut/identitas sosial yang homogen. Di ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat latent (terselubung-terpendam) maupun manifest (mewujud-nyata). Dalam hal ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung dalam praktek manajemen pemerintahan akibat olah-kewenangan dalam pengendalian pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara pemerintah kabupaten, provinsial, dan pusat. Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenanangan” tersebut mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi berlangsung penuh sejak Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dilanjutkan dengan UU No. 32/2004 sebagai konsekuensi OTDA. Konflik antar pemerintah. Konflik sosial horisontal, juga berlangsung antar departemen sektoral di pemerintahan pusat, ataupun antara satu pemerintah kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah kabupaten lain dalam suatu kebijaksanaan tertentu.
Di ruang kekuasaan masyarakat sipil atau kolektivitas sosial, berlangsung konflik sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama kolektivitas sosial dalam mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara pandang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi yang dianut oleh masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat berubah menjadi konflik sosial yang nyata. Beberapa contoh aras konflik ini bisa disebutkan antara lain adalah, tawuran antar warga yang dipicu oleh hal-hal yang dalam “kehidupan normal” dianggap sederhana (sepele), seperti masalah batas wilayah administratif (desa atau kabupaten) yang hendak dimekarkan sebagai konsekuensi OTDA. Sementara itu, di ruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan perbedaan identitas sosial komunal (ethno-communal conflict) seperti ras, etnisitas dan religiositas. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut “Ahmadyah” versus “non-Ahmadyah”) juga terjadi secara dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia. Konflik sosial yang berlangsung di ruang masyarakat sipil menghasilkan dampak yang paling “beraneka warna” (karena diverse-nya persoalan yang dijadikan obyek konflik) dan berlangsung cukup memprihatinkan (berujung pada kematian, cedera, dan kerusakan).
Sementara itu di ruang kekuasaan swasta, konflik sosial lebih banyak terjadi oleh karena persaingan usaha yang makin ketat. Kendati demikian, konflik sosial juga bisa dipicu oleh karena kesalahan Negara dalam mengambil kebijakan dalam “pemihakan” kepada kaum lemah. Misalnya, konflik sosial para pedagang UKM (Usaha Kecil Menengah) melawan perusahaan retail swasta multinasional yang merasuki kawasan-kawasan yang sesungguhnya bukan “lahan bermain” mereka. Selain itu, konflik-konflik berdarah yang berlangsung antara nelayan trawl (pukat harimau) bermodal kuat melawan nelayan atau koperasi nelayan kecil (bermodal lemah) di berbagai daerah, adalah salah satu contoh klasik konflik di ruang ini.
Kedalaman dan Skala Konflik
Sebagai bagian dari proses-proses sosial, dalam banyak kasus dijumpai bahwa konflik sosial tidak berlangsung secara serta-merta. Meski tipe konflik sosial yang bersifat “spontaneous conflict” tetap ada (misalnya tawuran para pendukung kesebalasan sepakbola yang sedang bertanding), namun jenis konflik yang “serta-merta” tersebut biasanya lebih mudah dikendalikan dan segera diredam, daripada yang bersifat konstruktif dan organized.
Dalam hal dijumpai kasus-kasus konflik sosial yang bertipe “constructive social conflict”, ada sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat berlangsung, antara lain:
1. Ada isu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly problematized) dari para pihak berbeda kepentingan,
2. Ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut-paut dengan sebuah obyek-perhatian para pihak bertikai,
3. Gunjingan/gossip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju wujud riil di dunia nyata,
4. Ada kompetisi dan ketegangan psiko-sosial yang terus dipelihara oleh kelompok-kelompok berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut. Pada derajat yang paling dalam, segala prasayarat terjadinya konflik akan memicu
5. Masa kematangan untuk perpecahan
clash yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan kekacauan). Konflik sosial bisa berakibat sangat luas dan berlangsung dalam jangka waktu lama, bila semua tahapan tersebut diorganisasikan dengan baik (organized social conflict) seperti yang terjadi antara Republik Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beberapa waktu lalu. Sementara itu, dampak konflik dapat cepat ditekan perluasannya, jika sifatnya tidak terorganisasikan dengan baik (unorganized social conflict).
Jikalau dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang diberikan para pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan berkonflik, maka konflik sosial dapat berlangsung dalam beberapa variasi tipe/bentuk, yaitu:
1. Gerakan sosial damai (peaceful collective action) yang berlangsung berupa aksi penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: “aksi korektif”, “mogok kerja”, “mogok makan”, dan “aksi-diam”. Dalam hal tidak ditemukan resolusi konflik yang memuaskan, maka aksi damai dapat dimungkinkan berkembang menjadi “aksi membuat gangguan umum” (strikes and civil disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara.
2. Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings) adalah kegiatan yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas suatu isu tertentu. Derajat tekanan konflik kurang-lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif seperti ini biasanya diambil sebagai protes yang reaksioner yang dilakukan secara berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atas suatu masalah tertentu. Biasanya skala bersifat lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup kemungkinan dapat meluas).
3. Kerusuhan dan huru-hara (riots), adalah peningkatan derajat keberingasan (degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung sebagai reaksi massal atas suatu keresahan umum. Oleh karena disertai dengan histeria massa, maka huru-hara seringkali tidak bisa dikendalikan dengan mudah tanpa memakan korban luka (bahkan kematian).
4. Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan dengan baik. Pemberontakan bisa menyangkut perjuangan atas suatu kedaulatan atau mempertahankan “kawasan” termasuk eksistensi ideologi tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest, melainkan bisa diawali “di bawah tanah” sehingga tampak latent sifatnya.
5. Aksi radikalisme-revolusioner (revolutions) adalah gerakan penentangan yang menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu.
6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat dunia karena dampaknya yang sangat luas terhadap kemanusiaan.
Konflik Komunal: Livelihood and Identity Struggle
Konflik sosial yang berlangsung antar kelompok (inter-group social conflict) di ruang masyarakat sipil dapat menyangkut krisis pluralitas-sosio-budaya dan bernuansa identitas sosial. Dalam konflik bernuansa etno-komunal, sangat tampak nyata adanya para pihak yang membawa atribut identitas ideologi, identitas antar-keagamaan, identitas kelompok atau juga perbedaan mazhab pada agama yang sama (konflik sektarian), serta perbedaan asal-usul atau keturunan sebagai pembeda utama kelompok yang saling menggugat, pelancaran klaim, atas persoalan yang disengketakan.
Meskipun akar-konflik yang bertanggung jawab atas terjadinya konflik sosial komunal di Indonesia sangatlah berbeda-beda, namun ada beberapa hal yang membuatnya sama yaitu adanya radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi komunalisme serta dianutnya bounded rationality6 yang memicu “kesadaran kelas” (class consciousness ala Marx) dalam kelompok-kelompok yang bertikai. Hal-hal tersebut tidak bisa dielakkan ikut bertanggung jawab dan memperkuat dorongan kepada setiap warga untuk saling bersengketa dengan warga dari kelompok lainnya dan jika mungkin saling meniadakan (eliminating strategy). Pemahaman konflik sosial seperti ini dianut oleh para ahli sosiologi yang mendasarkan analisisnya pada perbedaan basis sosio-kultural (perspektif kulturalisme) yang dianut masyarakat.
Disadari ataukah tidak disadari, konflik sosial komunal di ruang sipil, seringkali ditemukan benang-merah akar penyebabnya tersimpan mendalam (deeply rooted) pada persoalan livelihood distress. Persoalan kemiskinan dan keterdesakan ekonomi bercampur-baur dengan perasaan ketidakpastian kehidupan (survival insecurity) akibat datangnya kompetitor dari sekelompok warga atau masyarakat (biasanya dengan identitas tertentu), menyebabkan eskalasi dan intensitas konflik sangat mudah memuncak.
Dalam tataran konflik antar kelompok ini, kepentingan individual dalam kelompok seringkali juga diabaikan, karena telah diwakili oleh kepentingan kelompok (individu mengalami gejala sosial yang dikenal sebagai over socialized processes dimana tujuan dan kepentingan kolektif menjadi segala-galanya). Artinya, persaingan antar individu pada suatu kelompok melawan kepentingan individu pada kelompok yang berbeda menjadi bagian integral konflik sosial antar kelompok. Dengan kata lain konflik sosial selalu melibatkan perselisihan antar kelompok (partai/pihak) dimana individu di dalamnya menjadi konstituen pendukung perjuangan kelompoknya masing-masing. Demkianlah sehingga pada banyak kasus, konflik kelompok (group conflict) dipakai untuk menunjuk pengertian konflik sosial (social conflict).
Konflik sosial semacam ini memang dapat dipahami melalui perspektif materalisme, dimana basis material (sustenance needs security atau masalah livelihood/nafkah) bagi kehidupan sekelompok warga sebagai akar konflik sosial yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ketidaksiapan sekelompok orang untuk hidup dalam suasana kehidupan yang saling-berkoeksistensi di suatu kawasan, juga merupakan penjelasan tersendiri munculnya konflik horisontal-komunal ini. Dengan asumsi “social-economic stress”, maka konflik sosial menuntut penyelesaian di wilayah materialisme secara konstruktif.
Bingkai Konflik Sosial
Coser (1967) sebagaimana dikutip Oberschall (1978) mendefinisikan konflik sosial sebagai berikut: “social conflict is a struggle over values or claims to status, power, and scarce resources, in which the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise, injure, or eliminate rivals”. Dengan mengacu pada pengertian konseptual tentang konflik sosial tersebut, maka proses konflik sosial akan meliputi spektrum yang lebar. Isyu-isyu kritikal yang membingkai konflik sosial yang seringkali dijumpai dalam sistem sosial (di segala tataran) adalah:
1. Konflik antar kelas sosial (social class conflict) sebagaimana terjadi antara “kelas buruh” melawan “kelas majikan” dalam konflik hubungan-industrial, atau “kelas tuan tanah” melawan “kelas buruh-tani” dalam konflik agraria.
2. Modes of production conflict (konflik moda produksi dalam perekonomian) yang berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodlkan (cara-produksi) ekonomi peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsisten-sederhana) melawan para pelaku ekonomi bersendikan moral-ekonomi akumulasi profit dan eksploitatif.
3. Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah konflik sosial yang berpusat pada isu “claim dan reclaiming” penguasaan sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam banyak hal, konflik sumberdaya alam berimpitan dengan konflik agraria, dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak penguasaan tanah yang diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau kelompok sosial lain.
4. Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna kulit dan atribut sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak yang berselisih.
5. Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena masing-masing pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada ajaran masing-masing agama yang dipeluk mereka.
6. Konflik sektarian (sectarian conflict), adalah konflik yang dipicu oleh perbedaan pandangan atau ideologi yang dianut antar pihak. Konflik akan makin mempertajam perbedaan pandangan antar mazhab (seringkali pada ideologi yang sama).
7. Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika olah-kekuasaan (power exercise).
8. Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut pandangan berbeda dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak mengusung kepentingan-kepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran sosial) yang berbeda dan saling berbenturan antara dua kelompok penyokong yang saling berseberangan.
9. Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan berbagai faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan faktor sumberdaya kehidupan (sources of sustenance). Konflik komunal seringkali bisa berkembang menjadi konflik teritorial jika setiap identitas kelompok melekat juga identitas kawasan.
10. Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang dilancarkan oleh komunitas atau masyarakat lokal untuk mempertahankan kawasan tempat mereka membina kehidupan selama ini. Konflik teritorial seringkali dijumpai di kawasan-kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan dan identitas sosio-budayanya manakala penguasa HPH menghabisi pepohonan dan hutan dimana mereka selama ini bernaung dan membina kehidupan sosial-budaya dan sosio-kemasyarakatan.
11. Inter-state conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua negara dengan kepentingan, ideologi dan sistem ekonomi yang berbeda dan berbenturan kepentingan dengan pihak lain negara.
12. Dalam kecenderungan global, inter-state conflict bisa berkembang menjadi regional conflict sebagaimana terjadi pada era “perang dingin” (Blok Uni Soviet vs Blok USA), atau peperangan di Balkan pada akhir dekade 1990an, dimana USA dan NATO menghabisi Serbia.
Situasi Kekerasan
Bukan kekerasan individu, tetapi situasi kekerasan-ini adalah apa yang mikro-sosial teori logis jelaskan. Randall Collins mencari kontur situasi, yang membentuk emosi dan tindakan individu-individu yang berada di dalamnya. Ini palsu yang mengarah untuk mencari jenis kekerasan individu, konstan di seluruh situasi. Sejumlah besar penelitian belum memberikan hasil yang sangat kuat di sini. Laki-laki muda yang paling mungkin menjadi pelaku dari berbagai jenis kekerasan. Tetapi tidak semua kekerasan dilakukan oleh laki-laki muda. Dan laki-laki setengah baya, anak-anak, dan kekerasan perempuan juga, dalam situasi yang sesuai.
Demikian pula dengan punggung tanah variabel seperti kemiskinan, ras, dan asal-usul dalam perceraian atau satu - keluarga orang tua. Meskipun ada beberapa statistik korelasi antara variabel tersebut dan beberapa jenis kekerasan, ini gagal meramalkan paling kekerasan dalam setidaknya tiga aspek: Pertama, kebanyakan anak muda, orang miskin, orang kulit hitam, atau anak-anak di jalanan tidak menjadi pembunuh, pemerkosa, batterers, atau perampok bersenjata dan ada sejumlah orang kaya, orang kulit putih, atau produk dari keluarga yang konvensional. Demikian pula, banyak yang menegaskan penjelasan bahwa pelaku kekerasan biasanya lalu korban pelecehan anak hanya terjadi pada sebagian kecil kasus. Kedua analisis seperti itu masuk akal dalam menyampaikan gambaran tentang etiologi kekerasan hanya karena membatasi variabel dependen peduli terhadap gories ilegal atau mempunyai stigma kekerasan; itu tidak tahan dengan baik ketika kami memperluas ke semua jenis kekerasan. Kemiskinan, ketegangan keluarga, anak penyalahgunaan, dan sejenisnya tidak memperhitungkan kekerasan polisi atau tentara yang melakukan hal yang paling membunuh dalam pertempuran, untuk yang menjalankan kamar gas atau komit pembersihan etnis. Tidak seorang pun telah menunjukkan bahwa menjadi disalahgunakan sebagai anak mungkin untuk membuat seseorang koboi polisi, yang mabuk-mabukan mabuk, atau perang dihiasi pahlawan.
Tidak diragukan lagi ada pembaca yang akan kekang atas saran; untuk mereka, kekerasan secara alami jatuh ke bagian tertutup rapat, dan "buruk" kondisi sosial harus bertanggung jawab untuk "buruk" kekerasan, sedangkan "Baik" kekerasan-yang tidak dilihat sebagai kekerasan sama sekali, ketika dibawa oleh agen-negara yang berwenang tidak dikenakan analisis karena merupakan bagian tatanan sosial normal. Dalam cara berpikir ini, ada perantara kategori berbahaya atau kekerasan "nakal" (misalnya, mabuk-mabukan yang keluar tangan), atau kekerasan yang dilakukan oleh orang baik; ini mantan plained, atau dijelaskan, dengan satu set kategori moral. Seperti distinctions adalah contoh yang baik konvensional dalam kategori sosial cara analisis sosiologis. Jika kita dalam pada situasi interaksi-pacar yang marah ,dengan tangisan bayi, perampok bersenjata, pemicu pada korban perampokan, polisi memukuli tersangka-kita dapat melihat pola konfrontasi, ketegangan, dan aliran emosional, yang pada situasi di mana kekerasan itu dilakukan.
Ini adalah satu lagi cara untuk melihat bahwa kondisi-kondisi latar belakang kemiskinan, ras, masa kanak-kanak pengalaman-pun masih jauh dari apa yang penting bagi dinamika situasi kekerasan. Bahkan orang-orang yang melakukan kekerasan, adalah kekerasan hanya sebagian kecil waktu. Pertimbangkan apa yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa seseorang kekerasan, atau "sangat keras." Kami ada dalam pikiran seseorang yang adalah seorang pembunuh, atau telah melakukan serangkaian pembunuhan; yang telah di banyak perkelahian, disayat orang dengan pisau, atau usang mereka dengan kepalan tangan.
Tetapi jika kita pertimbangkan kehidupan sehari-hari yang terungkap dalam rantai situasi, menit demi menit, sebagian besar dari waktu ada sangat sedikit kekerasan. Ini terlihat dari etnografi pengamatan, bahkan di lingkungan statistik sangat kasar. Sebuah pembunuhan sepuluh tingkat kematian per 100.000 orang (suku bunga di Amerika Serikat pada tahun 1990) adalah tingkat yang cukup tinggi, namun itu berarti 99.990 dari 100.000 orang tidak mendapatkan dibunuh dalam setahun; dan 97.000 dari mereka (sekali lagi, mengambil tingkat puncak) tidak diserang bahkan dalam insiden kecil. Dan kekerasan ini insiden tersebar lebih dari setahun, kemungkinan pembunuhan atau penyerangan terjadi pada orang tertentu pada saat tertentu pada suatu hari selama tahun itu sangat kecil. Hal ini berlaku bahkan kepada orang-orang yang benar-benar melakukan melakukan satu atau lebih pembunuhan, penyerangan, perampokan bersenjata, atau perkosaan (atau dalam hal ini, polisi yang memukuli tersangka) selama tahun.
Bahkan orang-orang yang secara statistik banyak melakukan kejahatan hampir tidak melakukannya dengan kecepatan lebih dari sekali seminggu atau lebih; yang paling terkenal pembantaian di sekolah-sekolah, tempat kerja, atau di tempat umum, dilakukan oleh satu-satunya individu, telah membunuh sebanyak dua puluh lima orang, tetapi umumnya dalam satu episode (Hickey 2002; Newman et al. 2004). Paling kekerasan yang berkelanjutan orang adalah pembunuh berantai, yang rata-rata antara enam dan tiga belas korban selama periode tahun; tetapi ini sangat jarang terjadi (sekitar satu korban per lima juta penduduk), dan bahkan berulang pembunuh pergi bulan antara pembunuhan, menunggu situasi yang tepat untuk mogok (Hickey 2002: 12-13, 241-42).
Jenis lain dari kelompok kekerasan yang langka, tekanan kejahatan, dapat terus berlaku untuk jangka waktu hari, dalam sebuah rangkaian peristiwa yang terkait erat oleh emosi dan keadaan sehingga terdiri dari lorong kekerasan. Meninggalkan diperluas ini urutan kekerasan selain untuk saat ini, Saya ingin menggarisbawahi kesimpulan: bahkan orang-orang yang kita anggap sebagai sangat kekerasan-karena mereka telah kekerasan di lebih dari satu situasi, atau spektakuler kekerasan pada beberapa kesempatan-melakukan kekerasan hanya dalam sangat khususnya lar situasi. Bahkan penjahat yang paling sulit adalah bertugas beberapa waktu. Sebagian besar waktu, yang paling berbahaya, orang yang paling keras tidak melakukan apa kekerasan. Bahkan bagi orang-orang ini, dinamika situasi yang penting dalam menjelaskan apa sebenarnya kekerasan yang mereka lakukan.
F. Konflik, Stratifikasi Sosial dan Dinamika Sumber Daya
Collins menerangkan kemunculan konflik itu melalui penjelasan mengenai stratifikasi sosial. Ia tidak bermaksud menggambarkan stratifikasi sosial secara detail. Tetapi yang ditekankan bahwa konflik dipolakan oleh struktur stratifikasi dengan intensitas dominasi, dengan sumber-sumber yang mendorong kelompok-kelompok untuk mengorganisasi dan memobilisasi. Dengan penguasaan sumber daya, maka akan dapat dicegah melakukan hal-hal tertentu.
Stratifikasi dipahami sebagai operasi lewat struktur yang menindas yang membatasi akses dan pilihan serta kekuasaan dipahami sebagai kerja yang memaksa lewat kontrol sumber-sumber material dan metode kontrol sosial. Menurut Collins, bentuk utama organisasi sosial adalah stratifikasi sosial yakni jenis dan tingkat ketidakseimbangan antar individu, ketidakseimbangan antar kelompok, dan bentuk dominasi satu kelompok atas kelompok yang lain.
Hasil sebuah konflik kemudian tergantung tidak hanya pada yang memiliki sumber daya (resource) paling banyak pada awal perang, tetapi juga siapa yang dapat melengkapi persediaan-persediaan ini. Suatu kelompok juga menang dengan menggerakkan tingkat solidaritas ritual yang lebih tinggi sejauh dibandingkan dengan musuh-musuh mereka.
Jelas, sebuah kelompok juga akan kalah konflik jika mereka tidak dapat memperbaharui tenaga emosional yang penting. Emotional energy dan semua hal yang bersama dengannya, motivasi, perasaan moralitas, kejengkelan pada tempatnya, keinginan untuk berkorban, identitas kelompok, dan sebagainya menjadi sebuah faktor yang merusak.
Simbol-simbol dan gagasan-gagasan tidaklah bersifat sakral atau moral, tidak pula benar-benar membawa kesakralan atau moral., karena simbol dan gagasan tersebut hanya bertindak secara tepat untuk membangkitkan emosi-emosi ini pada perang. Orang adalah pembawa emotional energy kemudian memperbaharui tindakan dengan penuh semangat dengan kekolektifan masyarakat yang bergabung dengan simbol, moral atau identitas kelompok. Jika ritual-ritual tidak ditampilkan secara terus-menerus, orang menjadi tidak memiliki kemampuan untuk membuat pengorbanan yang penting.
G. Melawan Mitos
Jalur yang paling umum di sekitar konfrontatif ketegangan dan ketakutan adalah sangat pendek, sehingga tidak ada lagi: orang tidak melampaui emosional ketegangan konfrontasi, tapi membatasi diri untuk menggertak, atau untuk menemukan wajah-tabungan atau kadang-kadang cara-cara memalukan mundur. Ketika kekerasan tidak pecah, biasanya tidak kompeten, karena ketegangan dan ketakutan tetap ada. Salah satu alasan bahwa kekerasan nyata terlihat begitu jelek adalah karena kita telah terkena begitu banyak mitos kekerasan. Bahwa kita benar-benar melihat hal itu terungkap di depan mata kita di film dan di televisi membuat kita merasa bahwa ini adalah yang kekerasan seperti nyata. Gaya film kontemporer meraih pemirsa ' perhatian dengan luka berdarah dan brutal agresivitas dapat memberikan banyak orang arti bahwa kekerasan itu adalah hiburan, jika ada, terlalu realistis. Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran.
Konvensi memotret kekerasan hampir selalu merindukan dinamika yang paling penting yaitu kekerasan: yang dimulai dari konfrontatif ketegangan dan ketakutan, bahwa sebagian besar itu marah-marah, dan bahwa keadaan yang memungkinkan ketegangan ini akan berakhir dan mengarah pada kekerasan yang lebih buruk dari pada menghibur. Yang menghibur menurut media bukan satu-satunya sumber yang meresap dari realitas melawan; konvensi verbal menyombongkan diri dan ancaman, dan mengatakan cerita tentang perkelahian yang kita lihat, semua berkontribusi untuk membuat kekerasan. Sebuah mitos konyol yang utama adalah bahwa perkelahian yang menular. Ini adalah pokok lama film komedi dan melodrama.
Satu orang lain dalam ramai bar atau restoran; topples atas pelayan dengan nampan, pelindung yang lain, dan dalam frame berikutnya semua orang memukul semua orang di sekitar mereka. Pertempuran ini semua melawan semua, aku cukup yakin, belum pernah terjadi sebagai masalah serius dalam kehidupan nyata. Respons khas ketika perkelahian meletus pada tempat yang ramai adalah untuk kembali pergi ke tempat yang aman jarak dan menonton. Sopan kelas menengah orang banyak bereaksi dengan lebih enak atau ngeri, menyusut menjauh sejauh mungkin tanpa menunjukkan terang-terangan panik; Dia telah menyaksikan hal ini, misalnya, ketika beberapa tunawisma laki-laki masuk ke sebuah perkelahian di trotoar di luar sebuah teater di pusat kota sementara para penonton berdiri di luar selama istirahat.
Dia melempar ini dengan singkat, diikuti oleh bermusuhan biasa bergumam dan menunjuk; sumur - berpakaian orang-orang kelas menengah terus waspada jarak mereka berbisik resah. Dalam riuh kelas pekerja atau scene anak muda, orang-orang umumnya akan membuat ruang bagi individu untuk melawan; itu kadang-kadang sorak-sorai dan teriakan-teriakan dorongan dari jarak yang aman. Tetapi jika tingkat kemarahan tinggi di antara para pelaku, penonton cenderung mundur vokal serta fisik. Bahkan lebih lagi dengan penduduknya jarang perkelahian di tempat umum: pengamat menjaga jarak. Apa yang tidak melihat adalah suatu penyakit menular berperang, semua orang mulai berkelahi dengan orang lain. Orang tidak pada rambut pemicu agresif ness, siap untuk dibebaskan oleh sedikit katalis.
Bebbington, A., 1997, Modal Sosial Dan Intensifikasi: Organisasi Lokal Dan Regional Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Geographic Journal, Vol. 163/2
George Ritzer & Douglas J., Goodman, 2009, Teori Sosiologi (Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern), Yogyakarta: Kreasi Wacana,
Luckham, R. 1998, “Institusi Demokrasi dan Politik dalam Konteks Ketidaksetaraan, kekerasan, dan Konflik. IDS Working Paper, , No. 104.
Susilo, Rachmad K. Dwi, , 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media