Senin, 19 September 2011

Komunikasi dalam Pemberdayaan Lingkungan


Teologis dan Filosofis: Membangun Spirit Lingkungan
Lingkungan masih menjadi perbincangan menarik sampai saat ini bahkan menjadi lebih penting bila dikaitkan dengan isu-isu bencana yang melanda pada akhir-akhir periode sekarang ini. Bukan hanya karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia, tapi lebih disebabkan semakin meningkatnya permasalahan lingkungan. Mulai bencana alam yang disebabkan faktor lingkungan akibat ulah manusia, hingga perubahan iklim yang tak terkendali.
Peristiwa semacam ini memicu berbagai pihak untuk mencari penyebab dari perilaku manusia yang sudah mulai mengarah ke penghancuran tempat hidupnya sendiri itu. Beberapa pemikir era postmodern mengisyaratkan bahwa kerusakan ekologi adalah hasil dari kegagalan megaproyek yang bernama modernisme. Ini berawal saat Descartes memunculkan teori kesadaran. Dalam perkembangannya, muncul pandangan dualistik modernisme yang membagi kenyataan menjadi subjek dan objek. Yang  mau tidak mau pada akhirnya mengakibatkan objektivitas alam secara berlebihan. Pengurasan, eksploitasi alam, dan pengerukan sumber daya alam yang berlebihan terjadi di mana-mana. Penyebab inilah diantaranya yang kemudian memunculkan kritik dari para filsuf Postmodern.
Demikian juga menurut pandangan agama Islam, bahwasanya lingkungan selalu punya potensi untuk mempengaruhi agama. Sebaliknya, agama juga punya peluang untuk mempengaruhi lingkungan. Oleh karena itu kemudian ada yang disebut dengan agama ramah lingkungan dan agama yang tidak ramah lingkungan. Untuk mendaratkan ajaran-ajaran Islam yang suci, maka perlu dilakukan beberapa metode agar pemahaman tentang ramah lingkungan secara teologis dapat diterima dengan mudah dan jelas.

Komunikasi dan Lingkungan
Robert Cox dalam buku Environmental Communication and the Public Sphere (2010) merumuskan komunikasi lingkungan sebagai media pragmatis dan konstitutif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai lingkungan, seperti halnya hubungan antarmanusia pada hubungan manusia dengan alam. Hal itu merupakan medium simbolis untuk membangun kesepahaman masyarakat terhadap permasalahan lingkungan.
Dalam lingkup praktis, komunikasi dalam lingkungan ini menyangkut strategi pengemasan pesan dan media untuk mendorong pengetahuan, kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk menjaga lingkungan. Di sini, pemerintah maupun organisasi non pemerintah yang concern terhadap masalah lingkungan merupakan komunikator kunci dalam pembuatan kebijakan/ program yang efektif untuk membangun partisipasi publik dalam implementasinya.



 




Bagi komunikator tersebut, penyampaian pesan yang efektif kepada publik tidak cukup hanya melalui iklan dan kampanye di media massa. Memang komunikasi di media massa diakui memiliki pengaruh besar untuk mentranformasikan pengetahuan kepada masyarakat. Namun untuk mencapai tahapan kesadaran dan implementasi masih perlu komunikasi persuasif melalui pendekatan langsung (interpersonal) kepada masyarakat. Misalnya membentuk kelompok-kelompok peduli lingkungan di masyarakat maupun penanaman nilai-nilai pelestarian lingkungan sejak dini.
Mengapa perlu membentuk kelompok masyarakat peduli lingkungan? Sebab pelestarian lingkungan perlu dilakukan secara massif. Persoalan lingkungan juga menjadi tanggungjawab semua manusia, tidak hanya masyarakat tertentu. Apalagi saat ini “penyakit” lingkungan semakin akut, ditandai maraknya bencana lingkungan dan perubahan cuaca yang tak menentu.
Lihat bagaimana ulat bulu menyerang masyarakat, akibat siklus hidupnya terganggu siklus cuaca. Belum lagi terganggunya ekosistem yang menyebabkan rusaknya rantai makanan. Kondisi tersebut juga rentan terjadi di Riau, yang notabene merupakan daerah perkebunan yang cenderung monokultur kelapa sawit. Bayangkan seandainya datang predator tunggal yang menyerang jutaan hektar perkebunan tersebut, sementara ekosistem hutan yang menjadi lokasi rantai makanan ideal kian terkikis. Akibatnya bisa diprediksi, perkebunan rusak, perekonomian masyarakat hancur, sehingga berpotensi menyebabkan chaos secara ekonomi, sosial bahkan politik.
Untuk mengendalikan hal tersebut, prinsip pembangunan berkelanjutan perlu direvitalisasi. Karena pembangunan berkelanjutan tidak hanya berkonsentrasi pada perlindungan lingkungan. Tetapi juga menyangkut pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Di sini yang perlu dipertegas adalah salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Secara garis besar prinsip yang perlu dikomunikasikan tersebut antara lain sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab untuk menjaga alam semesta beserta isinya, solidaritas kosmis untuk mengontrol perilaku manusia terhadap alam, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, tidak melakukan tindakan yang merugikan eksistensi makhluk hidup lain, hidup sederhana dan selaras dengan alam, adil dalam menentukan kebijakan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya, demokratis dalam memandang keanekaragaman dan pluralitas terhadap alam, dan pentingnya integritas moral pejabat publik untuk menjaga lingkungan hidup. Dari prinsip tersebut kemudian bisa dijelaskan bagaimana peran komunikasi dalam pemberdayaan lingkungan : (1) Pemanfaatan proses komunikasi, (2) Pemanfaatan produk media, (3) Mendukung pembuatan kebijakan lingkungan, (4) Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan lingkungan, (5) Membantu pelaksanaan program kegiatan pemberdayaan lingkungan, (6) Mengarah pada kesinambungan fungsi lingkungan hidup.

Selasa, 01 Maret 2011

Mengenal Henri Bergson



Filsafat Bergson merupakan reaksi terhadap positivisme dan materialisme serta subyektivisme dan relativisme. Pangkalnya tidak jauh dari ilmu (positif), tetapi bertujuan melalui yang positif itu untuk menyelami yang mutlak dalam pengetahuan metafisis.
Ia menentang sekuat-kuatnya mekanisme dan determinisme serta mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan kehendak. Walaupun ia kena pengaruh bermacam-macam filsafat yang mendahuluinya, akan tetapi harus dikatakan, bahwa filsafatnya merupakan sesuatu yang baru serta mewujudkan keseluruhan.
Ada yang mengatakan, bahwa Bergson itu harus disebut filsuf kemerdekaan, karena ia mempertahankan kemerdekaan kehendak manusia. Ia menentang segala determinisme. Ia memang suatu aspek dari filsafat Bergson.

A.  Riwayat Hidup Dan Karyanya
Tidak ada seorang filsuf pada permulaan abad ke-20 ini yang lebih terkenal dari Henry Bergson (1859-1941). Ia lahir di Paris. Ayahnya adalah pemusik komponis ternama yang mengungsi dari Polandia dan ibunya orang Inggris. Baik ayah maupun ibunya menganut agama Yahudi dan Henri Bergson pun dibesarkan dalam suasana Yudaisme yang tradisional.
Ia masuk Lycee Condorcet disana dan kemudian masuk Ecole Normale yang darinya ia lulus tahun 1881. pada tahun-tahuntahun berikutnya ia mengajar filsafat di Angers dan Clermont-Ferrand dan kemudian kembali ke Paris, ia mengajar di beberapa Lycee dan kemudian mengajar di Ecole Normale. Pada tahun 1900 ia di anugrahi Chair pada College de France. Sampai saat itu ia mulai menerbitkan karyanya.
Buku-bukunya sering dicetak ulang, sebagaimana terjadi dengan karya-karya filsafat. Ketika diangkat di College de France ia sudah menerbitkan bukunya Matiere et memoire (1896) (Materi dan ingatan). Tahun 1900, terbit suatu buku kecil berjudul Le rire (Tertawa). Suatu buku yang disambut dengan hangat juga di luar negeri adalah L'evolution creatrice (1907) (Evolusi kreatif). Tahun 1922 terbit Duree et simultaneite (Lamanya dan keserentakan), suatu refleksi filosofis tentang teori relatifitas dari Albert Einstein; tetapi sejak tahun 1926 Bergson tidak mengizinkan karya ini di cetak ulang, suatu tanda bawa ia tidak lagi menyetujui isinya. Karya besar terakhir yang diterbitkannya ialah Les deux sources de la morale et de la religion (1932) (kedua sumber dari moral dan agama).
Artikel-artikelnya dikumpulkan dalam L'energie spirituelle (1919) (Energi Rohani) dan La pensee et le mouvant (1934) (Pemikiran dan Yang Bergerak). Sesudah meninggalnya terbit lagi Ecrits et paroles (3 jilid; 1957-1959) (karangan-karangan dan perkataan-perkataan). Ia juga mendapat berbagai penghargaan, antara lain psfs tahun 1914 ia dipilih sebagai anggota Academie Francaise dan pada tahun 1928 ia dianugrahi Hadiah Nobel untuk kesusastraan.
Selama tahun-tahun pasca perang dunia pertama ia memberikan banyak perhatian pada politik internasional dan bekerja untuk mempromosikan kerja sama dan kongsistensi damai di antara negara-negara. Segera setelah perang dunia kedua, ketika ia tinggal di kota Paris yang diduduki, ia diwajibkan untuk mendaftar sebagai seorang Yahudi. Ia antri berjam-jam dalam cuaca dingin untuk memenuhi persyaratan tersebut dan akhirnya ia mengidap penyakit pneumonia yang membawanya ke kematian pada tanggal 3 januari 1941.

B.   Duree dan Kebebasan
Seperti sudah tersirat dalam judul bukunya, Bergson bertolak dari pengalaman langsung, dari pengalamanku sebagai aku. Dalam hal ini penemuannya yang terbesar adalah apa yang disebutnya duree (Inggris: duration), suatu kata yang tidak mudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Sebagai terjemahan yang kiranya paling baik mendekati maksud Bergson kita harus membedakan dua macam waktu. Biasanya pengertian kita tentang waktu di kuasai oleh pengertian tentang ruang.
Waktu dimengerti berdasarkan ruang. Kalau begitu, waktu di umpamakan sebagai semacam garis tak terbatas yang terdiri atas titik-titik dan semua titik itu terletak yang satu diluar yang lain. Waktu itu dianggap kuantitatif. Dengan demilian, waktu dapat diukur dan di bagi-bagi. Itulah waktu yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan. Itulah waktu menurut aspek obyektif-fisis. Bergson menyebutnya temps (kata prancis yang biasa untuk "waktu"). Tetapi waktu dalam arti lebih fundamental adalah duree, "lamanya", yaitu waktu yang kita alami secara langsung. Itulah waktu menurut aspek subyektif-psikologis.
Waktu itu tidak melebar melalui ruang seperti bola kawat yang tidak berputar dan tidak diukur oleh kronometer jenis apa pun. Waktu ril tersebut hadir sebagai durasi hanya karena kita sendiri mengamatinya. Bergson menyatakan: interval duree ada hanya bagi kita, dan disebabkan oleh penetrasi saling dari kondisi kesadaran kita; diluar kita seseorang mungkin tidak akan menemukan suatu hal pun kecuali ruang, dan jadi simultanitas-simultanitas, yang darinya seseorang mungkin tidak akan pernah berkata bahwa mereka secara obyektif saling datang bergantian.
Konsepsi mengenai sifat dasar realitas ini memiliki implikasi pada gagasan-gagasan mengenai kebebasan manusia. Bergson menganggap inti esensial seseorang, 'diri mendalam' bahwa kita hidup dari pada mengkonseptualisasikan, sebagai hal yang tidak sesuai dengan gerakan tubuh kita. Kebebasan mestinya dengan pengalaman langsung dan non-ruang kita akan realitas. Kebesan dirasakan tetapi tidak dapat dijelaskan dan kebebasan di praktekkan, menurutnya, hanya ketika tindakan seseorang berasal dari totalitas dari wujud seseorang.
Ia menentang sekuat-kuatnya mekanisme dan determinisme serta mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan kehendak. Walaupun ia kena pengaruh bermacam-macam filsafat yang mendahuluinya, akan tetapi harus dikatakan, bahwa filsafatnya merupakan sesuatu yang baru serta mewujudhan keseluruhan.

C.   Intuisi
Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct,tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Intuisi ini menangkap obyek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, indra dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap.
Intuisi, menurut Bergson, bersifat non-konseptual. Karena diarahkan pada dunia luar, ia memungkinkan seseorang untuk dibawa ke dalam bagian dalam sebuh obyek 'agar datang bertepatan dengan sesuatu yang unik dan yang tidak dapat diungkapkan mengenainya sebagai konsekuensi'. Sebaliknya akal hanya dapat mengamati dari luar, menggunakan simbol dalam memahami obyeknya, dan akal terkadang dapat menghasilkan paradoks dan falsifikasi.
Hanya sikap intuitif yang dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak terdistorsi dan murni. Akal menghentikan setiap hal dalam upayanya untuk membatasi dan menjadi eksak; hasilnya adalah bahwa konsep-konsep yang digunakannya dalam membuat upaya tersebut tampak lebih ril dari pada maksud yang mereka kehendaki. Intuisi, di ambil sebagaimana adanya dari insting, intuisi adalah insting yang menjadi sadar dan obyektif, mampu berpartisipasi dalam sifat hidup dasar segala sesuatu.

D.  Materi dan Ingatan
Dalam buku materi dan ingatan Bergson mempelajari hubungan antara jiwa dan tubuh, antara roh dan materi. Ia mulai dengan mengatakan bahwa pendiriannya dalam buku itu pada dasarnya bersifat dualistis (suatu dualisme moderat, katakanlah), karena ia mempertahankan materi maupun roh sebagai kenyataan. Ia menolak setiap monisme, setiap pandangan yang mereduksikan roh kepada materi (jadi, materialisme) maupun monisme yang mereduksikan materi kepada roh (jadi, idealisme). Tetapi, di sisi lain ia ingin memandang hubungan antara jiwa dan tubuh sedemikian rupa sehingga akan dihindari kesukitan-kesulitan yang mengakibatkan dualisme mendapat nama jelek dalam filsafat.
Bergson menyelidiki problem ini melalui studi mengenai ingatan, karena katanya ingatan paling jelas tampak sebagai titik interaksi antara roh dan materi. Pada akhir abad ke-19 banyak penelitian dilakukan tentang kaitan antara otak dan ingatan. Materialisme dan epifenomenalisme sudah kerap kali menggunakan penelitian-penelitian itu sebagai argumen bagi pendirian mereka. Dalam bukunya Bergson menyebut penelitian-penelitian seperti itu dan memberi evaluasi filosofisnya.
Persepsi harus dibedakan dari ingatan. Dalam persepsi obyek bersangkutan hadir berkat suatu intuisi tentang realitas, sedangkan dalam ingatan obyek yang tidak hadir diingat kembali. Tetapi biarpun persepsi adalah intuisi mengenai realitas, itu tidak berarti bahwa persepsi tertuju pada pengetahuan demi pengetahuan. Tidak begitu. Persepsi seluruhnya terarah pada praksis. Biarpun persepsi harus dibedakan dengan jelas dari ingatan, pada kenyataannya persepsi dan ingatan tidak boleh dipisahkan. Persepsi selalu disertai dengan bayangan ingatan; persepsi yang hanya persepsi saja merupakan suatu abstraksi. Dalam persepsi konkret ingatan selalu memainkan peranan juga, seperti (sebaliknya) ingatan pun sering di aktifkan dalam suatu persepsi.
Bagi Bergson perpaduan antara persepsi dan ingatan ini menunjuk pada relasi antara tubuh dan jiwa, antara materi dan roh. Dalam hal ini persepsi mewakili pihak materi dan ingatan mewakili pihak roh. Roh atau jiwa tidak dapat diasalkan dari materi, atau lebih konkret lagi tidak dapat diasalkan dari otak. Tubuh adalah alat untuk praksis dan fungsi ini terutama tampak dalam otak. Untuk mengadakan praksisnya, roh bergantung pada otakl. Menurut Bergson, roh tidak dapat bekerja dan berpikir tanpa tubuh. Tetapi mungkin roh dapat hidup terus sesudah kematian tubuh, biarpun dalam keadaan tidak aktif.

E.   Evolusi Kreatif
Kebetulan pada tahun Bergson lahir (1859) terbit buku yang begitu menentukan bagi teori evolusi, yaitu The origin of species karangan Charles Darwin. Seolah-olah ada firasat! Evolusi selalu merupakan tema penting bagi pemikiran Bergson. Tetapi dalam hal ini ia menolak setiap interpretasi mekanistis dan ia berpendapat bahwa Darwin sendiri terlalu dekat dengan interpretasi serupa itu. Msalnya pandangan Darwin tentang natural selection, di mana variasi-variasi yang cocok supaya organisme dapat hidup terus, "dipilih" dan diwariskan kepada generasi berikut, sedangkan variasi-variasi lain ditinggalkan, bagi Bergson tidak memuaskan. Dengan cara demikian menurut Bergson tidak pernah mungkin mengerti terbentuknya suatu organisasi yang begitu kompleks seperti mata, misalnya.
Untuk mengerti evolusi, menurut Bergson, data biologi harus dilengkapi dengan hasil pemikiran metafisis. Dalam hal ini kuncinya adalah apa yang kita alami dalam diri kita sendiri sebagai makhluk hidup. Kita sendiri merupakan contoh istimewa diantara makhluk hidup dan daya-daya yang bekerja dalam diri kita bekerja juga dalam alam semesta. Nah, bila kita memperhatikan apa yang oleh intuisi disingkapkan kepada kita, kita menemukan bukan saja adanya duree dan perkembangan terus-menerus, melainkan juga suatu élan vital, yaitu suatu energi hidup atau daya pendorong hidup. Kita berhak mengandaikan bahwa élan vital ini meresapi seluruh proses evolusi dan menentukan semua cirinya yang penting.
Dengan demikian kita sanggup mengerti perkembangan kehidupan secara kreatif dan tidak lagi mekanistis. Bergson menganggap élan vital ini sebagai penyebab yang melalui bermacam-macam variasi akhirnya menghasilkan jenis-jenis baru. Dalam pekerjaannya élan vital menjumpai perlawanan dari materi dan sebenarnya justru perjuangan élan vital untuk mengatasi perlawanan materi mati itu menghasilkan garis-garis dan tahap-tahap baru dalam perkembangan evolusi. Tetapi energi kreatif dari élan vital tidak berhenti di situ dan akan berusaha terus menuju perkembangan baru lagi.
Pada satu titik dalam creative evolution Bergson menganggap élan vital sebagai Tuhan. Ia menulis: "seperti itu ditetapkan, Tuhan tidak punya satu hal pun yang siap-pakai, ia kehidupan yang tidak terganggu, tindakan, kebebasan. Dan penciptaan, begitu dipahami, bukan sebuah misteri; kita mengalami dalam diri kita sendiri ketika kita bertindak dengan bebas. Disana tampak terdapat lebih dari sebuah petunjuk akan panteisme dalam konsepsi tentang Tuhan ini sebagai hal yang nyata-nyata identik dengan élan vital dan seperti dialami secara langsung dalam tindakan kita.
Tetapi dalam surat-surat ke Joseph de Tonquedec Bergson berpendapat bahwa ia menganggap Tuhan sebagai pencipta bebas, pembangkit kehidupan dan materi tetapi berbeda dengan mereka. Karenanya ia membatalkan pertalian apa pun dari panteisme yang mungkin orang tergoda untuk melakukannya.
F.   Moral dan Agama
Pandangan Bergson tentang moral dan agama diuraikannya dalam ke dua sumber dari moral dan agama, karya yang terbit ketika pengarangnya sudah berumur 73 tahun. Pikiran pokok dalam buku ini adalah perbedaan antara moral tertutup dan moral terbuka, masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka, agama statis dan agama dinamis. Salah satu cara terbaik untuk memperkenalkan isi buku tersebut ialah menjelaskan maksud Bergson dengan pembedaan-pembedaan ini.
Moral tertutup menandai masyarakat tertutup. Suatu masyarakat adalah tertutup tidak terutama karena keterbatasannya menurut ruang, tidak pula karena masyarakat itu meliputi sebagian saja dari umat manusia, melainkan karena dikuasai oleh suatu moral yang hanya berlaku terhadap para warga masyarakat saja dan tidak terhadap mereka diluar masyarakat itu; dengan kata lain, suatu moral yang tertutup. Prinsip dasar moral tertutup ialah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan keluar.
Di samping moral tertutup terdapat moral terbuka, yang menandai masyarakat terbuka. Moral ini disebut terbuka, karena menurut kodratnya bersifat universal dan mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral ini bersifat dinamis, sebab tertuju pada perubahan masyarakat dan tidak bermaksud mempertahankan masyarakat seperti apa adanya.
Rasio manusia bisa berperan sebagai penengah antara dua moral tersebut. Rasio dapat mengemukakan unsur universalitas dalam suasana moral tertutup dan unsur kewajiban dalam suasana dan moral terbuka. Dengan demikian cita-cita dari moral terbuka bisa menjadi lebih efektif karena ditafsirkan oleh rasio dan dikaitkan dengan kewajiban, sedangkan moral tertutup mendapat gairah kehidupan dari moral terbuka.
Sejajar dengan pembedaan antara moral tertutup dan moral terbuka Bergson membedakan juga agama statis dan agama dinamis. Bergson melihat agama statis sebagai reaksi terhadap pengaruh negatif dari akal budi, baik bagi individu mauoun bagi masyarakat. Agama statis ini terutama menandai masyarakat primitif, tetapi tidak terbatas disitu. Agama statis masih tetap ada sejauh mentalitas primitive hidup terus dalam kebudayaan kita. Kalau dalam perang modern kedua belah pihak percaya bahwa Allah memihak pada mereka, menurut Bergson, disini masih tampak suasana agama statis. Alasannya: sebab mereka memperlakukan Allah sebagai dewa nasional, biarpun keduanya barang kali mengaku dirinya takwa pada Allah yang Esa.
Mistik adalah agama dinamis. Para mistisi bersatu dengan usaha kreatif yang "berasal dari Allah dan barang kali malah dapat disamakan dengan Allah". Bergson mempelajari mistik dalam agama Yunani; mistik Timur dan misti Kristen. Ia berpendapat bahwa dalam agama Kristen mistik mencapai bentuk yang paling lengkap, karena disitu mistik disertai aktivitas dan kreativitas. Mistik yang berbalik dari dunia supaya mempersatukan diri dengan suatu pusat Ilahi, menurut Bergson, tidak boleh disebut mistik yang lengkap.
Tentang agama statis dan agama dinamis Bergson mengatakan bahwa gama-gama konkret merupakan semacam campuran dari kedua jenis agama itu. Dalam agama Kristen yang historis, umpamanya, kita dapat melihat gejala agama dinamis disamping suasana agama statis. Yang paling ideal ialah bahwa agama statis semakin dimurnikan menjadi agama dinamis, tetapi dalam praktek kedua bentuk agama tercampur secara tak terpisahkan.








 

Senin, 24 Januari 2011

Mengenal James Coleman



A.    Latar Belakang Kehidupan James Coleman
Colomen mempunyai bermacam karier hebat dalam sosiologi; julukan ”teoritis“ hanya salah satu dari beberapa julukan yang diterimanya. Dia menerima Ph.D dari Universitas Colombia tahun 1955, dan setahuh kemudian ia memulai karier akademisnya sebagai asisten Profesor di Universitas Chicago (tahun 1973, ia kembali ke universitas ini setelah 14 tahun dan melanjutkan karirnya di Chicago hingga akhir hayatnya). Di tahun yang sama ia mulai mengajar di Chicago, Coleman menjadi penulis Junior (bersama S.M Lipset dan Martin A Trow) salah satu studi menonjol dalam sejarah sosiologi industri ,berjudul Union Democracy (disertasi Coleman di Colombia yang di bimbing oleh Lipset, menganalisis beberapa masalah yang dibahas dalam Union Democracy). Coleman kemudian mengalihkan perhatiannya kepada studi tentang pemuda dan pendidikan. Hasilnya puncaknya berupa laporan pemerintah federal (yang secara luas di kenal “Coleman Report”) yang membantu melahirkan kebijakan yang sangat kontroversial mengenai pengakuan anak sekolah dengan bus sebagai metode untuk mencapai persamaan hak menurut ras di sekolah Amerika. Melalui karya inilah Coleman mendapat pengalaman praktis yang lebih besar dari pada yang di dapat sosiologi Amerika lainnya. Selanjutnya ia mengalihkan perhatiannya dari kehidupan praktis ke suasana murni sosiologi matematika (terutama Introduction to Mathematical Sociology [1964] dan The Mathematics of Collective Actions [1973]). Di tahun–tahun kemudian Coleman beralih ke teori sosiologi terutama teori pilihan rasional dengan diterbitkannya buku Foundations of Social Theory (1990) dan tahun 1989 mendirikan Jurnal Rationality And Society. Kumpulan karya yang diterbitkan dalam jurnal ini mencerminkan keanakaragaman yang hampir tak dapat di percaya dan itu belum termasuk dalam bahasa ringkas 28 buku dan 31 artikel yang tercatat di ringkasan Coleman.
Coleman menerima gelar Bachelor of Science dari Universitas Purdue tahun 1949 dan bekerja sebagai ahli kimia untuk Eastman Kodak sebelum masuk ke Departemen sosiologi Universitas Colombia tahun 1951. Coleman sangat dipengaruhi oleh Robert K. Merton terutama kuliahnya tentang Durkheim dan faktor sosial sebagai penentu perilaku individu. Ia pun mendapat pengaruh dari pakar metodologi Paul Lazars Feal. Minatnya terhadap metode kuatitatif dan sosiologi matematis berasal dari Lazars feal. Seymour Martin Lipset adalah orang ke tiga yang sangat mempengaruhi Coleman . Coleman di ajak Lipset menjadi anggota tim junior rise Lipse, dengan demikian akhirnya berpartisipasi menyusun laporan yang berjudul Union Democracy. Demikianlah, pendidikan S1 sudah memberi Coleman penguasaan metode yang kuat, metode dengan hubungan antara keduanya dalam riset empiris inilah model yang di cita-citakan semua sosiologi.
Berdasarkan pengalaman itu Coleman melukiskan visinya mengenai studi sosiologi ketika ia menamatkan S1 dan memulai karir profesionalnya:
Sosiologi harus menjadi sistem sosial (yang kecil atau yang besar) sebagai unit analisis ketimbang individu, namun harus menggunakan metode kuantitatif, meninggalkan teknik-teknik yang sistematis yang membuka peluang keterlibatan kecenderungan peneliti dan menutup peluang untuk melakukan penelitian ulang dan terbatas kemampuannya untuk menjelaskan.
Pendekatan Coleman telah berubah, tetapi tidak sebanyak yang di perkirakannya. Contoh, mengenai karya tentang permainan simulasi sosial di Johns Hopkins di tahun 1960-an, ia mengatakan, “karya itu menyebabkan orientasi teoritis dari sifat yang tak hanya menentukan tindakan (seperti hasil studi Durkheim tentang bunuh diri) ke pandangan bahwa sistem juga adalah akibat dari tindakan yang kadang–kadang di harapkan, kadang – kadang tak di harapkan”. Dengan demikian Coleman memerlukan teori tindakan dan ia memilih yang lazim di terima kebanyakan pakar ilmu ekonomi.
Tugas sosiologi yang terberat adalah membangun sebuah teori yang mengalihkan perhatiannya dari tindakan tingkat mikro ke norma, nilai sosial, distribusi status dan konflik sosial tingkat makro. Perhatian ini yang menjelaskan mengapa Coleman mengambil landasan teorinya dari ilmu ekonomi.
Yang membedakan ilmu ekonomi dengan ilmu sosial lain bukanlah penggunaan pilihan rasionalnya tetapi penggunaan sebagai model analisis yang memungkinkan bergerak antara tingkat tindakan individu dan tingkat fungsi sistem. Dengan menggunakan dua asumsi, bahwa tindakan individu rasional dan pasar adalah “sempurna” dengan komunikasi penuh, analisis ekonomi mampu menghubungkan fungsi sistem tingkat makro dengan tindakan individu di tingkat mikro.
Aspek lain visi Coleman mengenai sosiologi adalah bahwa sosiologi harus dapat di gunakan untuk merumuskan kebijakan sosial, terutama teori ini mengatakan, “salah satu kriteria untuk menilai karya dalam teori sosial adalah kegunaan potensial untuk memberitahukan kebijakan sosial”. Tidak banyak sosiolog yang tak sepakat dengan tujuan Coleman menghubungkan teori, metode, kebijakan sosial, makin banyak juga yang tak sepakat dengan cara yang dipilih Coleman dalam menghubung-hubungkan. Apakah mereka setuju atau tidak dengan tujuan utama Coleman itu, sosiolog di masa datang akan di tantang oleh kebutuhan untuk bekerja lebih baik dalam menghubungkan ketiga aspek kunci praktik sosiologi ini, dan sebagian mereka akan menemukan sebuah model yang berguna dalam karya Coleman, Coleman meninggal 25 Maret 1995.

B.     Modal Sosial
Coleman memandang modal sosial (social capital) dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan secara bersama seperti; kewajiban dan harapan, saluran informasi, ketaatan terhadap sanksi dan norma-norma. Lebih lanjut Coleman melihat modal sosial dari sisi fungsinya. Dia menunjukkan bahwa struktur sosial dalam bentuk jaringan yang sifatnya lebih ketat dan relatif tertutup cenderung lebih efektif daripada yang terbuka. Jaringan komunitas yang dikembangkan kelompok perantau lazimnya dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari relasi kekerabatan dan kesamaan daerah, bahasa, etnis, dan agama, dan mungkin karena ketertutupan itulah mereka bisa survive dan bisa menguasai jaringan perdagangan  komoditas dan ketrampilan tertentu di daerah perantauan.[1]
Meski Coleman lebih tegas mengusung modal  sosial, tetapi dia tidak memberikan pengertian modal sosial secara tegas. Demikian Coleman menulis:[2] 
“Modal sosial ditetapkan oleh fungsinya. Modal sosial bukan merupakan sebuah entitas (entity) tunggal tetapi berbagai macam  entitas yang berbeda, dengan dua elemen bersama: terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan pelaku-pelaku tertentu dalam struktur itu. Sebagaimana bentuk modal ain, modal sosial adalah produktif, membuat mungkin pencapaian tujuan tertentu yang di dalam ketiadaannya akan tidak mungkin. Sebagaimana modal fisik dan modal manusia, modal sosial sama sekali tidak  fungible tetapi mungkin  specific untuk aktivitas tertentu. Tidak seperti bentuk modal lain, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antara para pelaku dan diantara para pelaku”

Dengan definisi yang agak kabur ini, Coleman (1998) kemudian menetapkan kumpulan tindakan, hasil dan hubungan yang berbeda sebagai modal sosial. Modal sosial baginya adalah  inherently functional, dan modal sosial adalah apa saja yang memungkinkan orang atau institusi bertindak. Modal sosial, karena itu, bukan merupakan sebuah mekanisme, sesuatu, atau sebuah hasil, tetapi merupakan beberapa atau semua dari mereka (mekanisme, sesuatu dan hasil) secara simultan.

C.    Sistem Sosial sebagai Sistem Komplek
Sistem social terdiri atas individu-individu yang menyusun system social tersebut. Tiap-tiap individu tentu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Masing-masing menusia memiliki keinginannya sendiri, sifat-sifat sendiri, dan memiliki cita-cita sendiri. Jika kita mencoba berandai-andai bahwa kita bias mengetahui semua sifat dan hal-hal inheren dalam diri tiap manusia yang menyusun sebuah masyarakat apakah kita akan bisa menebak seperti apa kira-kira sifat masyarakat tersebut? Inilah sebabnya system social harus dianggap sebagai system kompleks, karena terdapat hubungan mikro-makro dalam level-level hirarkis masyarakat tersebut.
Hal ini pula yang mendasari kategoresasi dalam teori social. Ada yang bersifat makro atau kolektivisme dan ada yang bersifat mikro individualisme. Hal ini wajar karena memang kita sering merasa bahwa suatu teori social terasa terlalu individualistic ontologis atau individualistic metodologis sementara ada yang terasa terlalu makro atau bersifat kolektif yang mengobservasi dal terminology struktur masyarakat dan dalam system social itu sendiri jarang untuk berbicara dalam level mikro atau individual. Asumsi seperti ini sering kita temui dalam bahasan para interaksionisme simbolik, bahwa karakter social yang diamatai oleh seseorang ilmuwan social pada dasarnya adalah hal-hal makro yang membrojol dari interaksi yang terjadi di antara individu-individu penyusun masyarakat tersebut.
Dengan dipengaruhi oleh Max Weber melalui pendekatan Protestan Ethicnya yang mencoba untuk mendiagramkan system multitingkat proposisi. Yaitu dengan mencoba menghubungakan adanya relasi antara doctrin religious protestan dengan tingkah laku individual yang menghasilakn semangat kapitalisme pada tingkat makro kembali.[3]


 






Gambar di atas menunjukkan suatu cara untuk mendiagramkan system multitingkat proposisi. Panah yang menaik ke atas menunjukkan proposisi tingkat makro.tiga panah yang terhubungkan yang mana panah pertama berawal pada titik yang sama dengan proposisi tingkat makro dan menurun ke tingkat yang lebih rendah dan yang ketiga kembali ke atas ketitik akhir dari proposisi tingkat makro, menggambarkan tiga proposisi yang saling terkait.
Dalam rangkaian proposisi ini, yang ketiga adalah yang paling mearik karena ia bergerak kembali ke atas dari tingkat individual menuju tingkat social. Variable bebas mencirikan seorang individu dan variable terikat mencirikan sebuah unit social, dalam hal ini masyarakat. Jelaslah bahwa, sebuah proposisi jenis ini, kecuali bila ia merupakan salah satu dari proposisi historis yang mengatributkan perubahan-perubahan social besar kepada para pemimpin individual tertentu, tidak menunjukkan bahwa suatu atribut individual cukup efektif dalam membawakan perubahan social. Justru, yang diajukan adalah beberapa jenis pengaruh kombinasi atau gabungan atau agregat perilaku ekonomi dari banyak individu dalam mewujudkan pembangunan kapitalistik

Ekstremisme Mikro dan Makro Salah satu pembagian utama dalam teori Sosiologi Amerika abad ke-20 telah menimbulkan konflik antara teori mikroskopik ekstrem dan makroskopik ekstrem dan antarteoritisinya. Pembagian secara ekstrem dan penafsiran atas kedua jenis teori itu cenderung meningkatkan citra tentang besarnya perbedaan antara teori mikro dan makro dan lebih umum lagi meningkatkan citra konflik dan kekacauan dalam teori sosiologi. Di sisi ekstrem makro adalah fungsional struktural, teori konflik, dan beberapa jenis teori neo-Marxian (terutama determinisme ekonomi dan Marxisme struktural). Di sisi ekstrem mikro adalah interaksionisme simbolik, etnometodologi, teori pertukaran, dan teori pertukaran rasional.
Di tahun 1980-an baru terdapat perkembangan karya tentang hubungan mikro-makro. Beberapa teoritisi memusatkan perhatian untuk mengintegrasikan teori mikro-makro, sedangkan teorisi lain memusatkan perhatian untuk membangun sebuah teori yang membahas hubungan antara tingkat mikro dan makro dari analisis sosial. Eisenstadt dan Helle menyimpulkan bahwa konfrontasi antara teori-teori mikro dan makro sudah berlalu, sedangkan Munch dan Smelser sampai pada kesimpulan serupa mengenai perlunya memilih antara penekanan perhatian pada tingkat mikro dan makro. Ada perbedaan penting anatara upaya untuk mengintegrasikan teori makro (misalnya, fungsionalisme struktural) dan teori mikro (misalnya, interaksionisme simbolik) dan upaya untuk membangun sebuah teori yang dapat menjelaskan hubungan antara analisis sosial tingkat mikro dan analisis sosial tingkat makro.
Menurut Gurvitch, kehidupan sosial dapat dikaji dari segi lima level horizontal atau level mikro-makro: bentuk-bentuk sosialitas, pengelompokan, kelas sosial, struktur sosial, dan struktur global. Untuk melengkapi hirarki ini, Gurvitch juga menawarkan sepuluh level vertikal atau dalam dimulai dengan fenomena sosial yang paling objektif (misalnya, faktor ekologis, organisasi) dan diakhiri dengan fenomena sosial yang paling subyektif (misalnya, ide dan nilai kolektif, pikiran kolektif. Gurvitch memotongkan dimensi vertikal dan horizontal untuk mendapatkan banyak level analisis sosial.
Karya Ritzer tentang integrasi paradigma sosiologi sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch itu. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia. Terhadap kontinum mikro-makro ini ditambahkan kontinum objektif-subjektif (tingkat vertikal model Gurvitch) yang bergerak dari fenomena material, seperti tindakan individual, dan struktur birokrasi ke fenomena nonmaterial, seperti kesadaran, norma, dan nilai. Seperti Gurvitch, Ritzer menyilangkan dua kontinum ini, namun hasilnya dalam hal ini adalah empat tingkat analisis sosial yang jauh lebih mudah dikelola ketimbang sepuluh tingkat model Gurvitch. Berikut ini gambar yang melukiskan tingkat utama analisis sosial Ritzer.
Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya adalah terdapat empat tingkat utama analisis sosial dan sosiolog harus memusatkan perhatian pada hubungan dialektika dari keempat tingkat analisis ini.Baru-baru ini Ritzer menggunakan pendekatan integrasi mikro-makro dalam karyanya yang berjudul Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society. Khususnya Ritzer menggunakan gagasan C. Wright Mills tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit. Kesukaran personal adalah masalah yang memengaruhi seorang individu dan orang lain di sekitarnya. Pada tingkat makro, kumpulan utang konsumen telah menjadi masalah publik, karena besarnya dan pertumbuhan jumlah orang adalah meningkatkan utang kepada perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit. Akibat samping utang konsumen yang bertambah besar ini adalah peningkatan angka kejahatan dan kebangkrutan perusahaan. Akibat samping lainnya di tingkat makro dan masalah publik adalah peran yang dimainkan pemerintah dalam mendorong memperbesar utang konsumen melalui kecenderungannya sendiri untuk menumpuk utang. Lebih penting lagi adalah peran yang dimainkan perusahaan kartu kredit dalam mendorong orang untuk berutang dengan melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan agar orang mengambil kartu kredit sebanyak-banyaknya.
Logika baru ini memengaruhi �pemikiran sosiologi di setiap tingkat kontinum intelektual�. Dengan semangat ini, Alexander menawarkan apa yang istilahkan sebagai sosiologi multidimensional. Alexander menunjukkan bahwa kontinum mikro-makro (tingkat analisis individual atau kolektif) meliputi cara keteraturan diciptakan dalam masyarakat. Di titik ujung makro dari kontinum, keteraturan tercipta dari luar dan berciri kolektif; artinya keteraturan diciptakan oleh fenomena kolektif. Di ujung mikro dari kontinum keteraturan berasal dari kekuatan internal dan bersifat individulistik; yakni, keteraturan berasal dari negosiasi individual.Ke dalam masalah keteraturan ini ditambahkan problem tindakan menurut pendirian Parsonsian klasik. Tindakan meliputi kontinum materialis-idealis yang sejajar dengan kontinum objektif-subjektif yang digunakan dalam integrasi paradigma sosiologi Ritzer. Di ujung material, tindakan dilukiskan sebagai instrumen rasional dan kondisional. Di ujung nonmaterial (idealis), tindakan adalah normatif nonrasional dan perasaan kasih sayang.
Bila kita meyilangkan kontinum ketertiban dan tindakan Alexander kita menemui empat tingkatan analisis yang digunakan Ritzer. Meskipun Alexander menggunakan empat tingkat analisis yang sangat serupa dengan empt tingkat analisis yang digunakan Ritzer, terdapat perbedaan penting antara kedua model itu. Alexander memberikan prioritas pada teori-teori kolektif normatif dan memusatkan perhatian pada norma dalam kehidupan sosial. Ritzer menolak untuk memberikan prioritas pada salah satu tingkat dan menegaskan perlunya meneliti hubungan dialektika di kalangan dan antara seluruh keempat tingkat. Alexander bermaksud memberikan arti yang sangat penting pada fenomena makro (subjektif) dan akibatnya sumbangannya terhadap upaya mengembangkan sebuah teori yang mengintegrasikan fenomena mikro-makro sangat terbatas. Dapat dinyatakan bahwa Alexander termasuk teoritisi yang keliru itu karena ia secara keliru membuat generalisasi dari tingkat normatif-kolektif ke tingkat kehidupan sosial lainnya.
Model dari Mikro ke Makro Coleman memusatkan perhatian pada masalah hubungan dari mikro ke makro dan mengurangi arti penting masalah hubungan dari makro ke mikro. Model Coleman menjelaskan baik itu masalah dari makro ke mikro maupun masalah mikro ke makro, juga menjelaskan hubungan dari mikro ke makro. Meski menjanjikan, model ini dihadapkan dengan hubungan sebab akibat, pada aliran panah yang hanya ke satu arah. Model yang lebih memadai seharusnya model hubungan dialektika, seluruh panah menunjuk kedua arah sehingga memberikan umpan balik diantara semua tingkat analisis.

E.     Teori Pilihan Rasional
Dasar untuk semua bentuk teori pilihan rasional adalah asumsi bahwa fenomena sosial yang kompleks dapat dijelaskan dalam kerangka dasar tindakan individu di mana mereka tersusun. Sudut pandang ini, yang disebut metodologi individualisme, menyatakan bahwa:[4]
 'Unit elementer kehidupan sosial adalah tindakan individu. Untuk menjelaskan lembaga sosial dan perubahan sosial adalah untuk menunjukkan bagaimana mereka timbul sebagai akibat dari aksi dan interaksi individu '

Teori-teori ekonomi telah prihatin dengan cara-cara produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa adalah uang yang diselenggarakan melalui mekanisme pasar, teori pilihan rasional berpendapat bahwa prinsip-prinsip umum yang sama dapat digunakan untuk memahami interaksi di mana sumber daya seperti waktu, informasi, persetujuan, dan prestise yang terlibat.
. Dalam teori pilihan rasional, individu didorong oleh keinginan atau tujuan yang mengungkapkan 'preferensi'. Mereka bertindak dengan spesifik, mengingat kendala dan atas dasar informasi yang mereka miliki tentang kondisi di mana mereka bertindak. Paling sederhana, hubungan antara preferensi dan kendala dapat dilihat dalam istilah-istilah teknis yang murni dari hubungan dari sebuah sarana untuk mencapai tujuan. Karena tidak mungkin bagi individu untuk mencapai semua dari berbagai hal-hal yang mereka inginkan, mereka juga harus membuat pilihan dalam kaitannya dengan tujuan mereka berdua dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Teori pilihan rasional berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil alternatif tindakan dan menghitung bahwa yang terbaik untuk mereka. Rasional individu memilih alternatif yang akan memberi mereka kepuasan terbesar[5].
Individualisme metodologis teori pilihan rasional membuat mereka mulai keluar dari tindakan-tindakan individu dan untuk melihat semua fenomena sosial lainnya untuk direduksi tindakan individu tersebut. Namun bagi Homans,  itu juga perlu untuk melihat tindakan individu sebagai reduksi sebagai tanggapan psikologis. Posisi ini dibenarkan dengan alasan bahwa prinsip-prinsip pilihan rasional dan pertukaran sosial hanyalah ekspresi dari prinsip-prinsip dasar perilaku psikologi. Sementara banyak ahli teori pilihan rasional lainnya telah menolak klaim ini  dan Homans sendiri datang menganggap kurang penting.
Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.
Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan, tetapi selain Coleman menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi dimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. [6]
Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasioanl, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Colemans. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro.[7]



[1] Memahami Modal Manusia dan Modal Sosial, h. 34
[2] Eko, Sutoro, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Draft  makalah disajikan dalam Seminar Internasional IV “Dinamika Politik  Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003. http://scribd.com, diakses pada tanggal 20 Desember 2009
[3] Coleman, James. S, Dasar-Dasar Teori Sosial, Bandung: Nusa Media, 2008,h. 9
[4] Scott, John, Memahami Masyarakat Kotemporer,  karya asli dari (From Understanding Contemporary Society: Theories of The Present), www.private.essex.ac.uk/scootj, diakses pada tanggal 20 Desember 2009
[5] Ibid.,
[6] George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi; dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2009, h.477
[7] George Ritzer………………..,h. 395-396

Rabu, 19 Januari 2011

Majalah dan Pergaulan


Membaca tentu banyak sekali manfaat yang didapat. Selain memperoleh pengetahuan, membaca juga bisa memperoleh aneka macam ide, wawasan, tentunya membaca juga memperoleh sebuah ilmu untuk mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki. Orang-orang yang gemar sekali membaca, mereka jauh lebih tau daripada orang yang tidak pernah sama sekali membaca. Bagi orang yang gemar membaca, kebanyakan mereka itu banyak mendapat inspirasi dari pengetahuan yang didapat dari hasil membaca.
Sekarang ini banyak buku-buku bacaan, majalah (tabloid), surat kabar yang terbitnya tiap hari. Itu semua merupakan bacaan-bacaan yang sangat banyak manfaatnya. Seperti halnya majalah yang terbitnya meskipun dua minggu sekali bahkan satu bulan sekali. Ternyata majalah banyak diminati oleh masyarakat. Ada bermacam-macam jenis majalah yang khusus memuat berita tentang pergaulan, berita tentang teknologi, berita oleh raga dll, yang biasanya terbit tiap dua minggu sekali.
Yang menarik untuk dilirik yaitu majalah yang khusus memuat tentang berita pergaulan anak muda masa kini. Majalah ini biasanya mengambil sasaran konsumen remaja berumur mulai 15 tahun hingga 25 tahun bahkan lebih. Banyak hal menarik yang terdapat dimajalah ini, misalnya design gambar dan font (tulisan)nya yang kreatif, isi beritanya yang selalu up date, nilai beritanya mendidik, juga ada rubrik-rubrik tentang model, fashion, lifestyle, juga gosip artis lokal maupun mancanegara.
Fenomena yang tertangkap dimasyarakat, sekarang ini banyak ABG-ABG yang membekali diri mereka dalam bergaul dengan membaca majalah-majalah yang info-infonya khusus untuk anak yang suka modis, tampil trendi, dan selalu menor. melalui referensi-referensi yang mereka dapatkan dari majalah, mereka lebih berani tampil beda, mengikuti trend yang sedang naik. Misalnya gaya rambut yang di cat, model fashion yang terbuka, atau celana strit agak mlorot dan lain sebagainya. Mereka juga lebih berani mengungkapkan ekspresi-eskpresi yang sedikit agak menyimpang dari norma-norma sosial.
Berkaitan dengan hal ini maka, dapat ditemukan adanya pergeseran-pergeseran norma, pergeseran budaya, dan berubahnya kehidupan sosial akibat munculnya generasi baru yang lebih berani. Generasi baru pemikirannya lebih condong kepada realitas yang terjadi dilingkungan mereka tentang dunia anak muda yang serba coba-coba. Seperti dinyatakan Donald K. Robert (Schramm dan Robert..) ada yang beranggapan bahwa efek hanyalah “perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa”. Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa.
Maka dari itu sebuah isi pesan meskipin melalui majalah, bisa cepat menimbulkan budaya-budaya baru kepada kaula muda. Tanpa disangka, tanpa dirasa bahwa zaman semakin modern mesti juga harus diimbangi pola pikir yang modern, sikap dan penampilan yang modern pula. Sehiangga ada kesesuaian antara pola pikir, sikap, dan penampilan. Fenomena yang demikian terjadi telah diterima sebagian masyarakat sebagai sebuah modernitas yang mungkin akan membawa mereka kearah yang lebih maju dan sebalinya.
Sebagai media komunikasi massa, majalah juga tidak melulu memberitakan tentang info yang bisa merusak nilai agama dan norma sosial. Ada juga majalah yang memuat berita tentang pergaulan-pergaulan yang tidak menyimpang dari norma sosial, kiat-kiat menjadi remaja yang tangguh dan berpenampilan ok. Atau majalah yang infonya atau nilai beritanya bisa mendidik pera pembacanya. Hal itu sebagai wujud kontrol sosial dan mempertahankan eksistensi budaya yang bernilai luhur.
Karena perbedaan teknis, maka sistem komunikasi massa juga mempunyai karakteristik psikologis yang khas dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal. Ini tampak pada pengendalian arus informasi, umpan balik, stimulasi alat indra, dan proporsi unsur isi dengan hubungan. Yang menarik disini ialah proporsi unsur isi dengan hubungan. Seperti pada sistem komunikasi interpersonal, setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsur hubngan sekaligus. Sebaliknya, pada kmunikasi massa, unsur isilah yang penting. Sistem komunikasi massa justru menekankan “apanya”. Yang dimaksud adalah suatu informasi yang akan di komunikasikan kepada publik telah dikemas secara teratur dan sistemtis berdasarkan urutan sekenario sehingga pesan yang telah disampaikan kepada publik dapat berjalan tidak semrawut. Misalnya, sebuah iklan di TV, itu telah dibuat sedemikian rupa dan dikemas secara sistemtis, pesan yang disampaikan berupaya membangun stimuli pemirsa, dan dapat di tampilkan berulang-ulang.Media massa juga memiliki fungsi sebagai interaksi dan integrasi sosial.
Dimana banyak masyarakat yang mendapatkan berbagai informasi dari berbagai media massa, yang memungkinkan individu yang menjadi bagian dari masyarakat luas tersebut bisa malakukan pengembangan diri, yakni dapat eksis dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, pendidikan, politik. Mobilitas masyarakat kian cepat, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya urbanisasi, yang hal ini banyak berkaitan dengan masalah ekonomi yakni adanya suatu lapangan pekerjaan didaerah lain. Secara otomatis, media dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam proses perubahannya. Begitu juga, media dapat menunjang terciptanya nilai dan norma baru sebagai hasil dari urbanisasi masyarakat.
Pada pola integrasi sosial, komunikasi massa dapat dimaknai sebagai proses pengoperan lambang yang mengandung arti dari individu satu ke individu lain, dari kelompok satu ke kelompok lain; kegiatan komunikasi mencakupi pengoperan lambang yang mengandung arti, sedangkan arti setiap lambang adalah hasil dari kebudayaan serta setiap sistem nilai, maka dengan sendirinya proses komunikasi dengan ini dibuktikan adalah proses sosial.

Selasa, 18 Januari 2011

free counters

EFEK FILM PADA LINGKUNGAN SOSIAL (Perspektif Sosiologi Komunikasi)


Secara sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, yakni surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Secara teknis kita dapat menunjukkan empat tanda pokok dari komunikasi massa ( menurut Elizabeth-Noelle Neuman...) (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis; (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi (para komunikan); (3) bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim; (4) mempunyai publik yang secara geografis tersebar.”

Seperti dinyatakan Donald K. Robert (Schramm dan Robert..) ada yang beranggapan bahwa efek hanyalah “perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa”. Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa.

Komunikasi Massa dan Perubahan Sosial .

Media massa – pers, televisi, radio, dan lainnya, serta proses komunikasi massa (peran yang dimainkannya) semakin banyak dijadikan objek studi. Gejala ini seiring dengan kian meningkatnya peran media massa itu sendiri sebagai suatu institusi penting dalam masyarakat. Yang merupakan fungsi media ialah media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengenbangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Kehadiran film merupakan respon terhadap “penemuan” waktu luang diluar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga.

Film sudah menjadi konsumsi masyarakat dari bermacam-macam kelas sosial sebagai bentuk hiburan dan juga sebagai bentuk penyebaran nilai budaya, gaya hidup, mode, yang berkaitan dengan pola hidup individu atau masyarakat. Meskipun film tersebut hanyalah sebuah fiktif belaka. Akan tetapi efek dari pesan yang telah diinterpretasi individu ataupun masyarakat akan menjadi budaya baru dalam kehidupan sosial.

Dengan demikian, jika ditinjau dari segi fenomenalnya, akan terbukti bahwa peran film dalam memenuhi kebutuhan tersembunyi memang sangat besar, selaku motor yang menghidupkan iklim sosial di masyarakat, film juga mempunyai daya tarik tersendiri dalam dunia hiburan. Masyarakat sudah banyak mengalami perubahan yang sedikit-banyak dipengaruhi oleh pesan dari film. Coba kita tengok pada gaya hidup dan fashion yang dipakai oleh remaja-remaja, juga realitas yang berkaitan sistem pendidikan dalam keluarga, budaya-budaya baru tentang modernisasi, Itu sudah banyak dimuat dalam film-film, meskipun ada beberapa film yang mempunyai cerita komedi.

Banyak sekali unsur-unsur pesan yang diberikan kepada penonton ataupun penggila film, mulai dari unsur kreatifitas, edukasi, ekonomi, sosial-budaya, mode, lifestyle, teknologi, ideologi dan masih banyak yang lainya. Itu semua dapat menunjang perubahan kearah modenisasi. Meskipun, interpretasi terhadap pesan film tidak selamanya positif dan tidak selamanya negatif karena interpretasi terhadap nilai pesan film akan berpengaruh pada aspek psikologis seseorang.

Setiap hari, hampir banyak film yang diputar di televisi maupun digedung-gedung film yang masing-masing filmnya mempunyai sasaran khalayak yang berbeda-beda karena setiap film yang ditayangkan mempunyai tujuan khalayak. Terlepas dari bahasan tentang komersialisasi film. Unsur drama dan cerita yang ada mampu memperdaya penonton hingga mengalami gejala-gejala psikologis. Membuat orang merasa seakan terbawa cerita film itu. Begitu juga pemanfaatan film dalam dunia pendidikan, sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Pesan yang ada dalam cerita film, kebanyakan disesuaikan dengan fenomena yang lagi ada dimasyarakat, dengan memakai bahasa yang gampang dipahami oleh semua kalangan penonton.

Ada sebagian film yang ditayangkan, baik di televisi ataupun di bioskop-bioskop menuai kontrofersi karena banyak kalangan masyarakat yang memprotes cerita atau adegan yang diperankan banyak yang menyimpang dari norma-norma sosial yang ada. Dari sini, kita akan tau bahwa pesan yang disampakan melalui film juga tidak sepenuhnya bersifat positif . Efek kehadiran media massa seperti film juga akan berdampak pada efek sosial. Efek sosial berkenaan dengan perubahan norma-norma yang ada, ideologi masyarakat penciptaan budaya-budaya baru dalam tindakan kontrol sosial.

Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan, hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional.”dengan kata lain, film menjadi lebih bebas untuk memenuhi kebutuhan akan sajian yang berbau kekerasan, mengerikan, dan pornografis”. Secara fungsional film hanya sebatas hiburan atau entertaiment ternyata film juga dapat memberikan pengaruh perubahan terhadap sosial dan budaya, hingga mampu mempengaruhi aspek psikologis seseorang juga. Karena hal inilah masyarakat bisa dikatakan salah menginterpretasi pesan media, yang seharusnya, media talah menyampaikan nilai pesan yang positif akan tetapi individu atau sebagian masyarakat menganggnya sebagai pengaruh pesan yang negatif.

Di masyarakat, banyak tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma sosial, juga kekerasan, pelecehan seksual dan HAM yang terjadi. Secara tidak langsung film telah mewariskan budaya-budaya negatif tersebut dan diterima masyarakat secara mentah. Dan masyarakat pun cenderung menerima budaya yang ditampilkan tanpa ada tindakan yang mengklaim tayangan seperti itu.

Selain menyajikan cerita dengan pesan yang bersifat kontroversial, film juga menyajikan pesan yang bersifat edukatif yang berfungsi sebagai kontrol atau penyeimbang antara pesan yang bersifat positif dan bersifat negatif. Tidak bisa disangkal lagi bahwa film juga bisa memunculkan budaya baru di masyarakat dan mampu merubah tatanan norma sosial, film juga dapat mempengaruhi penontonnya untuk meniru berbagai gaya hidup, fashion dan pergaulan yang ditampilkan dalam cerita. Artinya film juga dapat merubah karakter kepribadian seseorang.